13
PROSIDING 2012© HASIL PENELITIAN FAKULTAS TEKNIK Arsitektur Elektro Geologi Mesin Perkapalan Sipil Volume 6 : Desember 2012 Group Teknik Arsitektur ISBN : 978-979-127255-0-6 TA1 - 1 MITIGASI DAERAH RENTAN GERAKAN TANAH DI KABUPATEN ENREKANG Abdul Rachman Rasyid, Isfa Sastrawati, Syahriana Syam & Fajar Sukma Jaya Program Studi Pengembangan Wilayah dan Kota Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 10 Tamalanrea Makassar, 90245 Telp./Fax: (0411) 586265/(0411) 587707 e-mail: [email protected] Abstrak Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menidentifikasi daerah rentan gerakan tanah dan arahan mitigasi yang akan dikembangkan. Selain itu, penelitian ini juga ingin memperlihatkan bahwa Norma, Standar dan Pedoman (NSP) dapat diimplementasikan secara lebih baik dengan bantuan alat analisis data spasial seperti Sistem Informasi Geografis (SIG) karena mampu memadukan dan mengolah data spasial sehingga dapat menghasilkan informasi baru berkaitan dengan tujuan analisis berupa informasi deskripsi, peta dan tabular. Hasil penelitian menunjukkan bahwa wilayah dengan rentan gerakan tanah rawan terdapat sekitar 13,07 % ,tingkat sedang sekitar 50,57 % dan tidak rawan sekitar 36,66 % dari total luas wilayah. Jika dirinci menurut tingkat kerentanan, untuk tingkat rawan terluas berada di Kec. Enrekang, Kec. Anggeraja dan Kec. Masalle serta Kec. Buntu Batu. Juga ditemukan bahwa faktor kemiringan lereng dan penggunaan lahan merupakan faktor utama tingginya tingkat kerentanan gerakan tanah. Jika ditinjau dari penetapan kawasaan hutan di Kab.Enrekang, terlihat bahwa di wilayah rentan gerakan tanah dengan tingkat rawan, kawasan hutan lindung merupakan kawasan terluas. Kata Kunci : Mitigasi, tingkat rentan gerakan tanah, sistem informasi geografis PENDAHULUAN Latar Belakang Perencanaan tata ruang disusun dalam rangka perencanaan pembangunan yang terkendali dan dapat bermanfaat bagi semua makhluk hidup serta mempunyai harapan berkelanjutan yang tinggi. Pengembangan wilayah tidak saja melihat manfaat dari sisi ekonomi saja, tetapi bagaimana keberlanjutannya dapat terpelihara hasil dari sinergi manusia, lingkungan dan sosial ekonomi. Undang-undang Penataan Ruang No 26 tahun 2007 dalam pasal 3 menyatakan bahwa Penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional dengan: a. terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan; b. terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia; dan c. terwujudnya pelindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang. Secara geografis sebagian wilayah NKRI berada pada kawasan bencana alam seperti gempa, gunung berapi dan gerakan tanah. Karena pengembangan wilayah merupakan salah satu alat dari perencanaan ruang, maka penataan ruang diperlukan untuk mengatur kegiatan-kegiatan pengembangan wilayah dalam wujud spasial, baik yang menyangkut kawasan budidaya maupun kawasan lindung. Berdasarkan Undang undang no. 24 tahun 2007, tentang penanggulangan bencana, perlindungan masyarakat terhadap bencana dimulai sejak pra bencana, pada saat bencana dan pasca bencana, secara terencana, terpadu dan terkoordinasi. Data menunjukkan bahwa selang waktu 1990 2000, kejadian bencana gerakan tanah di Indonesia telah terjadi di 892 lokasi dengan jumlah korban meninggal dunia sebanyak 861 jiwa, korban luka sebanyak 231 jiwa dan sebanyak 1.303 rumah hancur serta 5.255 rumah rusak. (Soedrajat, 2002)

Jurnal Unhas

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Mitigasi Daerah Rentan Gerakan Tanah

Citation preview

PROS ID ING 2 0 1 2 © HASIL PENELITIAN FAKULTAS TEKNIK

Arsitektur Elektro Geologi Mesin Perkapalan Sipil

Volume 6 : Desember 2012 Group Teknik Arsitektur ISBN : 978-979-127255-0-6

TA 1 - 1

MITIGASI DAERAH RENTAN GERAKAN TANAH

DI KABUPATEN ENREKANG

Abdul Rachman Rasyid, Isfa Sastrawati, Syahriana Syam & Fajar Sukma Jaya

Program Studi Pengembangan Wilayah dan Kota

Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin

Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 10 Tamalanrea – Makassar, 90245

Telp./Fax: (0411) 586265/(0411) 587707

e-mail: [email protected]

Abstrak

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menidentifikasi daerah rentan gerakan tanah dan

arahan mitigasi yang akan dikembangkan. Selain itu, penelitian ini juga ingin

memperlihatkan bahwa Norma, Standar dan Pedoman (NSP) dapat diimplementasikan

secara lebih baik dengan bantuan alat analisis data spasial seperti Sistem Informasi

Geografis (SIG) karena mampu memadukan dan mengolah data spasial sehingga dapat

menghasilkan informasi baru berkaitan dengan tujuan analisis berupa informasi deskripsi,

peta dan tabular. Hasil penelitian menunjukkan bahwa wilayah dengan rentan gerakan

tanah rawan terdapat sekitar 13,07 % ,tingkat sedang sekitar 50,57 % dan tidak rawan

sekitar 36,66 % dari total luas wilayah. Jika dirinci menurut tingkat kerentanan, untuk

tingkat rawan terluas berada di Kec. Enrekang, Kec. Anggeraja dan Kec. Masalle serta Kec.

Buntu Batu. Juga ditemukan bahwa faktor kemiringan lereng dan penggunaan lahan

merupakan faktor utama tingginya tingkat kerentanan gerakan tanah. Jika ditinjau dari

penetapan kawasaan hutan di Kab.Enrekang, terlihat bahwa di wilayah rentan gerakan

tanah dengan tingkat rawan, kawasan hutan lindung merupakan kawasan terluas.

Kata Kunci : Mitigasi, tingkat rentan gerakan tanah, sistem informasi geografis

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Perencanaan tata ruang disusun dalam rangka perencanaan pembangunan yang terkendali dan dapat bermanfaat

bagi semua makhluk hidup serta mempunyai harapan berkelanjutan yang tinggi. Pengembangan wilayah tidak

saja melihat manfaat dari sisi ekonomi saja, tetapi bagaimana keberlanjutannya dapat terpelihara hasil dari

sinergi manusia, lingkungan dan sosial ekonomi. Undang-undang Penataan Ruang No 26 tahun 2007 dalam

pasal 3 menyatakan bahwa Penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah

nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan

Nasional dengan:

a. terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan;

b. terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan

memperhatikan sumber daya manusia; dan

c. terwujudnya pelindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat

pemanfaatan ruang.

Secara geografis sebagian wilayah NKRI berada pada kawasan bencana alam seperti gempa, gunung berapi dan

gerakan tanah. Karena pengembangan wilayah merupakan salah satu alat dari perencanaan ruang, maka

penataan ruang diperlukan untuk mengatur kegiatan-kegiatan pengembangan wilayah dalam wujud spasial, baik

yang menyangkut kawasan budidaya maupun kawasan lindung.

Berdasarkan Undang undang no. 24 tahun 2007, tentang penanggulangan bencana, perlindungan masyarakat

terhadap bencana dimulai sejak pra bencana, pada saat bencana dan pasca bencana, secara terencana, terpadu

dan terkoordinasi. Data menunjukkan bahwa selang waktu 1990 – 2000, kejadian bencana gerakan tanah di

Indonesia telah terjadi di 892 lokasi dengan jumlah korban meninggal dunia sebanyak 861 jiwa, korban luka

sebanyak 231 jiwa dan sebanyak 1.303 rumah hancur serta 5.255 rumah rusak. (Soedrajat, 2002)

Mitigasi Daerah Rentan Gerakan… Abdul Rachman R., Isfa Sastrawati, Syahriana Syam & Fajar Sukma Jaya

Arsitektur Elektro Geologi Mesin Perkapalan Sipil

ISBN : 978-979-127255-0-6 Group Teknik Arsitektur Volume 6 : Desember 2012

TA 1 - 2

Provinsi Sulawesi Selatan, terbentang dari bagian selatan sampai ke utara sangat beragam kondisi wilayahnya,

mulai dari pesisir yang diapit Teluk Bone di sebelah timur dan Selat Makassar di sebelah barat, daerah datar

yang didominasi penggunaan lahan pertanian dan perikanan tambak, serta daerah pegunungan di bagian

tengah. Salah satu wilayah kabupaten yang berada pada daerah pegunungan yaitu Kabupaten Enrekang yang

termasuk daerah pengunungan Latimojong. Dengan garis kontur yang rapat, menunjukkan bahwa Kab.

Enrekang dipenuhi oleh lahan dengan lereng yang agak curam sampai sangat curam. Oleh karena itu, potensi

bahaya gerakan tanah sangat besar terjadi, mengingat kondisi topografi yang sangat mendukung.

Salah satu alat analisis yang sangat sesuai dipergunakan dalam analisis spasial (keruangan) adalah dengan

menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG). SIG mampu menunjukkan kualitas data dengan cepat dan

terorganisir karena dilengkapi dengan sistem manajemen basis data. Dengan fungsi tumpang susun (overlay),

maka metode SIG dikatakan mampu menggabungkan data-data spasial dalam hal ini peta-peta tematik berserta

atributnya menjadi suatu informasi baru, yang jika diolah dengan menggunakan standar atau kriteria analisis

keruangan akan menghasilkan informasi yang dinginkan sesuai dengan tujuan analisis.

Oleh karenanya, penelitian ini mencoba untuk mengaplikasikan metode SIG dalam penentuan zonasi gerakan

tanah sebagai bagian dari mitigasi bencana alam, dengan menggunakan Norma, Standar dan Pedoman (NSP)

yang diterbitkan oleh pemerintah berupa Undang undang dan Peraturan peraturan khususnya dalam Penataan

Ruang.

Rumusan Masalah

Dari penjelasan diatas, maka penelitian ini merumuskan masalah sebagai berikut :

1. Identifikasi daerah rentan bencana gerakan tanah dengan menggunakan SIG

2. Bagaimana arahan mitigasi bencana pada daerah rentan gerakan tanah

Tujuan Penelitian

1. Mengidentifikasi daerah rentan bencana gerakan tanah

2. Menentukan mitigasi pada daerah rentan bencana gerakan tanah

TINJAUAN PUSTAKA

Bencana Gerakan Tanah

Pengertian Bencana dalam Pedoman Penataan Ruang Permen PU No. 22/PRT/M/2007 adalah peristiwa atau

rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang

disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan

timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Bencana

alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam

antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor.

Bencana longsor adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan

oleh alam berupa tanah longsor. Gerakan tanah adalah proses perpindahan masa tanah atau batuan dengan arah

tegak, mendatar, miring dari kedudukan semula, karena pengaruh gravitasi, arus air dan beban.

Penetapan kawasan rawan bencana longsor dan tipologi zona berpotensi longsor

Longsor merupakan gejala alami yakni suatu proses perpindahan massa tanah atau batuan pembentuk lereng

dengan arah miring dari kedudukan semula,sehingga terpisah dari massa yang mantap karena pengaruh

gravitasi, denganjenis gerakan berbentuk translasi dan/atau rotasi. Proses terjadinya longsor dapat dijelaskan

secara singkat sebagai berikut: air meresap ke dalam tanah sehingga menambah bobot tanah, air menembus

sampai ke lapisan kedap yang berperan sebagai bidang gelincir, kemudian tanah menjadi licin dan tanah

pelapukan di atasnya bergerak mengikuti lereng dan keluar dari lereng. Pada umumnya kawasan rawan bencana

longsor merupakan kawasan dengan curah hujan rata-rata yang tinggi (di atas 2500 mm/tahun), kemiringan

lereng yang curam (lebih dari 40%), dan/atau kawasan rawan gempa. Pada kawasan ini sering dijumpai alur air

dan mata air yang umumnya berada di lembah-lembah yang subur dekat dengan sungai. Di samping kawasan

dengan karakteristik tersebut, kawasan lain yang dapat dikategorikan sebagai kawasan rawan bencana longsor

adalah:

PROS ID ING 2 0 1 2 © HASIL PENELITIAN FAKULTAS TEKNIK

Arsitektur Elektro Geologi Mesin Perkapalan Sipil

Volume 6 : Desember 2012 Group Teknik Arsitektur ISBN : 978-979-127255-0-6

TA 1 - 3

1. Lereng-lereng pada kelokan sungai, sebagai akibat proses erosi atau penggerusan oleh aliran sungai pada

bagian kaki lereng.

2. Daerah teluk lereng, yakni peralihan antara lereng curam dengan lereng landai yang di dalamnya terdapat

permukiman. Lokasi seperti ini merupakan zona akumulasi air yang meresap dari bagian lereng yang lebih

curam.Akibatnya daerah tekuk lereng sangat sensitif mengalami peningkatan tekanan air pori yang

akhirnya melemahkan ikatan antar butir-butir partikel tanah dan memicu terjadinya longsor.

3. Daerah yang dilalui struktur patahan/sesar yang umumnya terdapat hunian. Dicirikan dengan adanya

lembah dengan lereng yang curam (di atas 30%), tersusun dari batuan yang terkekarkan (retakan) secara

rapat, dan munculnya mata air di lembah tersebut. Retakan batuan dapat mengakibatkanmenurunnya

kestabilan lereng, sehingga dapat terjadi jatuhan atau luncuran batuan apabila air hujan meresap ke dalam

retakan atau saat terjadi getaran pada lereng.

Dengan mengidentifikasi sifat, karakteristik dan kondisi unsur-unsur iklim dan hidrogeomorfologi suatu

kawasan dapat diantisipasi kemungkinan terjadinya longsor. Terhadap kawasan yang mempunyai kemungkinan

terjadinya longsor atau rawan bencana longsor ini diperlukan penataan ruang berbasis mitigasi bencana longsor

yang prosesnya diawali dengan penetapan kawasan rawan bencana longsor. Apabila dipandang cukup strategis

dalam penanganannya maka kawasan rawan bencana longsor ini dapat ditetapkan sebagai kawasan strategis

kabupaten/kota bila berada di dalam wilayah kabupaten/kota, dan/atau kawasan strategis provinsi bila berada

pada lintas wilayah kabupaten/kota. Penetapan kawasan strategis ini menjadi salah satu muatan dalam rencana

tata ruang wilayah kabupaten/kota/provinsi. Selanjutnya apabila dipandang perlu, terhadap kawasan rawan

bencana longsor di dalam wilayah kabupaten/kota dapat disusun rencana yang bersifat rinci yakni rencana tata

ruang kawasan strategis kabupaten/kota sebagai dasar operasional pelaksanaan pemanfaatan ruang dan

pengendalian pemanfaatan ruang di wilayahnya. Sedangkan apabila kawasan tersebut berada pada lintas

wilayah kabupaten/kota, dapat disusun rencana rinci tata ruang kawasan strategis provinsi.

Adapun variabel lingkungan fisik yang mempengaruhi tingkat kerentanan gerakan tanah adalah sebagai berikut:

a. Topografi

Pada dasarnya daerah perbukitan atau pegunungan yang membentuk lahan miring merupakan daerah rawan

terjadi gerakan tanah. Kelerengan dengan kemiringan lebih dari 20° (atau sekitar 40%) memiliki potensi untuk

bergerak atau longsor, namun tidak selalu lereng atau lahan yang miring punya potensi untuk longsor

tergantung dari kondisi geologi yang bekerja pada lereng tersebut, Karnawati (2003) menjelaskan bahwa dari

beberapa kajian terhadap kejadian longsor dapat teridentifikasi tiga tipologi lereng yang rentan untuk

bergerak/longsor, yaitu:

1. Lereng yang tersusun oleh tumpukan tanah residu yang dialasi oleh batuan atau tanah yang lebih kompak;

2. Lereng yang tersusun oleh perlapisan batuan yang miring searah kemiringan lereng maupun berlawanan

dengan kemiringan lereng;

3. Lereng yang tersusun oleh blok-blok batuan. Kemiringan lereng dari suatu daerah merupakan salah satu

faktor penyebab terjadinya gerakan tanah.

Tabel 1. Klasifikasi Kelas Kemiringan Lereng

No Kelas Kemiringan

Lereng (%) Deskripsi Satuan Morfologi

1 0 – 8 Datar Dataran

2 8 – 15 Landai Perbukitan berelief halus

3 15 – 25 Agak Curam Perbukitan berelief sedang

4 25 – 45 Curam Perbukitan berelief kasar

5 > 45 Sangat Curam Perbukitan berelief sangat kasar

Sumber : Karnawati (2005)

b. Geologi

Potensi terjadinya gerakan tanah pada lereng tergantung pada kondisi tanah dan batuan Penyusunnya, dimana

salah satu proses geologi yang menjadi penyebab utama terjadinya gerakan tanah adalah pelapukan batuan.

Proses pelapukan batuan yang sangat intensif banyak dijumpai di negara-negara yang memiliki iklim tropis

seperti Indonesia. Tingginya intensitas curah hujan dan penyinaran matahari menjadikan proses pelapukan

batuan lebih intensif. Batuan yang banyak mengalami pelapukan akan menyebabkan berkurangnya kekuatan

batuan yang pada akhirnya membentuk lapisan batuan lemah dan tanah residu yang tebal. Apabila hal ini terjadi

pada lereng maka lereng akan menjadi kritis. Faktor geologi lainnya yang menjadi pemicu terjadinya gerakan

Mitigasi Daerah Rentan Gerakan… Abdul Rachman R., Isfa Sastrawati, Syahriana Syam & Fajar Sukma Jaya

Arsitektur Elektro Geologi Mesin Perkapalan Sipil

ISBN : 978-979-127255-0-6 Group Teknik Arsitektur Volume 6 : Desember 2012

TA 1 - 4

tanah adalah aktivitas volkanik dan tektonik. Faktor geologi dapat dianalisis melalui variabel tekstur tanah dan

jenis batuan. Tekstur tanah dan jenis batuan merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya gerakan tanah

yang diukur berdasarkan sifat tanah dan kondisi fisik batuan.

c. Curah hujan

Curah hujan akan meningkatkan presepitasi dan kejenuhan tanah serta naiknya muka air tanah. Jika hal ini

terjadi pada lereng dengan material penyusun (tanah dan atau batuan) yang lemah maka akan menyebabkan

berkurangnya kuat geser tanah/batuan dan menambah berat massa tanah, pada dasarnya ada dua tipe hujan

pemicu terjadinya longsor, yaitu hujan deras yang mencapai 70 mm hingga 100 mm perhari dan hujan kurang

deras namun berlangsung menerus selama beberapa jam hingga beberapa hari yang kemudian disusul dengan

hujan deras sesaat, Karnawati (2005). Hujan juga dapat menyebabkan terjadinya aliran permukaan yang dapat

menyebabkan terjadinya erosi pada kaki lereng dan berpotensi menambah besaran sudut kelerengan yang akan

berpotensi menyebabkan longsor.

d. Tata guna lahan

Tata guna lahan merupakan bagian dari aktivitas manusia, secara umum yang dapat menyebabkan longsor

adalah yang berhubungan dengan pembangunan infrastruktur seperti pemotongan lereng yang merubah

kelerengan, hal ini juga akan merubah aliran air permukaan dan muka air tanah. Penggundulan hutan maupun

penggunaan lahan yang tidak memperhatikan ekosistem dapat pula memicu terjadinya gerakan tanah dan erosi.

Tabel 2. Klasifikasi Pemanfaatan lahan

No Pemanfaatan Lahan Keterangan

1 Hutan tidak sejenis Tidak peka terhadap erosi

2 Hutan sejenis Kurang peka terhadap erosi

3 Perkebunan Agak peka terhadap erosi

4 Permukiman, Sawah, Kolam Peka terhadap erosi

5 Tegalan, Tanah terbuka Sangat peka terhadap erosi

Sumber : Karnawati (2005)

Sistem Informasi Geografis (SIG)

Menurut Prahasta (2002), Sistem Informasi Geografi (SIG) adalah suatu sistem berbasis komputer yang

digunakan untuk memasukkan, mengumpulkan, mengintegrasikan, memeriksa, menyimpan, mengelola,

memanipulasi, menganalisis, menampilkan dan menghasilkan keluaran (output) data dan informasi bereferensi

geografis. Dengan demikian, SIG merupakan sistem komputer yang memiliki empat kemampuan dalam

menangani data informasi yang bereferensi geografi yaitu: (1) masukan, (2) manajemen data, (3) analisis dan

manipulasi data, dan (4) keluaran.

Kemampuan SIG dapat juga dikenali dari fungsi-fungsi analisis spasial (keruangan) dan fungsi atribut

(basisdata atribut). Fungsi analisis spasial SIG terdiri dari klasifikasi (reclassify), jaringan (network), tumpang

tindih (overlay), buffering, analisis 3 dimensi (3D analysis), dan pengolahan citra dijital (digital image

processing).

SIG memiliki banyak kelebihan dalam analisis spasial , tetapi dua hal yang paling penting yaitu :

1. Analisis Proximity, Analisis proximity merupakan analisis geografis yang berbasis pada jarak antar layer.

Dalam analisis proximity SIG menggunakan proses yang disebut buffering (membangun lapisan pendukung

disekitar layer dalam jarak tertentu) untuk menentukan dekatnya hubungan antar sifat bagian yang ada.

2. Analisis overlay, Proses integrasi data dari lapisan layer-layer yang berbeda disebut overlay. Secara

sederhana, hal ini dapat disebut operasi visual, tetapi operasi ini secara analisa membutuhkan lebih dari satu

layer untuk di-join secara fisik. Sebagai contoh overlay atau spasial join yaitu integrasi antara data tanah,

lereng dan vegetasi, atau kepemilikan lahan dengan nilai taksiran pajak bumi.

Pemanfaatan SIG dalam proses penyusunan Perencanaan Ruang dan Wilayah merupakan suatu yang mutlak

pada saat sekarang ini. Oleh Kementerian Pekerjaan Umum bekerjasama dengan Badan Koordinasi Survey dan

Pemetaan Nasional (Bakosurtanal) telah mensyaratkan penggunaan SIG dalam penyediaan data-data spasial

berupa peta dasar dan peta-peta tematik. Hal ini dimaksudkan agar terjadi penyeragaman data disamping

mudahnya mengevaluasi isi dan komponen penting lain dari peta seperti sistem koodinat, proyeksi, sekala dan

lain-lain.

PROS ID ING 2 0 1 2 © HASIL PENELITIAN FAKULTAS TEKNIK

Arsitektur Elektro Geologi Mesin Perkapalan Sipil

Volume 6 : Desember 2012 Group Teknik Arsitektur ISBN : 978-979-127255-0-6

TA 1 - 5

Posisi Bahaya Bencana Gerakan Tanah Pada Penataan Ruang

Dalam Undang-undang No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang dijelaskan bahwa Kawasan lindung adalah

wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber

daya alam dan sumber daya buatan dan Penataan ruang berdasarkan fungsi utama kawasan terdiri atas kawasan

lindung dan kawasan budi daya. Jika diselaraskan dengan Permen PU No. 22 Tahun 2007 tentang pedoman

Pemanfaatan Ruang Kawasan Rawan Bencana Longsor disebutkan bahwa sebagian besar daerah potensi

longsor peruntukan ruangnya untuk fungsi lindung. Ruang pada daerah rentan gerakan tanah tinggi difungsikan

untuk kawasan lindung sehingga tidak layak untuk dikembangkan atau dijadikan kawasan budidaya, sedangkan

untuk daerah rentan gerakan tanah sedang dan rendah masih dapat difungsikan sebagai kawasan budidaya uang

dikendalikan dengan persyaratan-persayaratan tertentu

METODE PENELITIAN

Jenis Penelitian

Penelitian mitigasi bencana gerakan tanah di Kabupaten Enrekang dilakukan dengan metode pendekatan

deskriptif kuantitatif dan kualitatif, yaitu dengan mengkompilasi data tabular , yang disandingkan dengan

dianalisis SIG dalam analisis spasial dan penilaian berdasarkan skoring sebagai proses identifikasi daerah

rentan bencana gerakan tanah. Penelitian akan dilaksanakan selama 6 bulan dari pembuatan proposal sampai

penyusunan laporan akhir.

Lokasi Penelitian

Sesuai dengan tujuan penelitian, maka penelitian ini akan dilaksanakan di Kabupaten Enrekang dengan karakter

fisik lahan yang berbukit dan berkontur rapat yang mempunyai potensi rentan bencana gerakan tanah.

Variabel Penelitian

Penelitian ini didasarkan atas kesesuaian fisik lahan berupa peta tematik yang disesuaikan dengan kriteria NSP

dan selanjutnya data spasial diolah dengan analisis SIG dan luarannya berupa daerah rentan bencana gerakan

tanah.

Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data berupa data sekunder terutama data spasial berupa peta-peta tematik sesuai dengan kriteria

dan variabel gerakan tanah yaitu peta kelas kemiringan lereng, peta curah hujan tahunan, keberadaan sesar, dan

geologi. Juga peta tematik penggunaan lahan dan peta jaringan jalan serta peta administrasi serta peta kawasan

hutan Sumber data diperoleh di lembaga/badan resmi seperti Bappeda, Dinas PU dan BMKG.

Teknik Analisis Data

Data yang telah terkumpul, selanjutnya akan dikompilasi dan penginputan data peta digital dilakukan sesuai

dengan kaidah-kaidah kartografi. Setelah data spasial digital telah diolah, maka dilakukan overlay (tumpang

susun) peta tematik untuk menyiapkan analisis skoring sesuai dengan kriteria NSP yang telah ditetapkan. Ada

2 variabel penting dalam penyiapan data spasial yaitu data tematik yang disebabkan oleh pengaruh aktifitas

manusia dan data tematik akibat faktor fisik alam. Variabel fisik alam mempunyai porsi 70 % dan faktor

aktifitas manusia sebanyak 30 %. Adapun kriteria penyusunan daerah rentan bencana gerakan tanah dapat

dilihat pada tabel berikut

Tabel 3. Penentuan nilai skor dan bobot dalam pengklasifikasian daerah rentan bencana gerakan tanah (

modifikasi Permen PU No.22/PRT/M/2007)

No Parameter/Bobot Besaran Kategori Nilai Skor

I Faktor Aktivitas Manusia (30%)

a Penggunaan Lahan

Bobot 20 %

Hutan Alam Sangat rendah 1

Hutan/ Perkebunan rendah 2

Semak/belukar/rumput sedang 3

Sawah/permukiman/pertambangan tinggi 4

b Infrastruktur bobot 10

%

Tidak terdapat jalan yang memotong lereng Sangat rendah 1

Lereng terpotong jalan tinggi 4

Mitigasi Daerah Rentan Gerakan… Abdul Rachman R., Isfa Sastrawati, Syahriana Syam & Fajar Sukma Jaya

Arsitektur Elektro Geologi Mesin Perkapalan Sipil

ISBN : 978-979-127255-0-6 Group Teknik Arsitektur Volume 6 : Desember 2012

TA 1 - 6

Tabel 3. Penentuan nilai skor dan bobot dalam pengklasifikasian daerah rentan bencana gerakan tanah (

modifikasi Permen PU No.22/PRT/M/2007) (lanjutan)

No Parameter/Bobot Besaran Kategori Nilai Skor

II Faktor Fisik Alam (70%)

a Curah Hujan Tahunan

(mm) bobot 20 %

< 1000 Sangat rendah 1

1.000 – 1.499 rendah 2

1.500 – 2.500 sedang 3

> 2500 tinggi 4

b Kemiringan Lereng (%)

bobot 25 %

< 15 Sangat rendah 1

15 - 24 rendah 2

25 - 44 sedang 3

> 45 tinggi 4

c

Keberadaan sesar

patahan/gawir bobot 10

%

Tidak Ada Sangat rendah 1

Ada tinggi 4

d

Geologi

(tanah/batuan) bobot 15

%

Dataran alluvial Sangat rendah 1

Perbukitan berkapur rendah 2

Perbukitan batuan sedimen sedang 3

Perbukitan batuan vulkanik tinggi 4

Penilaian setiap variavel dihitung melalui perkalian nilai skor dan bobot. Penilaian terhadap daerah rentan

gerakan tanah pada faktor fisik alami dan aktifitas manusia dilakukan melalui penjumlahan dari nilai setiap

variabel dari enam paramater. Total nilai berkisar antara `130 sampai dengan 340. Sedangkan untuk

menetapkan daerah rentan gerakan tanah dilihat berdasarkan jumlah skor total dengan pembagian sebagai

berikut :

1. Daerah rentan gerakan tanah tidak rawan dengan nilai total berkisar 130 - 200

2. Daerah rentan gerakan tanah sedang dengan nilai total berkisar 201 – 270

3. Daerah rentan gerakan tanah rawan dengan nilai total berkisar 271 – 340.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kabupaten Enrekang secara geografis terletak antara 3014’36’’–3050’0’’ Lintang Selatan dan antara

119040’53’’–12006’33’’ Bujur Timur, dengan ketinggiannya bervariasi antara 47 meter sampai 3.329 meter di

atas permukaan laut. Batas wilayah Kabupaten Enrekang adalah sebagai berikut:

Sebelah Utara: Kabupaten Tana Toraja

Sebelah Timur: Kabupaten Luwu

Sebelah Selatan: Kabupaten Sidrap

Sebelah Barat: Kabupaten Pinrang

Luas wilayah Kabupaten Enrekang ini adalah 1.786,01 km2 atau sebesar 2,83 persen dari luas Propinsi

Sulawesi Selatan. Wilayah ini terbagi menjadi 12 kecamatan dan secara keseluruhan terbagi lagi dalam satuan

wilayah yang lebih kecil yaitu terdiri dari 129 wilayah desa/kelurahan.

Tabel 4. Nilai Total dan Interval Kelas Rentan Gerakan Tanah (Analisis 2012)

No Total Nilai Rentan Gerakan Tanah 1 130 - 200 Tidak Rawan

2 201 - 270 Sedang

3 271 - 340 Rawan

Penggunaan Lahan

Kabupaten Enrekang didominasi oleh penggunaan lahan kategori semak, belukar dan rumput seluas 95.437 Ha

atau sekitar 52 % dari total luas dan hutan alam seluas 76.471 Ha atau sekitar 42 %, dan sisanya kategori sawah,

permukiman dan pertambangan seluas 10.018 Ha atau sekitar 6 %. Penggunaan lahan hutan masih sangat

terjaga di Kab. Enrekang, karena bersama Kab. Tana Toraja dan Kab. Toraja Utara menjadi wilayah serapan air

atau catchment area untuk wilayah Prov. Sulawesi Selatan. Kecamatan Bungin yang merupakan wilayah yang

PROS ID ING 2 0 1 2 © HASIL PENELITIAN FAKULTAS TEKNIK

Arsitektur Elektro Geologi Mesin Perkapalan Sipil

Volume 6 : Desember 2012 Group Teknik Arsitektur ISBN : 978-979-127255-0-6

TA 1 - 7

mempunyai hutan alam yang cukup luas sekitar 39,14 % dari total luas hutan alam disusul Kec. Maiwa sekitar

22,86 % dan Kec. Buntu Batu sekitar 12,88%.

Gambar 1. Peta Administrasi Gambar 2. Peta Penggunaan Lahan

Curah Hujan

Tingkat curah hujan di Kabupaten Enrekang dibagi dalam tiga kelas yaitu 1500 – 2000 mm/thn, 2000 – 2500

mm/thn dan 2500/3000 mm/thn. Dari ketiga kelas tadi hanya Kec. Maiwa saja yang mempunyai hujan yang

relatig tinggi yaitu dari 2000 – 3000 mm/thn.

Gambar 3. Peta Curah Hujan Gambar 4. Peta Kemiringan Lereng

Kemiringan Lereng

Faktor kemiringan lereng merupakan faktor terbesar dari seluruh parameter fisik dalam menghitung potensi

gerakan tanah. Kemiringan lereng mempunyai bobot sebesar 25 %, sehingga menjadi penting dalam

mengarahkan mitigasi bencana. Kab. Enrekang dikenal sebagai daerah bukit dan pegunungan sehingga hampir

50 % merupakan daerah curam dan sangat curam yaitu kemiringan lereng diatas 40 % sebesar 21 % dan curam

yaitu kemiringan lereng 25 – 40 % sebesar 26 %. Daerah yang datar yaitu sebesar 16,82 % (kemiringan lereng 0

Mitigasi Daerah Rentan Gerakan… Abdul Rachman R., Isfa Sastrawati, Syahriana Syam & Fajar Sukma Jaya

Arsitektur Elektro Geologi Mesin Perkapalan Sipil

ISBN : 978-979-127255-0-6 Group Teknik Arsitektur Volume 6 : Desember 2012

TA 1 - 8

– 8 %), dan sisanya merupakan daerah berbukit yaitu 37 %. Jika dilihat dari posisi wilayah Kecamatan yang

mempunyai kelas kemiringan lereng diatas 40 %, kesemuanya tersebar di bagian utara menuju arah timur.

Bagian utara memang merupakan daerah pegunungan, dimana secara administrasi tersebar di wilayah Kec.

Buntu Batu, Kec. Bungin dan Kec. Curio serta Kec. Enrekang. Untuk wilayah yang relatif datar dengan kelas

kemiringan lereng 0 – 8 % terdapat sangat luas di Kec. Maiwa yaitu sekitar 56,11% dari total luas wilayah

datar, dan jika dilihat dari posisinya berada di bagian selatan di Kab. Enrekang.

Struktur Geologi (Tanah/Batuan) dan Garis Sesar/Gempa

Struktur pembentuk daratan dan batuan di Kab. Enrekang sangat didominasi oleh dataran alluvial seluas

119.436,60 Ha atau sekitar 65,7 % dari total luas, luas perbukitan batuan sedimen 32.540,29 Ha atau sekitar

17,9 % dan perbukitan batuan vulkanik dengan luas 28.554,94 Ha atau 15,7 %, sedangkan perbukitan berkapur

sangat kecil, hanya 1,397 Ha atau 0,8 % dari total luas. Daerah perbukitan berkapur hampir keseluruhan hanya

terdapat di Kec.Enrekang. Garis gempa/sesar juga banyak terdapat di Kab. Enrekang, yang berada di bagian

selatan menuju utara. Di Provinsi Sulawesi Selatan, hanya Kab. Enrekang yang merupakan wilayah paling

banyak di lalui garis sesar.

Kawasan Hutan

Luas kawasan hutan lindung di Kabupaten Enrekang secara keseluruhan masih sangat luas yaitu sekitar 40,36

% dari total luas wilayah. Untuk penggunaan lahan areal penggunaan lain (APL) seperti permukiman, budidaya

pertanian dan perkebunan, luasannya sampai 53,27 % sehingga jika disesuaikan dengan aturan UU No.26

Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang, Kab. Enrekang telah memenuhi syarat ketersediaan lahan terbuka hijau

sebesar 30 %. Dalam kawasan hutan juga terdapat hutan produksi terbatas seluas 9.960 Ha atau sekitar 5,47

persen.

Dari total luas kawasan hutan lindung yaitu 73.422,27 Ha, Kec. Bungin merupakan wilayah administrasi yang

mempunyai kawasan hutan lindung terluas sekitar 31,92 % (23.434,59 Ha) dari total luas hutan lindung,

kemudian Kec. Buntu Batu sekitar 18,19 % dan Kec. Enrekang sekitar 15,55 %. Untuk kawasan areal

penggunaan lain (APL), di Kec. Maiwa merupakan wilayah terluas yaitu sekitar 21,47 % (20.978,27 Ha. Hal

ini juga terlihat dari aktifitas wilayahnya, terutama karena posisinya merupakan wilayah perbatasan dengan

Kab. Sidenreng Rappang terutama aktifitas perekonomian, selain itu juga karean sebagian besar wilayahnya

merupakan daerah datar dan sedikit berbukit, sehingga aktifitas budidaya pertanian dan perkebunan juga besar.

Gambar 5. Peta Geologi dan Garis Sesar Gambar 6. Peta Kawasan Hutan

Potensi Rentan Gerakan Tanah

Potensi rawan gerakan tanah, dalam penelitian ini dihasilkan dari dua faktor utama yaitu dari alam dengan

bobot 30 % dan manusia dengan bobot 70 %. Total ada enam parameter dalam penentuan rawan gerakan tanah

yaitu penggunaan lahan, infrastruktur, curah hujan tahunan, kemiringan lereng, keberadaan sesar/gawir/patahan

PROS ID ING 2 0 1 2 © HASIL PENELITIAN FAKULTAS TEKNIK

Arsitektur Elektro Geologi Mesin Perkapalan Sipil

Volume 6 : Desember 2012 Group Teknik Arsitektur ISBN : 978-979-127255-0-6

TA 1 - 9

Gambar 7. Peta Rentan Gerakan Tanah

dan struktur geologi. Hasil kombinasi semua parameter diatas dan setelah disusun serta dihitung berdasarkan

perkalian bobot dan skor sehingga didapatkan nilai tertinggi 340 dan nilai terendah 130 sehingga nilai interval

adalah 70 dengan asumsi 3 kelas yaitu tidak rawan, sedang, dan rawan. Adapun rincian daerah rentan gerakan

tanah rawan sekitar 13,07 % atau sekitar 23.777,86 Ha, rentan gerakan tanah tingkat sedang sekitar 50,57 %

atau sekitar 92.001,46 Ha dan rentan gerakan tanah tidak rawan sekitar 36,66 % atau sekitar 66.149,51 Ha.

Jika dirinci menurut tingkat kerentanan, untuk tingkat rawan terluas berada di Kec. Enrekang sekitar 33,11 %

dan Kec. Anggeraja sekiatr 21,59 %, Kec. Masalle sekitar 16,78 % serta Kec. Buntu Batu sekitar 13,71 % dari

total luas rentan gerakan tanah tingkat rawan. Faktor kemiringan lereng diatas > 40 % (sangat cuuram) sangat

berpengaruh khususnya di Kec. Buntu Batu, sedangkan di Kec. Enrekang dan Kec. Masalle banyak diakibatkan

oleh faktor penggunaan lahan yaitu semak,belukar dan rumput. Untuk faktor garis sesar hanya di Kec.

Enrekang dan Kec. Masalle yang paling berpengaruh begitupun faktor geologi yaitu kelas perbukitan batuan

sedimen dan batuan vulkanik.

Mitigasi Rentan Gerakan Tanah Kabupaten Enrekang

Mitigasi merupakan upaya-upaya pengurangan kerugian akibat bencana, tujuan utama adalah untuk mengurangi

resiko kematian dan tujuan sekunder mengurangi kerugian ekonomi seperti kerusakan infrastruktur. Mitigasi

bahaya gerakan tanah mencakup tindakan pengurangan resiko, persiapan khusus menghadapi bencana, dan

setelah bencana terjadi. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa faktor kemiringan lereng dan penggunaan lahan

merupakan faktor utama tingkat kerentanan gerakan tanah. Oleh karena itu, mitigasinya juga berdasar pada

parameter tersebut. Untuk kemiringan lereng, beberapa hal yang mesti diperhatikan yaitu mewaspadai tanda-

tanda terjadinya gerakan tanah secara lokal, seperti jalan raya pecah-pecah, kemiringan tumbuhan di lereng,

kemiringan tanda-tanda lain seperti tiang listrik, telepon dan sebagainya. Tanda-tanda tersebut mudah dikenali

pada daerah yang rentan terhadap bahaya rayapan tanah / tanah merayap.

Penggunaan lahan yang merupakan faktor akibat aktifitas manusia, juga menyumbang peran yang cukup besar.

Penggunaan lahan berupa semak, belukar, rumput, dan permukiman merupakan penggunaan lahan yang dapat

menyebabkan aliran air, terutama air hujan tidak dapat terserap maksimal oleh tanah. Adapun usulan

penanganan jangka panjang dalam mengantisipasi bencana gerakan tanah yaitu : Mengurangi intensifikasi

pengolahan tanah daerah yang rawan longsor, membuat saluran drainase di bawah permukaan (mengurangi air

di dalam tanah) dan jika sangat diperlukan di tempat-tempat tertentu dilengkapi bangunan teknik sipil /

bangunan mekanik.

Jika ditinjau dari penetapan kawasaan hutan di Kab.Enrekang, terlihat bahwa wilayah rentan gerakan tanah

dengan tingkat rawan, kawasan hutan lindung merupakan kawasan terluas yaitu sekitar 67,45 % atau 16.038,92

Ha dari total luas daerah yang rawan. Hal ini menunjukkan bahwa penetapan sebagai kawasan hutan lindung di

Mitigasi Daerah Rentan Gerakan… Abdul Rachman R., Isfa Sastrawati, Syahriana Syam & Fajar Sukma Jaya

Arsitektur Elektro Geologi Mesin Perkapalan Sipil

ISBN : 978-979-127255-0-6 Group Teknik Arsitektur Volume 6 : Desember 2012

TA 1 - 10

kawasan tersebut sudah sesuai sehingga dapat menjadi bagian dari upaya pengurangan bahaya bencana gerakan

tanah, khusunya pengurangan tingkat kerugian baik dari kerugian jiwa maupun materi.

Tabel 5. Kelas Rentan Gerakan Tanah dan Kawasan Hutan dirinci Menurut Kecamatan Di Kabupaten Enrekang (Analisis

2012)

Nama

Kecamatan

Kelas Rentan

Gerakan Tanah Kawasan Hutan Luas (Ha)

Kec. Alla Rawan Areal Penggunaan Lain 8,47

Hutan Produksi Terbatas 29,49

Sedang Areal Penggunaan Lain 1.775,53

Hutan Lindung 245,82

Hutan Produksi Terbatas 288,25

Tidak Rawan Areal Penggunaan Lain 642,16

Hutan Lindung 6,84

Hutan Produksi Terbatas 63,80

Kec. Anggeraja Rawan Areal Penggunaan Lain 519,61

Hutan Lindung 3.922,22

Hutan Produksi Terbatas 665,10

Perairan 27,90

Sedang Areal Penggunaan Lain 1.198,47

Hutan Lindung 3.107,38

Hutan Produksi Terbatas 916,63

Perairan 25,67

Tidak Rawan Areal Penggunaan Lain 223,06

Hutan Lindung 194,01

Hutan Produksi Terbatas 29,13

Perairan 3,19

Kec. Baraka Rawan Areal Penggunaan Lain 363,10

Hutan Lindung 4,27

Sedang Areal Penggunaan Lain 6.980,27

Hutan Lindung 1.676,52

Perairan 11,31

Tidak Rawan Areal Penggunaan Lain 1.877,21

Hutan Lindung 393,95

Perairan 5,98

Kec. Baroko Rawan Areal Penggunaan Lain 2,55

Hutan Lindung 119,12

Sedang Areal Penggunaan Lain 2.441,28

Hutan Lindung 215,55

Hutan Produksi Terbatas 161,65

Tidak Rawan Areal Penggunaan Lain 752,81

Hutan Lindung 19,86

Hutan Produksi Terbatas 1,77

Kec. Bungin Rawan Hutan Lindung 932,44

Sedang Areal Penggunaan Lain 6.530,03

Hutan Lindung 18.923,54

Tidak Rawan Areal Penggunaan Lain 5.904,29

Hutan Lindung 3.578,61

Kec. Buntu Batu Rawan Areal Penggunaan Lain 1.042,41

Hutan Lindung 2.218,55

Sedang Areal Penggunaan Lain 3.082,18

Hutan Lindung 9.556,79

Tidak Rawan Areal Penggunaan Lain 467,96

Hutan Lindung 1.576,92

PROS ID ING 2 0 1 2 © HASIL PENELITIAN FAKULTAS TEKNIK

Arsitektur Elektro Geologi Mesin Perkapalan Sipil

Volume 6 : Desember 2012 Group Teknik Arsitektur ISBN : 978-979-127255-0-6

TA 1 - 1 1

Tabel 5. Kelas Rentan Gerakan Tanah dan Kawasan Hutan dirinci Menurut Kecamatan Di Kabupaten Enrekang (Analisis

2012) (lanjutan)

Nama

Kecamatan

Kelas Rentan

Gerakan Tanah Kawasan Hutan Luas (Ha)

Kec. Cendana Sedang Areal Penggunaan Lain 10,71

Hutan Produksi Terbatas 85,80

Tidak Rawan Areal Penggunaan Lain 7.023,36

Hutan Lindung 1.529,40

Hutan Produksi Terbatas 1.070,13

Perairan 284,03

Kec. Curio Rawan Areal Penggunaan Lain 289,15

Hutan Lindung 1.565,28

Sedang Areal Penggunaan Lain 5.302,86

Hutan Lindung 5.209,26

Tidak Rawan Areal Penggunaan Lain 6.094,52

Kec. Enrekang Rawan Areal Penggunaan Lain 2.598,96

Hutan Lindung 5.203,68

Hutan Produksi Terbatas 28,27

Perairan 42,98

Sedang Areal Penggunaan Lain 5.832,41

Hutan Lindung 5.050,48

Hutan Produksi Terbatas 292,92

Perairan 167,05

Tidak Rawan Areal Penggunaan Lain 6.887,65

Hutan Lindung 1.165,24

Hutan Produksi Terbatas 561,82

Perairan 199,59

Kec. Maiwa Sedang Areal Penggunaan Lain 1.781,61

Hutan Lindung 1.532,70

Hutan Produksi Terbatas 1.107,72

Tidak Rawan Areal Penggunaan Lain 19.196,66

Hutan Lindung 2.173,41

Hutan Produksi Terbatas 2.540,71

Kec. Malua Rawan Areal Penggunaan Lain 35,53

Hutan Lindung 169,56

Sedang Areal Penggunaan Lain 4.478,01

Hutan Lindung 456,39

Perairan 30,04

Tidak Rawan Areal Penggunaan Lain 1.631,18

Hutan Lindung 0,68

Perairan 19,61

Kec. Masalle Rawan Areal Penggunaan Lain 717,32

Hutan Lindung 1.903,80

Hutan Produksi Terbatas 1.368,12

Sedang Areal Penggunaan Lain 2.026,65

Hutan Lindung 751,20

Hutan Produksi Terbatas 748,76

Tidak Rawan Areal Penggunaan Lain 11,19

Hutan Lindung 18,80

Total Luas

181.928,83

SIMPULAN

Berdasarkan analisis tingkat kerentanan gerakan tanah di Kabupaten Enrekang dapat disimpulkan sebagai

berikut :

1. Pemanfaatan Sistem Informasi Geografis (SIG) untuk identifikasi daerah rentan gerakan tanah dengan

penilaian spasial berdasarkan Norma,Standar, dan Pedoman adalah sangat sesuai karena mampu

Mitigasi Daerah Rentan Gerakan… Abdul Rachman R., Isfa Sastrawati, Syahriana Syam & Fajar Sukma Jaya

Arsitektur Elektro Geologi Mesin Perkapalan Sipil

ISBN : 978-979-127255-0-6 Group Teknik Arsitektur Volume 6 : Desember 2012

TA 1 - 12

memadukan dan mengolah data spasial sehingga mampu menghasilkan informasi baru berkaitan

dengan tujuan analisis berupa informasi deskripsi, peta dan tabular.

2. Wilayah dengan rentan gerakan tanah rawan sekitar 13,07 % atau sekitar 23.777,86 Ha, rentan gerakan

tanah tingkat sedang sekitar 50,57 % atau sekitar 92.001,46 Ha dan rentan gerakan tanah tidak rawan

sekitar 36,66 % atau sekitar 66.149,51 Ha. Jika dirinci menurut tingkat kerentanan, untuk tingkat

rawan terluas berada di Kec. Enrekang sekitar 33,11 % dan Kec. Anggeraja sekiatr 21,59 %, Kec.

Masalle sekitar 16,78 % serta Kec. Buntu Batu sekitar 13,71 % dari total luas rentan gerakan tanah

tingkat rawan

3. Mitigasi bahaya gerakan tanah mencakup tindakan pengurangan resiko, persiapan khusus menghadapi

bencana, dan setelah bencana terjadi. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa faktor kemiringan lereng

dan penggunaan lahan merupakan faktor utama tingginya tingkat kerentanan gerakan tanah. Untuk itu

mitigasi yang akan dikembangkan berasal dari parameter tersebut. Jika ditinjau dari penetapan

kawasaan hutan di Kab.Enrekang, terlihat bahwa wilayah rentan gerakan tanah dengan tingkat rawan,

kawasan hutan lindung merupakan kawasan terluas yaitu sekitar 67,45 % atau 16.038,92 Ha dari total

luas daerah yang rawan. Hal ini menunjukkan bahwa penetapan sebagai kawasan hutan lindung di

kawasan tersebut sudah sesuai sehingga dapat menjadi bagian dari upaya pengurangan bahaya bencana

gerakan tanah, khusunya pengurangan tingkat kerugian baik dari kerugian jiwa maupun materi.

Gambar 10. Pembuatan bangunan

penahan pada daerah rentan

Gambar 8. Bagian daerah yang rentan

Gambar 11. Salah satu wilayah yang telah

mengalami gerakan tanah/longsor

Gambar 9. Lokasi rumah yang rawan gerakan tanah

PROS ID ING 2 0 1 2 © HASIL PENELITIAN FAKULTAS TEKNIK

Arsitektur Elektro Geologi Mesin Perkapalan Sipil

Volume 6 : Desember 2012 Group Teknik Arsitektur ISBN : 978-979-127255-0-6

TA 1 - 13

DAFTAR PUSTAKA

Soedrajat, GM, dan Djaja, 2002. Sistem Informasi Bencana Alam Geologi di Indonesia (Information System of

Geological Hazard in Indonesia). Prosiding Seminar Nasional SLOPE 2002. Bandung 27 April 2002.

Hal 63-71

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.22/PRT/M/2007 Tentang Pedoman Penataan Ruang Kawasan Rawan

Bencana Longsor. Departemen Pekerjaan Umum. Direktorat Jenderal Penataan Ruang. Jakarta

Karnawati, D.2005. Bencana Alam Gerakan Massa Tanah di Indonesia dan Upaya Penanggulangannya.

Fakultas Teknik Geologi Universitas Gajah Mada. Yogyakarta

Eddy Prahasta, 2002. Sistem Informasi Geografis “Konsep-konsep Dasar”.Informatika. Bandung

Undang-undang RI Nomor 26 tahun 2007 Tentang Penataan Ruang. Jakarta