42
Jurnal Hukum & Pembangunan 50 No. 4 (2020): 1007-1048 ISSN: 0125-9687 (Cetak) E-ISSN: 2503-1465 (Online) Tersedia versi daring: http://jhp.ui.ac.id DOI: http://dx.doi.org/10.21143/jhp.vol50.no4.2868 STATUS KEPEMILIKAN DAN PEMANFAATAN TANAH GRONDKAART DI STASIUN DEPOK BARU, LENTENG AGUNG, DAN TANJUNG BARAT Sulistiowati*, Nurhasan Ismail**, Taufiq El Rahman*** * Professor, Business Law Department **,*** Associate Professor, Civil Law Department Korespondensi: [email protected]; [email protected]; [email protected] Naskah dikirim: 19 Agustus 2020 Naskah diterima untuk diterbitkan: 20 Nopember 2020 Abstract The disputes over land ownership and utilization of Grondkaart for Railway activities between the government and PT KAI should not have occurred due to both having the same vested interest for the state. However, the reality shown that land ownership dan agreement status on land use with the third party. Through the qualitative analysis, the research findings: First, land originating from Grondkaart at the location still belongs to the goverment due to the land still holding the status of the right to use or ’Hak Pakai’ during the course of the time the land used by the Government and the land participation as a capital in PT KAI before the process of handling the right of land ownership; Second, there is a difference in the legalty of the land use agreement with a third party, namely the agreement made by PT KAI that does not fulfill 2 (two) legal requirements within the agreement, namely the ability to act and on the agreement and the legality of the clauses, meanwhile the agreement taht should be enacted by the government should fulfill all the valid requirements of the agreement.. Keywords: Railways, Land use, Agreement. Abstrak Sengketa kepemilikan dan pemanfaatan tanah Grondkaart untuk kegiatan Perkeretaapian antara Pemerintah dengan PT KAI seharusnya tidak terjadi karena keduanya mempunyai kepentingan yang sama bagi Negara. Namun realitanya telah terjadi sehingga menarik untuk diteliti dengan fokus pada permasalahan: status kepemilikan tanah dan status perjanjian pemanfaatan tanah dengan pihak ketiga. Melalui analisis kualitatif, temuan penelitian: Pertama, tanah yang berasal dari Grondkaart di lokasi masih kepunyaan/aset pemerintah karena tanah berstatus Hak Pakai Selama Digunakan yang hanya dapat dipunyai Pemerintah dan penyertaan tanah sebagai modal di PT KAI belum disertai dengan proses pemindahtanganan hak kepemilikan atas tanah; Kedua, terdapat perbedaan keabsahan dari perjanjian pemanfaatan tanah dengan pihak ketiga yaitu perjanjian yang dilakukan oleh PT KAI tidak memenuhi 2 (dua) syarat sahnya perjanjian yaitu kecakapan bertindak dan kausa yang halal, sedangkan perjanjian yang dilakukan oleh Pemerintah memenuhi semua syarat sahnya perjanjian. Kata Kunci: Perkeretaapian, Pemanfaatan Tanah, Perjanjian.

STATUS KEPEMILIKAN DAN PEMANFAATAN TANAH …

  • Upload
    others

  • View
    9

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: STATUS KEPEMILIKAN DAN PEMANFAATAN TANAH …

Jurnal Hukum & Pembangunan 50 No. 4 (2020): 1007-1048

ISSN: 0125-9687 (Cetak) E-ISSN: 2503-1465 (Online)

Tersedia versi daring: http://jhp.ui.ac.id

DOI: http://dx.doi.org/10.21143/jhp.vol50.no4.2868

STATUS KEPEMILIKAN DAN PEMANFAATAN TANAH GRONDKAART DI

STASIUN DEPOK BARU, LENTENG AGUNG, DAN TANJUNG BARAT

Sulistiowati*, Nurhasan Ismail**, Taufiq El Rahman***

* Professor, Business Law Department

**,*** Associate Professor, Civil Law Department

Korespondensi: [email protected]; [email protected]; [email protected]

Naskah dikirim: 19 Agustus 2020

Naskah diterima untuk diterbitkan: 20 Nopember 2020

Abstract

The disputes over land ownership and utilization of Grondkaart for Railway activities

between the government and PT KAI should not have occurred due to both having the

same vested interest for the state. However, the reality shown that land ownership dan

agreement status on land use with the third party. Through the qualitative analysis,

the research findings: First, land originating from Grondkaart at the location still

belongs to the goverment due to the land still holding the status of the right to use or

’Hak Pakai’ during the course of the time the land used by the Government and the

land participation as a capital in PT KAI before the process of handling the right of

land ownership; Second, there is a difference in the legalty of the land use agreement

with a third party, namely the agreement made by PT KAI that does not fulfill 2 (two)

legal requirements within the agreement, namely the ability to act and on the

agreement and the legality of the clauses, meanwhile the agreement taht should be

enacted by the government should fulfill all the valid requirements of the agreement.. Keywords: Railways, Land use, Agreement.

Abstrak

Sengketa kepemilikan dan pemanfaatan tanah Grondkaart untuk kegiatan

Perkeretaapian antara Pemerintah dengan PT KAI seharusnya tidak terjadi karena

keduanya mempunyai kepentingan yang sama bagi Negara. Namun realitanya telah

terjadi sehingga menarik untuk diteliti dengan fokus pada permasalahan: status

kepemilikan tanah dan status perjanjian pemanfaatan tanah dengan pihak ketiga.

Melalui analisis kualitatif, temuan penelitian: Pertama, tanah yang berasal dari

Grondkaart di lokasi masih kepunyaan/aset pemerintah karena tanah berstatus Hak

Pakai Selama Digunakan yang hanya dapat dipunyai Pemerintah dan penyertaan tanah

sebagai modal di PT KAI belum disertai dengan proses pemindahtanganan hak

kepemilikan atas tanah; Kedua, terdapat perbedaan keabsahan dari perjanjian

pemanfaatan tanah dengan pihak ketiga yaitu perjanjian yang dilakukan oleh PT KAI

tidak memenuhi 2 (dua) syarat sahnya perjanjian yaitu kecakapan bertindak dan kausa

yang halal, sedangkan perjanjian yang dilakukan oleh Pemerintah memenuhi semua

syarat sahnya perjanjian. Kata Kunci: Perkeretaapian, Pemanfaatan Tanah, Perjanjian.

Page 2: STATUS KEPEMILIKAN DAN PEMANFAATAN TANAH …

1008 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

“Pembuktian yuridis itu adalah pembuktian yang historis”. Demikian pendapat

yang dikemukakan oleh H.Drion dan menjadi menarik untuk dibahas dalam kaitannya

dengan sengketa tanah antara Direktorat Jenderal Perkeretapian Kementerian

Perhubungan Republik Indonesia (disingkat Ditjen Perkeretapian) dengan PT Kereta

Api Indonesia (disingkat PT KAI) di beberapa stasiun di wilayah Depok Baru,

Lenteng Agung, dan Tanjung Barat. Pada tahun 2017, Ditjen Perkeretapian dan PT

KAI saling mendaku kepemilikan tanah di ketiga Stasiun dengan alas hak yang

berbeda.1 Ditjen Perekeretaapian mendasarkan pada Sertifikat Hak Pakai dan Surat

Pelepasan Hak, sedangkan PT KAI mendasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor

57 Tahun 1990 dan Sertifikat Hak Pakai.

Aset perkeretapian yang tersebar luas di seluruh wilayah Indonesia dan dan bukti

kepemilikannya seringkali menjadi permasalahan tersendiri.2 Berdasarkan sejarahnya,

perkeretaapian Indonesia ditandai dengan pembangunan jalan kereta api yang

dilaksanakan oleh Perusahaan Kereta Api Negara atau Staat Spoorwegen (disingkat SS)

yang beroperasi sejak tahun 1878 dan berkantor pusat di Bandung serta Perusahaan

Kereta Api Swasta atau Verenigde Spoorwegbedrijf (disingkat VS) yang beroperasi

sejak tahun 1867 dan berkantor pusat di Semarang.3

Sebelum dilaksanakan pembangunan jalan kereta api oleh SS, terlebih dahulu

dilakukan penyerahan penguasaan (bestemming) tanah negara kepada SS berdasarkan

Peraturan (ordonantie) yang dimuat dalam Staatsblad masing-masing.4 Penguasaan

tanah pada saat itu ditandai dengan grondkaart. Grondkaart merupakan surat ukur

atau gambar teknis dan memiliki dasar hukum berupa keputusan (besluit) dan atau

penetapan (beschikking) yang bisa digunakan sebagai referensi awal bagi proses

pembuktian hak kepemilikan lahan.

Tanah-tanah yang sudah dikuasakan kepada SS lalu diukur, dipetakan dan

diuraikan dalam grondkaart dengan menggunakan teknik geodesi oleh Landmester

(Petugas Pengukuran/Kadaster). Lalu untuk memenuhi legalitas dan peraturan yang

berlaku, maka setiap grondkaart disahkan oleh Kepala Kantor Kadaster dan Residen

setempat. Tanah-tanah yang diuraikan dalam grondkaart tersebut statusnya merupakan

Tanah Domein (Milik) Negara, dan ditempatkan sebagai aset SS (berdasarkan

penyerahan penguasaan/ bestemming), sehingga terhadap tanah tersebut berlaku

peraturan perundang-undangan perbendaharaan negara (komptabel). Tanah tersebut

tidak dapat diberikan kepada pihak lain sebelum mendapat izin dari Menteri Keuangan

selaku Bendahara Umum Negara dan Pembina Umum Kekayaan Negara. Berdasarkan

azas domain dalam hukum agraria sebagaimana yang temuat dalam Agrarische Wet

(Staatsblad 1870 N0. 55) dan Agrarisch Besluit (Staatsblad 1870 No. 118), kepada

instansi pemerintah tidak diberikan surat tanda bukti hak atas tanah, namun dibuatkan

Grondkaart seperti yang dimiliki oleh sebagai surat tanda bukti hak.

1 Irsyan Hasyim, 2017, Tempo.com, PT KAI dan Ditjen Perekeretapian Berebut Lahan di

Stasiun Depok, <https://bisnis.tempo.co/read/1040714/pt-kai-dan-ditjen-perkeretapian-berebut-lahan-di-

stasiun-depok>, diakses pada 13 Maret 2020. 2 Emir Fajar Saputra, 2020, bumn.go.id, Sekilas Tentang Aset PT KAI (Persero) Wilayah

Sumatera, <http://bumn.go.id/keretaapi/berita/1-Sekilas-Tentang-Aset-PT-KAI-Persero-Wilayah-

Sumatera->, diakses pada 13 Maret 2020. 3 Ch.N. Latief, et.al., 1997, Sejarah Perkeretaapian Indonesia-Jilid I, Cetakan Pertama,

Angkasa, Bandung, hal. 167. 4 Emir Fajar Saputra, Loc.Cit.

Page 3: STATUS KEPEMILIKAN DAN PEMANFAATAN TANAH …

The Ownership Status, Sulistiowati, Nurhasan Ismail, Taufiq El Rahman 1009

Setelah Proklamasi Kemerdekaan, kekayaan Pemerintah Hindia Belanda demi

hukum (van rechtswege) otomatis menjadi kekayaan Negara Republik Indonesia

berdasarkan penyerahan kedaulatan pada Konferensi Meja Bundar yang

ditandatangani tanggal 2 November 1949 dan berlaku mulai 27 Desember 1949. Tanah

SS telah dinasionalisasi dan pengelolaannya diserahkan kepada Djawatan Kereta Api

(DKA) pada tanggal 28 September 1945 setelah dibayarkan ganti kerugiannya oleh

Pemerintah Republik Indonesia.5

Dalam perkembangannya, DKA berganti nama yaitu Perusahaan Negara Kereta

Api (disingkat PNKA), Perusahaan Jawatan Kereta Api, Perusahaan Umum

Perkeretaapian, dan akhirnya pada tahun 1998 berubah nama menjadi PT. Kereta Api

Indonesia (Persero), berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19

Tahun 1998.6 Semua aset perkeretaapian yang pada mulanya berstatus sebagai aset

negara yang tidak dipisahkan menjadi aset kekayaan negara yang dipisahkan.7 Namun,

terdapat beberapa prasarana pokok yang dikecualikan dalam proses peralihan dari

kekayaan negara tidak dipisahkan menjadi kekayaan negara dipisahkan dalam proses

perubahan nama PJKA menjadi Perumka, yakni jalan kereta api, perlintasan, jembatan,

terowongan, perangkat persinyalan, dan telekomunikasi, instalasi, sentral listrik

beserta aliran atas, dan tanah dimana bangunan tersebut terletak serta tanah daerah

milik dan manfaat jalan kereta api.8

Persoalannya, Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1998 tidak mengatur

detail tentang prosedur penyerahan tanah yang disertakan menjadi modal PT KAI.

Konsekuensinya, status tanah untuk mendukung penyelenggaraan perkeretaapian

menjadi tidak jelas sehingga menjadi obyek yang disengketakan antara Ditjen

Perkeretaapian dengan PT KAI. Hal itu dikarenakan, di lain pihak, Ditjen

Perkeretaapian mengklaim bahwa tanah grondkaart berada di dalam Rumaja dan

Rumija yang menjadi kawasan dibangunnya TOD yang merupakan miliknya, sehingga

Ditjen Perekeretaapian mengklaim bahwa pihak yang seharusnya berhak mengadakan

perjanjian investasi pembangunan kawasan TOD dengan Investor adalah Ditjen

Perkeretaapian sebagai wakil dari Kementerian Perhubungan dan bukan PT KAI.9

Sengketa tanah tersebut semakin intensif ketika muncul rencana untuk

mengoptimalkan pemanfaatan tanah di stasiun-stasiun kereta api melalui perjanjian

pemanfaatan tanah dengan pihak ketiga untuk mengembangkan kawasan hunian dan

bisnis yang terintegrasi dengan stasiun kereta api dengan nama Transit Oriented

Development (TOD). Pihak Ketiga yang hendak menjadi mitra pengembangan yaitu

Perusahaan Umum Pembangunan Perumahan Nasional (disingkat Perum Perumnas)

dan PT. Adhi Commuter Properti dengan total nilai investasi mencapai 2 (dua) triliun

rupiah.10

5 Vide Pasal 2 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1958 tentang Pokok-

Pokok Pelaksanaan Undang-Undang Nasionalisasi Perusahaan Belanda 6 Emir Fajar Saputra, Op.CIt. 7 Vide Pasal 8 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 1990 tentang Pengalihan Bentuk

Perusahaan Jawatan (Perjan) Kereta Api Menjadi Perusahaan Umum (Perum) Kereta Api. 8 Vide Pasal 8 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 1990 tentang Pengalihan Bentuk

Perusahaan Jawatan (Perjan) Kereta Api Menjadi Perusahaan Umum (Perum) Kereta Api. 9 Surat Direktorat Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan RI kepada Direksi PT

Kereta Api Indonesia (Persero) Nomor KU.008/184/K1/DJKA/X/12 tanggal 25 Oktober 2012 yang

secara resmi diterima oleh secretariat PT KAI pada tanggal 29 Oktober 2012. 10 Alsadad Rudi, 2017, Kompas.com, Giliran Stasiun Pondok Cina Jadi Lokasi Rusun TOD,

<https://megapolitan.kompas.com/read/2017/10/02/08400481/giliran-stasiun-pondok-cina-jadi-lokasi-

rusun-tod.>, diakses pada 13 Maret 2020.

Page 4: STATUS KEPEMILIKAN DAN PEMANFAATAN TANAH …

1010 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang sebagaimana diuraikan di atas, penelitian ini

memfokuskan pada 2 (dua) permasalahan, yaitu :

1. Bagaimana status hukum kepemilikan tanah grondkaart di Lingkungan

Stasiun Depok baru, Lenteng Agung, dan Tanjung Barat?

2. Bagaimana status hukum perjanjian pemanfaatan tanah grondkaart bagi

pengembangan kawasan hunian dan bisnis di Lingkungan Stasiun Depok

baru, Lenteng Agung, dan Tanjung Barat?

II. METODE PENELITIAN

Sifat penelitian merupakan normatif-empiris 11 karena dalam setiap permasalahan

yang diteliti mengandung perpaduan antara analisis terhadap norma dalam peraturan

perundang-undangan dengan analisis terhadap perilaku hukum dari subyek

penguasaan dan pemanfaatan tanah perkeretaapian di lokasi penelitian. 12 Penelitian ini

dilakukan di 3 (tiga) lokasi yaitu Stasiun Depok Baru, Lenteng Agung, dan Tanjung

Barat. Meskipun penelitian ini perpaduan antara normatif dengan empiris, data yang

dikumpulkan lebih menyandarkan pada data sekunder berupa : (1) sejumlah Peraturan

perundang-undangan yang terkait dengan kepemilikan tanah Grondkaart dan

pemanfaatannya; (2) sejumlah dokumen yaitu perjanjian, surat keputusan pemerintah

dan berita-berita di media sosial yang terseleksi kebenarannya.

Data yang diperoleh diolah melalui 3 langkah yaitu reduksi data, penyajian data

dan penarikan kesimpulan.13 Perihal pengolahan data, menurut Miles dan Huberman

terdapat tiga teknik dalam pengolahan data kualitatif, yaitu reduksi data, penyajian

data dan penarikan kesimpulan. Dalam pengolahan data yang Peneliti lakukan, Peneliti

mengkualifikasikan data hasil penelitian, baik dari penelitian yuridis normatif maupun

yuridis empiris lalu mereduksi data yang tidak diperlukan, sehingga data yang

diperoleh adalah data yang relevan dengan permasalahan maupun pembahasan pada

penelitian ini. Dilanjutkan dengan penyajian data, yang merupakan kegiatan

penyusunan sekumpulan informasi, sehingga memberi kemungkinan adanya penarikan

kesimpulan. Terakhir, Peneliti melakukan penarikan kesimpulan sebagai hasil dari

analisis yang dapat digunakan untuk mengambil tindakan. Penarikan kesimpulan

didapat Peneliti setelah mengkaji masalah yang ada terkait dengan status pemanfaatan

tanah grondkaart sebagai aset negara dikaitkan dengan instrument hukum positif di

Indonesia.

III. PEMBAHASAN

3.1. Status Kepemilikan Tanah Grondkaart Untuk Kegiatan Perkereta-Apian

11 Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Jakarta, Kencana, hal. 94. 12 Zainuddin Ali, 2009, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 105. Lihat juga

Soerjono Soekanto, 2010, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, hal. 13-14; 13 Miles M.B. dkk, 2014, Qualitative Data Analysis: An Expanded Sourcebook Edition 3, Sage

Publication Asia-Pacific Pte. Ltd., Singapore, hlm. 13. Lihat juga Saepul Rahmat Pupu, 2009,

“Penelitian Kualitatif” dalam Jurnal Equilibrium, Volume 5, Nomor 9, PGRI, Madiun, hlm. 7; Bambang Waluyo, 1991, Penelitian Hukum dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta,

hlm. 77; Ariesto Hadi Sutopo dan Adrianus Arief, 2010, Terampil Mengolah Data Kualitatif

Dengan NVIVO, Prenada Media Group, Jakarta, hlm. 27; Asep Saepul Hamdi, 2014, Metode

Penelitian Kuantitatif Aplikasi dalam Pendidikan, Deepublish, Yogyakarta, hal 4.

Page 5: STATUS KEPEMILIKAN DAN PEMANFAATAN TANAH …

The Ownership Status, Sulistiowati, Nurhasan Ismail, Taufiq El Rahman 1011

Status kepemilikan tanah yang berasal dari tanah Grondkaart yang digunakan

untuk kegiatan perkeretaapian dapat dilihat dari 3 aspek, yaitu :

1. Kajian Dari Aspek Subyek Pemegang Hak

Ada 4 (empat) kelompok periode terutama setelah Indonesia merdeka : Pertama,

periode pengelolaan & pengoperasian perkeretaapian yang langsung dilakukan oleh

Pemerintah melalui pembentukan satu unit kerja di lingkungan Kementerian/

Departemen Perhubungan yang disebut Djawatan Kereta Api Republik Indonesia yang

dibentuk pada Tahun 1946 dan Djawatan Kereta Api yang dibentuk pada tahun 1950

dan berlangsung sampai 1963. Artinya, subyek yang menguasai dan mengurus

kekayaan berupa tanah adalah kementerian/departemen perhubungan;

Kedua, periode pengelolaan & pengoperasian perkeretaapian dilaksanakan oleh

perusahaan yaitu Perusahaan Negara KA selama periode 1963-1971 dan kemudian

Perusahaan Jawatan KA selama periode 1971-1990 namun orientasi kegiatannya lebih

pada penyediaan pelayanan kebutuhan publik di salah satu bidang transportasi darat.

Perusahaan belum mempunyai kedudukan yang mandiri sebagaimanahalnya sebuah

perusahaan berbadan hukum. Pada periode ini, sudah dianut asas tidak adanya

pemisahan kekayaan antara kekayaan perusahaan dengan kekayaan (aset)

Kementerian/Departemen Perhubungan;

Ketiga, periode transisional dari periode penyediaan jasa pelayanan publik ke

periode kegiatan usaha murni dalam pengelolaan dan pengoperasian perkeretaapian

melalui pergantian Perusahaan Jawatan KA menjadi Perusahaan Umum (PERUM) KA

selama periode 1990 – 1998. PERUMKA berada dalam kedudukan semi-mandiri yang

ditandai dengan : (1) ada 2 fungsi yang masih harus dijalankan oleh PERUMKA yaitu

fungsi pemberian pelayanan jasa angkutan dengan harga pelayanan yang disubsidi

oleh Negara dan fungsi pencarian keuntungan melalui kegiatan usaha lain; (2)

sebagian kekayaan PERUMKA sudah diserahkan kepada Perumka sebagai kekayaan

yang dipisahkan & penyerahannya didasarkan pada asas penyerahan nyata atau fisik.

Sebagian kekayaan PERUMKA terutama tanah tetap menjadi kekayaan pemerintah cq.

Departemen/Kementerian Perhubungan; (4) khusus tanah yang sudah diwarisi dari Pra

Kemerdekaan termasuk yang dibeli dari anggaran pemerintah tetap berlaku Asas

Tidak Adanya Pemisahaan Kekayaan sehingga menjadi kepunyaan Pemerintah cq.

Departemen/Kementerian Perhubungan.

Keempat, periode kemandirian penuh sebagai pelaku kegiatan usaha dalam

pengelolaan dan pengoperasian perkeretaapian yaitu dengan adanya pergantian

PERUMKA menjadi Perusahaan Perseroan KA Indonesia (PT KAI) yang dimulai

pada tahun 1998 melalui PP No.19 Tahun 1998 sampai sekarang. Kemandirian penuh

itu menunjuk pada kedudukan PT KAI yang secara normatif sebagai subyek hukum

dengan kekayaannya sendiri yang terpisah.

Dari keempat Periode pengelolaan dan pengoperasian perkeretaapian

setelah kemerdekaan tersebut pada intinya dilihat dari hubungan hukum antara subyek

dengan kekayaan terutama benda tetap yaitu tanah, dapat dibedakan ke dalam 2 (dua)

periode :

a. Pada 3 (tiga) periode pertama unit kerja dan perusahaan yang mengelola dan

mengoperasikan kegiatan pelayanan dan kegiatan usaha belum berkedudukan

sebagai subyek yang mandiri karena masih ditempatkan di bawah kewenangan

Pemerintah cq. Departemen atau Kementerian yang membawahi perkeretaapian.

Dengan kedudukan yang belum mandiri sebagai subyek hukum mempunyai 2

(dua) konsekuensi hukum yang berbeda mengenai hubungan hukum antara Unit

Kerja/Perusahaan Negara/Perusahaan Umum yang mengelola dan

Page 6: STATUS KEPEMILIKAN DAN PEMANFAATAN TANAH …

1012 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020

mengoperasikan kereta api dengan benda yang bergerak dan dengan benda tetap

yaitu tanah. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut : Pertama, Terhadap benda

bergerak, Unit Kerja/Perusahaan Negara/Perusahaan Umum berkedudukan

sebagai pemilik atas benda bergerak dan hal ini sesuai dengan Asas Hukum

bahwa subyek yang menguasai benda bergerak secara fisik, maka dialah yang

berkedudukan sebagai pemilik atas benda bergerak. Karena Unit

Kerja/Perusahaan Negara/Perusahaan Umum telah menguasai benda bergerak

seperti gerbong kereta api dan peralatan kantor secara fisik, maka Unit

Kerja/Perusahaan Negara/Perusahaan Umum dapat dinyatakan sebagai pemilik

atas benda-benda bergerak, kecuali benda bergerak yang berfungsi sebagai

prasarana pokok seperti bangunan kantor, bangunan instalasi, dan bangunan rel

yang masih ditetapkan sebagai milik pemerintah. Artinya, terhadap benda

bergerak tersebut berlaku Asas Pemisahan Kekayaan yaitu kepemilikan atas

benda bergerak tersebut sudah dilepaskan dan dipindahtangankan dari

Pemerintah kepada Unit Kerja/Perusahaan Negara/Perusahaan Umum;

Kedua, Sebaliknya, terhadap benda tetap yaitu tanah dan benda bergerak

tertentu yang disebutkan dalam PP No.57 Tahun 1990 yang dikategorikan dan

difungsikan sebagai Prasarana Pokok masih dimiliki oleh Pemerintah atau

kepemilikannya tidak diserahkan dan dipindahtangankan oleh Pemerintah

kepada Unit Kerja/Perusahaan Negara/Perusahaan Umum yang mengoperasikan

kereta api. Artinya, terhadap kepemilikan tanah berlaku Asas Tidak Adanya

Pemisahan Kekayaan yaitu Pemerintah tetap menyatakan dirinya sebagai

pemegang hak kepemilikan atas tanah. Begitu juga terhadap benda bergerak

tertentu yang berfungsi sebagai Prasarana Pokok seperti bangunan kantor,

bangunan instalasi, dan bangunan rel, meskipun secara fisik dikuasai oleh Unit

Kerja/Perusahaan Negara/Perusahaan Umum yang mengoperasikan kereta api,

berlaku Asas Tidak Adanya Pemisahan Kekayaan.

Jika dicermati ada konsistensi penggunaan Asas Tidak Adanya Pemisahan

Kekayaan terhadap benda tetap khususnya tanah. Artinya, selama periode ini

benda tetap khususnya tanah tetap dipunyai oleh Pemerintah serta tidak

diserahkan dan tidak dipindahtangankan kepada Unit Kerja/Perusahaan yang

mengoperasikan kereta api. Sebaliknya, ada ketidakkonsistenan (dalam arti

bersikap mendua/ ambiqu) penggunaan Asas terhadap benda bergerak yaitu

benda bergerak tertentu diberlakukan Asas Pemisahan kekayaan dalam artian

diserahkan dan dipindah-tangankan kepada Unit Kerja/Perusahaan yang

mengoperasikan kereta api namun terhadap benda bergerak tertentu lainnya

diberlakukan Asas Tidak Adanya Pemisahan Kekayaan.

b. Pada periode terakhir yaitu sejak terjadinya perubahan bentuk perusahaan

menjadi Perusahaan Perseroan pada tahun 1998 berdasarkan PP No.19 Tahun

1998, PT Kereta Api Indonesia (PT KAI) sudah berkedudukan sebagai subyek

hukum yang mandiri. Dengan kedudukannya yang demikian, PT KAI secara

normatif sebenarnya sudah dapat berstatus sebagai subyek pemilik atas semua

kekayaan baik yang berupa benda bergerak maupun benda tetap yaitu tanah yang

sudah dipisahkan dan diserahkan oleh Pemerintah kepada PT KAI. Namun

secara empiris, kekayaan berupa benda tetap yaitu tanah belum diikuti dengan

tindakan pemisahan dan penyerahan dari Pemerintah sebagai pendiri Perusahaan

Perseroan kepada PT KAI sebagai subyek hukum yang mandiri.

Konsekuensinya, kekayaan berupa tanah masih tetap hak kepemilikannya

berada di tangan Pemerintah, sedangkan PT KAI sudah menganggap dirinya

Page 7: STATUS KEPEMILIKAN DAN PEMANFAATAN TANAH …

The Ownership Status, Sulistiowati, Nurhasan Ismail, Taufiq El Rahman 1013

sebagai pemilik hak atas tanah karena secara normatif sudah ada penyerahan

kekayaan kepada dirinya. Dalam konteks ini terdapat dualisme pandangan antara

instansi pemerintah sebagai pendiri PT KAI dengan PT KAI sendiri sebagai

subyek atau badan hukum yang mandiri. Dualisme pandangan di antara 2 (dua)

badan hukum yang berbeda membuka potensi terjadinya konflik mengenai

subyek yang berhak atas kekayaan khususnya tanah yang sudah dipisahkan.

Jika dicermati baik dari sisi normatif maupun empiris, faktor yang

menyebabkan terjadinya kondisi pandangan yang dualistis tersebut, yaitu adanya

inkonsistensi penggunaan asas hukum yang dijadikan dasar dalam pengaturan

dan pelaksanaan pengelolaan aset pemerintah dan badan usaha milik negara

khususnya tanah sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan di

bidang UU Perbendaharaan Negara beserta peraturan pelaksanaannya

dibandingkan dengan asas hukum yang pada umumnya berlaku. Konsekuensi

hukum baik secara normatif maupun implementasinya menimbulkan anggapan

yang berbeda tentang subyek hukum yang berhak atas tanah yaitu Pemerintah

sebagai pendiri atau PT KAI sebagai perusahaan yang didirikan oleh Pemerintah.

Inkonsistensi penggunaan asas hukum tersebut dapat dicermati dari beberapa

fakta adanya tumpang tindih asas hukum yang digunakan sebagai dasar

pengaturan dan pelaksanaan. Istilah ”tumpang-tindih”menunjuk pada adanya

perbedaan asas hukum dan norma hukum yang menjadi jabarannya sebagai

dasar pengaturan satu perilaku atau kondisi atau keadaan yang sama. Perbedaan

itu akan berakibat pada tidak adanya kepastian hukum karena para subyek

hukum yaitu instansi pemerintah/ pemerintah daerah dan badan usaha milik

negara/daerah dihadapkan pada adanya pilihan hukum. Sebagai subyek hukum

yang rasional, masing-masing subyek akan memilih ketentuan hukum yang

paling sesuai dengan kepentingan dirinya namun akibat lanjutannya adalah

terjadinya benturan kepentingan atau konflik kepentingan berupa penilaian

bahwa dirinyalah yang berhak sebagai subyek sebagaimana terjadi antara pihak-

pihak dalam penelitian ini. Ada beberapa tumpang tindih asas hukum yang

dikemukakan dalam penelitian ini, yaitu :

1) Asas Penyamaan Barang Bergerak dengan Barang Tetap versus Asas

Pembedaan Antara Keduanya

Asas Penyamaan Barang Bergerak dengan Barang Tetap merupakan suatu

pedoman berperilaku yang mengarahkan untuk menempatkan barang

bergerak dan benda tetap dalam kedudukan yang sama dan berbagai

konsekuensi yang mengikutinya yaitu adanya kesamaan cara penentuan

subyek yang berhak serta bentuk dan cara pemindahtanganan dan

penyerahan hak kepemilikan atas barang. Sebaliknya, Asas Pembedaan

Barang Bergerak dengan Barang Tetap merupakan pedoman berperilaku

yang menempatkan keduanya dalam kedudukan yang berbeda termasuk

adanya perbedaan tentang cara penentuan subyek yang berhak serta bentuk

dan cara pemindahtanganan dan penyerahan hak kepemilikan atas kedua

barang. Jika mengacu pada hukum yang berlaku sekarang, maka Barang

Bergerak meliputi mobil, kereta api, bangunan apapun bentuknya, tanaman,

mesin termasuk yang melekat pada tanah sedangkan Barang Tetap ber tanah,

kapal dengan tonase tertentu, dan pesawat terbang.

Asas Penyamaan Barang Bergerak dengan Barang Tetap dianut dalam UU

No.1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara sebagai pengganti

Indische Comptabiliteitswet (Staatsblad Tahun 1925 Nomor 448)

Page 8: STATUS KEPEMILIKAN DAN PEMANFAATAN TANAH …

1014 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020

sebagaimana telah beberapa kali diubah dan ditambah terakhir dengan

Undang-undang Nomor 9 Tahun 1968 dan PP No.27 Tahun 2014 tentang

Pengelolaan Barang Milik Negara dan Daerah sebagai pengganti PP No.6

Tahun 2006 termasuk barang kepunyaan Badan Usaha Milik Negara/Daerah

(BUMN/D). Hal ini dapat dicermati dari 2 (dua) fakta normatif, yaitu : (a)

penggunaan istilah Barang Milik Negara/Barang Milik Daerah untuk

menyebut barang bergerak dan barang tetap yang dipunyai

pemerintah/pemerintah daerah dan istilah Aktiva Tetap/Aset tetap untuk

menyebut barang bergerak dan barang tetap yang dipunyai BUMN/D.

Artinya, ketika disebut dalam substansi ketentuannya ”Barang Milik

Negara”/”Barang Milik Daerah” atau Aktiva Tetap/Aset Tetap, maka yang

dimaksud adalah barang bergerak dan barang tetap termasuk tanah; 14 (b)

penggunaan Asas Penyamaan Barang Bergerak dan Barang Tetap dicermati

dari mekanisme pemindahtanganan melalui jual beli atau penyertaan modal

barang bergerak dan barang tetap kepada atau ke dalam perusahaan lain atau

pemanfaatan/pendayagunaan Barang Milik Negara atau Aset Tetap harus

mengikuti tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan

tersebut di atas. Dalam Peraturan Perundang-undangan Pengelolaan Barang

Milik Negara/Daerah dan Aset Tetap BUMN/D tidak terdapat ketentuan

yang secara tegas memerintahkan untuk memberlakukan tata cara yang

diatur dalam peraturan perundang-undangan lain seperti hukum pertanahan

atau hukum perjanjian atau hukum perseroan terbatas. Dengan kata lain,

proses pemindahtanganan atau pemanfaatan/pendayagunaan Barang Milik

Negara atau Aset Tetap baik berupa barang bergerak maupun barang tetap

yaitu tanah berakhir dengan telah diikutinya mekanisme yang diatur dalam

peraturan perundang-undangan yang mengatur pengelolaan Barang Milik

Negara atau Aset Tetap BUMN yaitu adanya Peraturan Pemerintah atau

Peraturan Daerah yang mengesahkan dan ditandatanganinya Berita Acara

Serah Terima Barang.

Asas Pembedaan Barang Bergerak dengan Barang Tetap dianut dalam

bidang Hukum Perjanjian dan Hukum Pertanahan. Pembedaan barang

bergerak dan barang tetap didasarkan pada adanya perbedaan cara

pemindahtanganan dan penyerahan, pembebanan sebagai jaminan atas

hutang, serta cara memperoleh dan terjadinya hak atas barang bergerak dan

barang tetap. Hal tersebut mempunyai konsekuensi terhadap keabsahan

kedudukan seseorang sebagai pemilik, keabsahan berpindahnya hak

kepemilikan atas barang, keabsahan dan lahirnya hak jaminan, dan

keabsahan dan lahirnya hak kepemilikan atas barang baik bergerak maupun

tetap.

Dengan dianutnya Asas Penyamaan Barang dan Barang Tetap dalam

bentuk pemberlakuan mekanisme yang sama dalam proses penyertaan

modal berupa barang bergerak dan barang tetap berupa tanah dari

Pemerintah kepada BUMN yaitu PT KAI tanpa memperhatikan ketentuan di

bidang hukum lainnya, konsekuensi hukum yang timbul yaitu : (a) dengan

telah ditetapkan pengalihan kekayaan PERUMKA kepada PT KAI dalam

14 Peraturan Menteri BUMN No.02/MBU/2010 dan peraturan sebelumnya yaitu Instruksi

Menteri BUMN No.01-MBUMN/2002 dan istilah ”Aset Tetap” sebagaimana digunakan dalam

Peraturan Menteri BUMN No.PER-13/MBU/09/2014 dan Peraturan Menteri BUMN No.PER-

03/MBU/08/2017

Page 9: STATUS KEPEMILIKAN DAN PEMANFAATAN TANAH …

The Ownership Status, Sulistiowati, Nurhasan Ismail, Taufiq El Rahman 1015

Peraturan Pemerintah No.19 Tahun 1998 dan adanya Berita Acara Serah

Terima Kekayaan serta telah dikuasainya secara fisik, kepemilikan semua

barang bergerak maupun barang tetap termasuk tanah sudah berpindah

kepada PT KAI. Padahal menurut hukum pertanahan dan hukum perjanjian

kepemilikan tanah belum beralih karena belum mengikuti mekanisme yang

diatur dalam ketiga bidang tersebut masih terbuka untuk dianggap sebagai

miliknya Pemerintah cq. Kementerian Perhubungan; (b) Pemerintah dan PT

KAI sama-sama menyatakan sebagai pihak yang berhak dengan dasar

hukum yang berbeda sebagai landasannya; (c) adanya benturan kepentingan

atau konflik tentang status kepemilikan atas sebidang tanah terbuka untuk

terjadi sebagai akibat penyamaan asas-asas hukum yang berlaku atas barang

bergerak dan barang tetap.

2) Asas Penyerahan Nyata versus Asas Penyerahan Yuridis

Asas Penyerahan Nyata atau Feitelijke Levering memberikan

pedoman bahwa satu barang bergerak yang diperoleh melalui alas hak yang

sah atau hubungan hukum yang sah seperti perjanjian jual beli, hibah, tukar-

menukar, dan penyertaan modal akan berpindah hak kepemilikan atas

barang bergerak itu kepada pembeli, penerima hibah, penerima penukaran,

dan penerima penyertaan modal setalah dilakukan penyerahan nyata barang

bergerak oleh penjual, pemberi hibah, pemberi penukaran, dan pemberi

penyertaan modal. 15 Asas Penyerahan Nyata dianut dalam

pemindahtanganan hak kepemilikan atas barang bergerak yaitu dari tangan

ke tangan seperti penyerahan kunci mobil, kunci bangunan yang didalamnya

terdapat mesin pabrik, kunci bangunan rumah, atau rangkaian kereta api.

Pemberlakuan Asas Penyerahan Nyata terhadap pemindahtanganan barang

bergerak mempunyai peranan penting karena terkait juga dengan Asas

hukum lain yaitu subyek yang menguasai secara fisik atas barang bergerak

yang didasarkan pada adanya alas hak atau hubungan hukum yang sah,

maka subyek inilah yang berkedudukan sebagai pemilik barang bergerak.

Asas Penyerahan Yuridis atau Juridische Levering 16 memberikan

pedoman bahwa suatu barang tetap yang diperoleh melalui alas hak atau

hubungan yang sah seperti perjanjian jual beli, hibah, tukar menukar, dan

penyertaan modal akan berpindah hak kepemilikannya setelah dilakukan

penyerahan secara yuridis sesuai dengan persyaratan dan prosedur yang

ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Jika barang tetap itu

berupa tanah, maka penyerahan secara yuridis itu harus memenuhi, yaitu :

Pertama, pemindahtanganannya dilakukan sesuai ketentuan PP No.24

Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yaitu dengan akte pemindahtangan

yang dibuat di hadapan dan oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah yang akan

diikuti dengan pendaftaran di Kantor Pertanahan untuk dilakukan; atau

Kedua, pemindahtanganannya tidak boleh dilakukan secara langsung

seperti jual beli atau penyertaan modal namun harus sesuai dengan

katentuan PP No.40 Tahun 1996 tentang HGU, HGB, dan Hak Pakai dan

Pemennag/Ka.BPN No.9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian Dan

Pembatalan Hak Atas Tanah Negara Dan Hak Pengelolaan yaitu: (1) ada

pelepasan hak atas tanah kepada Negara yang dituangkan dalam Akta

15 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, 1974, Hukum Benda, diterbitkan Seksi Hukum Perdata

Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hal. 79-88 16 Ibid

Page 10: STATUS KEPEMILIKAN DAN PEMANFAATAN TANAH …

1016 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020

Pelepasan Hak sehingga tanah menjadi tanah yang langsung dikuasai

Negara; dan (2) diikuti dengan Permohonan Hak Atas Tanah yang sesuai

dan diinginkan oleh Pembeli atau Penerima Penyertaan Modal;

Pemindahtanganan barang bergerak dan barang tetap yaitu tanah

melalui penyertaan modal pemerintah kepada PT KAI tunduk pada Asas

Penyerahan Nyata (Feitelijke Levering).17 Hal ini dapat dicermati dari fakta

normatif yang terdapat dalam ketentuan Peraturan Perundang-undangan

yang mendasari, yaitu : Pertama, tidak ada ketentuan yang mengharuskan

pemindahtanganan tanah dilakukan melalui mekanisme pembuatan akta

autentik yang dibuat oleh pejabat pembuat akta tanah, kecuali dalam

Keputusan Menteri Keuangan No.470/ KMK.01/1994 sebagaimana terdapat

dalam Lampiran Bab IV, Bagian Pertama, angka 3 huruf a,b,c, yang

menyatakan bahwa mekanisme jual beli tanah harus dilakukan dengan

prosedur Pembuatan dan Penandatanganan Risalah Lelang atau Akta Jual

Beli oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah atau Pembuatan dan

Penandatanganan Akta Pelepasan Hak Atas Tanah kepada Negara dalam

bentuk Akta Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah, yang tentunya diiukti

oleh permohonan hak atas tanah oleh pihak yang membeli; Kedua,

pemindahtanganan barang bergerak dan barang tetap termasuk dalam bentuk

Penyertaan Modal Pemerintah kepada BUMN/D hanya akan berakhir

dengan penetapan Peraturan Pemerintah dan Penandatanganan Berita Acara

Serah Terima Barang.

Dianutnya Asas Penyerahan Nyata (Feitelijke Levering) dalam

pemindahtanganan tanah kepunyaan instansi pemerintah yang berasal dari

Grondkaart di lingkungan Stasiun Kereta Api menimbulkan dampak

terhadap proses pemisahan kekayaan yaitu tanah dari instansi Pemerintah cq.

Kementerian Perhubungan kepada PT KAI sebagai bagian dari obyek

penyertaan modal. Dengan hanya ada penyerahan nyata (Feitelijke Levering)

dan tidak diikuti dengan Penyerahan Yuridis atau Juridische Levering,

pemisahan kekayaan berupa tanah harus dinilai tidak pernah terjadi karena

meskipun secara fisik tanah tersebut sudah berada dalam penguasaan PT

KAI namun secara yuridis kepemilikan hak atas tanah tidak pernah

berpindah kepada PT KAI. Dengan penguasaan secara fisik, PT KAI sudah

menganggap dirinya sebagai pemilik atau pemegang hak atas tanah tersebut,

namun sebaliknya karena secara yuridis hak kepemilikan belum berpindah

maka wajar Pemerintah cq. Kementerian Perhubungan masih menempatkan

dirinya sebagai pemegang hak atas tanah tersebut. Dengan kata lain, subyek

yang berhak atas tanah yang digunakan untuk kegiatan perkeretaapian masih

tetap berada di tangan Pemerintah.

2. Kajian Dari Aspek Macam Hak Atas Tanahnya

Di samping aspek Subyek yang Berhak dari status kepemilikan, ada aspek lain

yaitu macam hak atas tanah sebagaimana tertuang dalam dokumen Grondkaart atau

17 Lihat Keputusan Menteri Keuangan No.470/ KMK.01/1994 tentang Tata Cara Penghapusan

dan Pemanfaatan Barang Milik/Kekayaan Negara, PP No.6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang

Milik Negara dan Daerah, Peraturan Menteri Keuangan No.96/PMK.06/2007 tentang Tata Cara

Pelaksanaan Penggunaan, Pemanfaatan, Penghapusan, dan Pemindahtanganan Barang Millik Negara,

PP No.27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara dan Daerah, dan Peraturan Menteri

Keuangan No.111/PMK.06/2016 tentang Tata Cara Pemindahtanganan Barang Milik Negara.

Page 11: STATUS KEPEMILIKAN DAN PEMANFAATAN TANAH …

The Ownership Status, Sulistiowati, Nurhasan Ismail, Taufiq El Rahman 1017

surat ukur. Penelusuran macam hak atas tanah dalam dokumen Grondkaart

mempunyai peranan penting untuk menentukan macam hak atas tanah yang tepat pada

saat sekarang dari tanah-tanah yang dikuasai dan digunakan oleh PT KAI sebagai

bagian dari penyertaan modal Pemerintah kepada PT KAI. Jika ditelusuri secara

historis berdasarkan data normatif (data yang terdapat dalam peraturan perundang-

undangan), maka ada beberapa periode, yaitu :

a. Periode Sebelum Tahun 1953 (PP No.8 Tahun 1953)

Pada Periode ini, tanah-tanah yang digunakan oleh Staats Spoorwegen yang

disingkat SS sebagai tempat penyelenggaraan kegiatan pelayanan atau usaha

angkutan perkeretaapian berstatus sebagai ”Tanah in Beheer” yaitu bagian dari

tanah Hak Milik (Domein) Negara yang diserahkan ”dalam penguasaan SS

sebagai salah satu Unit Kerja Pemerintah Hindia Belanda. Tujuannya adalah

untuk digunakan langsung bagi kegiatan yang dilaksanakan oleh SS bagi

penyelenggaraan angkutan perkeretaapian. Artinya, SS harus menggunakan tanah

yang diserahkan ”dalam penguasaannya” hanya untuk mendukung

penyelenggaraan kegiatan angkutan perkeretaapian.

”Tanah in Beheer” atau Tanah Dalam Penguasaan SS tersebut diberikan

berdasarkan Staatsblad (S) 1911 No.110 tentang Penguasaan Benda Tidak

Bergerak, Gedung-Gedung, dan Lain-Lain Bangunan Milik Negara, yang sudah

diubah beberapa dan perubahan terakhir dengan S 1940 No.430.18 Staatsblad ini

menjadi dasar bagi penyerahan tanah Hak Milik (Domein) Negara sebagai salah

bentuk Benda Tidak Bergerak kepada berbagai Departemen dan Jawatan termasuk

SS sebagai unit kerja Pemerintah Hindia Belanda. Tanah yang diserahkan ”Dalam

Penguasaan (in Beheer)” unit kerja tersebut dituangkan dalam peta yang berisi

letak lokasi tanah, luas dan batas tanah yang dikenal dengan sebutan Grondkaart

atau dalam istilah sekarang sebagai surat ukur. Hal ini berbeda dengan dokumen

Meetbrief yang berfungsi sebagai surat ukur bagi tanah yang diberikan dengan hak

atas tanah tertentu yaitu Hak Eigendom, Hak Erfpacht, dan Hak Opstal kepada

warga perseorangan atau badan hukum berdasarkan ketentuan peraturan

perundang-undangan Pemerintah Hindia Belanda.

Tanah-tanah yang berada Dalam Penguasaan (in Beheer) SS di sekitar

Jakarta-Depok-Bogor pada mulanya tidak seluruhnya berasal dari tanah yang

sudah berstatus Hak Milik (Domein) Negara, namun sebagian dibeli dari

perusahaan kereta api yang dipunyai Swasta yaitu NV Nederlands Indische

Spoorweg Maatschappij yang disingkat NIS. 19 Perusahaan NIS ini sudah

membangun transportasi kereta api Jakarta – Bogor pada 1870 berdasarkan

S.1870 No.4. Tanah yang digunakan oleh NIS untuk penyelenggaraan transportasi

kereta api di Jakarta – Bogor berstatus Hak Opstal yang diberikan oleh

Pemerintah Hindia Belanda di atas Tanah Hak Milik (Domein) Negara dengan

jangka waktu tertentu.20 Ketika perusahaan kereta api kepunyaan NIS dibeli oleh

18 Urip Santoso, 2012, Eksistensi Hak Pengelolaan Dalam Hukum Tanah Nasional, dalam Jurnal

Mimbar Hukum, volume 24 Nomor 2, Juni 2012 halaman 278; Lihat juga, Arie Soekanti Hutagalung,

tanpa tahun, Hak Pengelolaan, makalah; Lihat juga Surat Kepala Badan Pertanahan Nasional kepada

Menteri Keuangan No.500-1255, tanggal 4 Mei 1992 tentang Petunjuk Pelaksanaan Tata Cara

Pengurusan Hak dan Penyelesaian Sertipikat Tanah yang Dikuasai Instansi Pemerintah. 19 ………., 2000, Tanah Kereta Api : Suatu Tinjauan Historis, Hukum Agraria/Pertanahan, dan

Hukum Perbendaharaan Negara, hal. 2 20 Djoko Marihandono, dkk, 2018, Nalika Tanah Jawa Sinabukan Ril Konsesi NV NISM Di Jawa

Tengah, 1863 – 1958, Penerbit Aset Non Railway – Direktorat Aset Tanah dan Bangunan – PT Kereta

Api Indonesia (Persero), Bandung, hal. 54-57 dan 78-82

Page 12: STATUS KEPEMILIKAN DAN PEMANFAATAN TANAH …

1018 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020

SS pada tahun 1913 berdasarkan S.1913 No.469, semua tanah yang semula

berstatus Hak Opstal berubah kembali menjadi bagian dari Tanah Hak Milik

(Domein) Negara. Tanah dan semua infrastruktur penyelenggaraan kegiatan

pelayanan/usaha yang berasal dari NIS diserahkan Dalam Penguasaan (in Beheer)

SS.

Penggunaan istilah ”in Beheer (Dalam Penguasaan)” terhadap tanah yang

diserahkan kepada SS dan bukan hak atas tanah sebagaimana Hak Opstal yang

diberikan kepada perusahaan kereta api kepunyaan swasta seperti NIS didasarkan

pada pertimbangan, yaitu : Pertama, SS itu berkedudukan sebagai perusahaan

negara yang sama kedudukannya dengan unit kerja Pemerintah Hindia Belanda

yaitu Departemen atau Jawatan. Dengan kedudukan yang demikian, SS tidak

ditempatkan sebagai badan hukum yang berdiri sendiri sepertihalnya perusahaan

swasta. Konsekuensinya, SS dinilai tidak mempunyai kekayaan tersendiri namun

kekayaannya termasuk tanah merupakan bagian dari kekayaan Negara

(Pemerintah) Hindia Belanda; Kedua, tanah yang diserahkan Dalam Penguasaan

SS masih tetap berstatus sebagai Tanah Hak Milik (Domein) Negara.

Sebagaimana ditentukan dalam Agrariche Wet (S.1870 No.55) dan Agrarisch

Besluit (S.1870 No.118) bahwa semua tanah yang tidak dapat dibuktikan sebagai

Hak Eigendom (termasuk Hak Eigendom Agraris) perseorangan atau badan

hukum dinyatakan sebagai Hak Milik (Domein) Negara. Dengan kedudukan

sebagai Hak Milik (Domein) Negara, tanah yang diserahkan kepada Departemen

atau Jawatan termasuk SS sebagai unit kerja Pemerintah Hindia Belanda tidak

mungkin diberi status hak atas tanah seperti Hak Eigendom atau Hak Opstal atau

Hak Erfpacht namun hanya digunakan istilah in Beheer (Dalam Penguasaan).

Artinya, dengan istilah in Beheer, SS hanya menguasai tanah secara fisik untuk

digunakan sebagai tempat lokasi penyelenggaraan kegiatan pelayanan/usaha

perkeretaapian.

Dengan demikian, Tanah in Beheer atau Tanah Dalam Penguasaan tidak

berstatus sebagai hak atas tanah seperti Hak Eigendom, Hak Erfpacht, dan Hak

Opstal karena hak atas tanahnya masih berstatus sebagai Hak Milik (Domein)

Negara dan penyerahan Tanah Dalam Penguasaan lebih bersifat fisik untuk

digunakan sesuai dengan tujuan penyerahan dan peruntukannya. Penggunaan

tanah sesuai dengan tujuan penyerahan dan peruntukannya merupakan kewajiban

dari Departemen atau Jawatan sebagai unit kerja Pemerintah Hindia Belanda,

meskipun kewajiban tersebut tidak ditentukan secara tegas dalam S.1911

No.110.21 Adanya kewajiban tersebut bersumber dari Nilai Budaya Kedisiplinan

dan Asas Kepatuhan/Ketaatan pada Hukum yang telah tertanam pada para

Pegawai dan Pejabat di Pemerintahan Hindia Belanda bahwa setiap ada

pemberian tugas tertentu pasti dilaksanakan dengan penuh kedisiplinan dan

kepatuhan terhadap nilai budaya dan asas hukum yang berlaku.

SS sebagai unit kerja yang diberi tugas untuk menyelenggarakan

pelayanan/kegiatan usaha bidang transportasi kereta api telah menjalankan

tugasnya dengan penuh kedisiplinan dan kepatuhan. SS telah melaksanakan

penggunaan tanah yang diserahkan Dalam Penguasaannya dengan kedisiplinan

dan kepatuhan. Setiap bagian tanah yang berada Dalam Penguasaannya telah

digunakan secara intensif untuk melaksanakan dan mengembangkan kegiatan

pelayanan/usaha transportasi kereta api. SS tidak menelantarkan tanah yang

21 Lihat Penjelasan Umum PP No.8 Tahun 1953 angka 3, alinea terakhir

Page 13: STATUS KEPEMILIKAN DAN PEMANFAATAN TANAH …

The Ownership Status, Sulistiowati, Nurhasan Ismail, Taufiq El Rahman 1019

berada Dalam Penguasaannya karena penelantaran tanah disadari sebagai bentuk

pelanggaran terhadap nilai kedisiplinan dan asas kepatuhan hukum yang berlaku.

Dengan menggunakan tanah sesuai dengan tujuan penyerahan dan peruntukannya,

SS telah ikut serta menjaga Tanah Hak Milik (Domein) Negara dilanggar atau

diduduki oleh pihak lain.22

Dalam perkembangannya pada periode Pemerintahan Pendudukan Jepang

telah terjadi ketidaktertiban penggunaan tanah dan pengadministrasiannya.

Ketidaktertiban dimaksud disebabkan oleh kebijakan yang memberi kebebasan

kepada setiap Departemen atau Jawatan untuk menggunakan tanah yang berstatus

Dalam Penguasaannya sesuai dengan kepentingan dan kehendak masing-masing

dengan mengabaikan peraturan perundang-undangan yang ada. Akibat

lanjutannya yaitu23 : (1) terdapat bagian tanah yang penggunaannya menyimpang

dari tujuan penyerahan dan peruntukannya; (2) terdapat bagian tanah yang

dipindahtangankan ke departemen atau jawatan yang lain tanpa terdapat

pengandiministrasian dan dokumen pemindahtanganan yang resmi; (3) ada

penelantaran bagian tanah atau dibiarkan tidak digunakan sehingga dimasuki atau

diduduki dan ditempati oleh pihak lain atau warga masyarakat yang membutuhkan

tanah. Konflik yang terjadi antara warga masyarakat yang menguasai dan

menggunakan tanah yang dikelola oleh PT KAI menunjukkan adanya

penelantaran ini.24

Intinya, pada Periode ini, tanah yang digunakan untuk penyelenggaraan

kegiatan pelayanan/usaha transportasi kereta api oleh SS sebagaimana yang

tertuang dalam Grondkaart berstatus sebagai Hak Milik (Domein) Negara. Jadi

subyek yang menjadi pemegang Hak Milik (Domein) adalah Negara yang dalam

pelaksanaannya dilakukan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Penyerahan tanah

Dalam Penguasaan (in Beheer) kepada SS lebih bersifat fisik dalam rangka

penugasan untuk digunakan sesuai tujuan penyerahan dan peruntukannya yaitu

penyelenggaraan transportasi dengan kereta api.

b. Periode 1953 – 1960

Antara tahun 1953 s/d tahun 1960 merupakan Periode untuk menata kembali

ketidakdisiplinan dan ketidakpatuhan pada peraturan perundang-undangan serta

ketidaktertiban administrasi dan pemanfaatan tanah yang diserahkan Dalam

Penguasaan departemen dan jawatan termasuk Djawatan Kereta Api Republik

Indonesia (DKARI) atau Djawatan Kereta Api (DKA) sebagai pelanjut dari SS.

Penataan kembali itu dilakukan dengan ditetapkan dan diberlakukan PP No.8

Tahun 1953 tentang Penguasaan Tanah-Tanah Negara, yang menurut Boedi

Harsono 25 dianggap masih berlaku dengan penyesuaian istilah dan pengertian

dalam PP tersebut karena masih didasarkan pada politik Domeinverklaring yang

diatur dalam Agrarische Wet dan Agrarisch Besluit.

Penataan kembali pemanfaatan tanah Dalam Penguasaan departemen dan

jawatan yang hendak dilakukan melalui PP No.8 Tahun 1953 masih didasarkan

22 Ibid 23 Ibid 24 HarianHaluan.com, 2018, DPD RI Desak Penuntasan Sengketa Lahan PT KAI, Kamis 18

Oktober; lihat juga Siti Nurjanah1, Bambang Wahyudi2, Purwanto3, 2019, Resolusi Konflik Lahan Pt

Kereta Api Indonesia (Persero) Dengan Warga Rw 12 Kelurahan Manggarai Jakarta Selatan Dalam

Perebutan Lahan Di Wilayah Daerah Operasi 1 Jakarta, Jurnal Damai dan Resolusi Konflik, Agustus

2019, Volume 5 Nomor 2 25 Boedi Harsono, 1983, Hukum Agraria Indonesia : Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum

Tanah, penerbit Djambatan, Jakarta, hal. 817

Page 14: STATUS KEPEMILIKAN DAN PEMANFAATAN TANAH …

1020 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020

pada prinsip yang sama, yaitu : Pertama, tanah yang sudah diserahkan Dalam

Penguasaan tetap berstatus sebagai Tanah Hak Milik (Domein) Negara

sebagaimana yang dianut dalam S. 1911 No.110 yaitu asas Domeinverklaring

yang diatur dalam Agrarische Wet dan Agrarisch Besluit; Kedua, tanah yang

digunakan untuk menyelenggarakan kepentingan dan tugas dari departemen dan

jawatan termasuk DKA sebagai unit kerja dari Pemerintah Pusat dan Pemerintah

Daerah masih berstatus sebagai Tanah Dalam Penguasaan (sebagai terjemahan

dari ”in Beheer”) yang hanya bersifat penguasaan fisik dalam rangka pelaksanaan

tugas. Dalam konteks tanah yang diserahkan untuk digunakan penyelenggaraan

pelayanan/usaha transportasi kereta api, tanah yang berada Dalam Penguasaan

diserahkan kepada Kementerian yang membawahi DKA yaitu Kementerian

Perhubungan, Tenaga dan Pekerjaan Umum. Artinya, tanah tersebut diserahkan

Dalam Penguasaan Kementerian Perhubungan, Tenaga dan Pekerjaan Umum dan

bukan DKA karena DKA berkedudukan sebagai unit kerja dalam lingkungan

Kementerian tersebut.

Upaya penataan melalui PP No. 8 Tahun 1953 dilaksanakan dalam ujud, yaitu:

Pertama, penegasan mengenai penguasaan atas Tanah Milik (Domein) Negara :

(1) tanah-tanah yang secara riil dikuasai dan digunakan untuk kepentingan

menjalankan tugas Kementerian, Jawatan, atau Pemerintah Daerah pada saat

berlakunya PP No.8 Tahun 1953 tetap berada Dalam Penguasaan Kementerian,

Jawatan, atau Pemerintah Daerah yang bersangkutan. Jika tanah untuk

penyelenggaraan kegiatan transportasi kereta api masih digunakan untuk

mendukung kegiatan transportasi dimaksud, maka tanah tersebut ditempatkan

sebagai Tanah Dalam Penguasaan Kementerian Perhubungan, Tenaga dan

Pekerjaan Umum yang membawahi DKA; (2) tanah-tanah yang secara riil tidak

dikuasai dan digunakan untuk kepentingan menjalankan tugas Kementerian,

Jawatan, atau Pemerintah Daerah tertentu ditempatkan Dalam Penguasaan

Menteri Dalam Negeri, yang mempunyai kewenangan untuk menyerahkan tanah-

tanah dimaksud Dalam Penguasaan Kementerian, Jawatan, atau Pemerintah

daerah yang membutuhkan;

Kedua, Pembebanan kewajiban kepada kementerian, jawatan, atau

pemerintah daerah yang diserahi Tanah Dalam Penguasaan termasuk DKA yang

berkedudukan sebagai unit kerja Kementerian Perhubungan, Tenaga dan

Pekerjaan Umum, yaitu: (1) penyerahan tanah itu wajib digunakan sebagai tempat

melaksanakan kepentingan atau tugas yang dibebankan kepada kementerian,

jawatan, atau pemerintah daerah yang bersangkutan; (2) luas tanah yang

diserahkan Dalam Penguasaan tidak melebihi keperluan untuk melaksanakan

kepentingan atau tugasnya; (3) kementerian, jawatan, atau pemerintah daerah

yang diserahi Tanah Dalam Pengawasan wajib memelihara dan mempergunakan

tanah sebagaimana mestinya atau dengan kata lain tidak menelantarkan tanah.

Ketiga, adanya kemungkinan tanah yang diserahkan Dalam Penguasaan di

samping wajib digunakan untuk melaksanakan kepentingan atau tugas yang

dibebankan, juga : (1) kementerian, jawatan, atau pemerintah daerah, sebagaimana

ketentuan Pasal 9 PP No.8 Tahun 1953 diberi kewenangan untuk memberi izin

memakai tanah kepada pihak lain selama kementerian, jawatan, atau pemerintah

daerah belum mempergunakannya bagi pelaksanaan kepentingan atau tugas.

Dalam konteks tanah yang dipergunakan untuk penyelenggaraan transportasi

kereta api, izin pemakaian oleh pihak lain harus diberikan oleh Kementerian

Perhubungan, Tenaga dan Pekerjaan Umum karena DKA merupakan unit kerja

Page 15: STATUS KEPEMILIKAN DAN PEMANFAATAN TANAH …

The Ownership Status, Sulistiowati, Nurhasan Ismail, Taufiq El Rahman 1021

dari Kementerian tersebut kecuali jika Menteri memberikan kuasa atau

mendelegasikan kewenangan tersebut kepada DKA; (2) khusus bagi pemerintah

daerah sebagaimana ketentuan Pasal 12 diberi kewenangan untuk memberikan

tanah Dalam Penguasaan kepada pihak lain dengan sesuatu hak atas tanah. Dalam

konteks ini dapat dimaknai bahwa pemerintah pusat melalui Menteri Dalam

Negeri (yang membawahi urusan pertanahan pada waktu itu) memberikan

delegasi kepada pemerintah daerah untuk memberikan tanah dengan sesuatu hak

atas tanah tertentu kepada warga masyarakat yang membutuhkan

c. Periode 1960 – seterusnya

Periode ini diawali dengan pemberlakuan UU No.5 Tahun 1960 tentang

Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria pada tanggal 24 September 1960.

Pemberlakuan UU No.5 Tahun 1960 yang dikenal dengan sebutan Undang-

Undang Pokok Agraria (UUPA) telah meniadakan keberadaan Hak Domein

(Milik) Negara yang menjadi dasar keberadaan Tanah Dalam Penguasaan

Kementerian, Jawatan, atau pemerintah daerah. UUPA telah mencabut berlakunya

Agrarische Wet dan Agrarisch Besluit yang menjadi dasar pembentukan Hak

Domein (Milik) Negara. UUPA sesuai dengan ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD

Negara RI 1945 tidak lagi menempatkan Negara sebagai pemegang Hak Domein

(Milik) Negara yang sejajar dengan warga negaranya yang juga dapat mempunyai

Hak Milik.

Negara sebagai organisasi kekuasaan dari rakyat yang terhimpun dalam

ikatan Bangsa Indonesia diberi kedudukan yang lebih tinggi yaitu sebagai

pemegang dan pelaksana Hak Menguasai Negara atas seluruh tanah dan bahkan

seluruh sumber daya agraria yang ada di wilayah Negara Kesatuan Republik

Indonesia. Dengan Hak Menguasai Negara ini, Negara mempunyai kewenangan

untuk mengatur, menyelenggarakan, dan menentukan peruntukan, penggunaan,

persediaan, dan pemeliharaan tanah serta macam-macam hak atas tanah dan

hubungan hukum yang berobyekkan tanah. Konsekuensi dari kedudukan Negara

sebagai pemegang dan pelaksana Hak Menguasai Negara adalah sebutan ”Tanah

Hak Milik (Domein) Negara” sebagaimana digunakan dalam Agrarisch Besluit

yang kemudian oleh PP No.8 Tahun 1953 diganti dengan sebutan ”Tanah yang

Dikuasai Penuh oleh Negara” dirubah menjadi ”Tanah Yang Dikuasai Langsung

oleh Negara” sebagai pasangan dari ”Tanah Yang Dikuasai Tidak Langsung oleh

Negara”.26 Tanah yang Dikuasai Langsung oleh Negara adalah tanah yang belum

dilekati hak atas tanah tertentu termasuk Hak Ulayat sehingga kewenangan

Negara untuk mengatur, menyelenggarakan, dan menentukan lebih bersifat penuh,

sedangkan Tanah yang Dikuasai Tidak Langsung oleh Negara adalah tanah yang

sudah dilekati hak atas tanah dan Hak Ulayat sehingga kewenangan Negara

dibatasi oleh kewenangan yang diberikan Negara kepada pemegang hak atas tanah

dan pemegang Hak Ulayat.

Hapusnya Hak Milik (Domein) Negara atas Tanah membawa dampak hukum

terhadap keberadaan Tanah Dalam Penguasaan Kementerian, Jawatan, atau

Pemerintah Daerah. Dampak yang dimaksud yaitu Tanah Dalam Penguasaan

tidak mempunyai dasar pijakan dan status hukumnya menjadi tidak jelas.

Ketidakjelasan status hukumnya tersebut disebabkan oleh : Pertama, Tanah

Dalam Penguasaan tidak berstatus sebagai hak atas tanah karena hanya menjadi

26 Lihat Pasal 28 ayat (2), Pasal 37 huruf a, Pasal 41 ayat (1), dan Pasal 43 ayat (1), serta

Penjelasan Umum angka (2) UU No.5 Tahun 1960

Page 16: STATUS KEPEMILIKAN DAN PEMANFAATAN TANAH …

1022 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020

bagian dari Tanah Hak Milik (Domein) Negara sedangkan Tanah Hak Milik

(Domein) Negara sudah dinyatakan hapus oleh UUPA karena bertentangan

dengan ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD Negara RI 1945; Kedua, UUPA sendiri

baik dalam Dasar-Dasar dan Ketentuan Pokoknya maupun dalam Ketentuan-

Ketentuan Konversinya tidak menyebut dan mengatur secara tegas Tanah Dalam

Penguasaan yang digunakan oleh kementerian, jawatan, atau pemerintah daerah

sebagaimana tanah-tanah yang berstatus Hak Eigendom, Hak Erfpacht, dan Hak

Opstal yang secara tegas (eksplisit) disebut dan diatur dalam Ketentuan-Ketentuan

Konversi.

Meskipun secara tegas/eksplisit UUPA tidak menyebut dan mengatur Tanah

Dalam Penguasaan, namun secara tersirat atau implisit UUPA memberi peluang

untuk diakuinya status Tanah Dalam Penguasaan tersebut. Ada 2 (dua) fakta

menjadi dasar pemberian peluang untuk diakui : Pertama, fakta normatif yaitu

Ketentuan Peralihan dalam UUPA khususnya Pasal 58 yang berbunyi : ”Selama

peraturan-peraturan pelaksanaan Undang-undang ini belum terbentuk, maka

peraturan-peraturan baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis mengenai bumi

dan air serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya dan hak-hak atas

tanah, yang ada pada mulai berlakunya Undang-undang ini, tetap berlaku

sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dari ketentuan-ketentuan dalam

Undang-undang ini serta diberi tafsiran yang sesuai dengan itu.”

Berdasarkan ketentuan Pasal 58 UUPA membuka bagi berlakunya semua

peraturan perundang-undangan yang tidak dicabut atau bertentangan dengan

UUPA dan harus disesuaikan dengan prinsip dalam UUPA. PP No.8 Tahun 1953

yang mengatur Tanah Dalam Penguasaan tetap berlaku. Jika PP No.8 Tahun

1953 diakui keberlakuannya, maka Tanah Dalam Penguasaan harus tetap dijaga

keberlangsungannya termasuk yang berada dalam penguasaan Kementerian

Perhubungan, Tenaga dan Pekerjaan Umum yang digunakan oleh unit kerjanya

yaitu Djawatan Kereta Api (DKA) yang pada tahun 1960 berubah menjadi

Perusahaan Negara (PN) Kereta Api untuk penyelenggaraan transportasi kereta

api;

Kedua, fakta empiris yaitu Tanah Dalam Penguasaan kementerian, jawatan,

atau pemerintah daerah baik sebagian maupun seluruhnya masih digunakan

sebagai tempat penyelenggaraan kepentingannya atau tugas yang dibebankan

kepada masing-masing kementerian, jawatan, atau pemerintah daerah. Tanah

Dalam Penguasaan Kementerian Perhubungan, Tenaga dan Pekerjaan Umum

(pada tahun 1963 berubah menjadi Departemen Perhubungan Darat, Pos,

Telekomunikasi, dan Pariwisata) secara faktual masih digunakan sebagai tempat

menyelenggarakan transportasi kereta api. Fakta empiris ini harus diakomodasi

agar mendapatkan kepastian hukum.

Ketidakjelasan/ketidakpastian mengenai status hukum Tanah Dalam

Penguasaan harus diakhiri. Upaya untuk mengakhiri ketidakpastian tersebut

dilakukan Pemerintah melalui Kementerian Agraria dengan menetapkan dan

memberlakukan Peraturan Menteri Agraria (PMA) No.9 Tahun 1965 tentang

Pelaksanaan Konversi Hak Penguasaan Atas Tanah Negara dan Ketentuan-

Ketentuan tentang Kebijaksanaan Selanjutnya. PMA ini memberikan penegasan

beberapa hal, yaitu :

1) Penegasan status Tanah Dalam Penguasaan berkedudukan sebagai hak atas

tanah. Penegasan sebagai hak atas tanah dituangkan dalam Bagian

Menimbang : ”bahwa untuk menyelenggarakan penertiban dalam rangka

Page 17: STATUS KEPEMILIKAN DAN PEMANFAATAN TANAH …

The Ownership Status, Sulistiowati, Nurhasan Ismail, Taufiq El Rahman 1023

melaksanakan konversi menurut ketentuan UUPA, maka perlu diberikan

penegasan mengenai status tanah-tanah Negara yang dikuasai dengan hak

penguasaan.” Penggunaan frase ”hak penguasaan” mempunyai fungsi yang

strategis karena menjadi langkah awal bagi Tanah Dalam Penguasaan

untuk dapat dikonversi menjadi salah satu hak atas tanah menurut ketentuan

UUPA. Tanpa berstatus sebagai ”hak atas tanah” tidak mungkin Tanah

Dalam Penguasaan dapat dikonversi menjadi salah satu hak atas tanah.

Perlu dipahami bahwa S. 1911 No.110 menggunakan frase ”in Beheer”

dan PP No.8 Tahun 1953 menggunakan frase ”Penguasaan Tanah Negara.”

Hal tersebut mengindikasikan baik S.1911 No.110 maupun PP No.8 Tahun

1953 tidak bermaksud untuk memberikan status hak atas tanah terhadap

tanah yang diserahkan Dalam Penguasaan tersebut karena tanah-tanah

tersebut menjadi bagian dari Hak Domein (Milik) Negara. Oleh karenanya,

penggunaan frase ”Hak Penguasaan” dalam PMA No.9 Tahun 1965

mempunyai fungsi ”perantara” untuk dapat dilakukan konversi Tanah

Dalam Penguasaan menjadi salah satu hak atas tanah menurut UUPA

2) Penegasan macam hak atas tanah yang dilekatkan pada tanah bekas hak

penguasaan setelah dilakukan konversi. PMA No.9 Tahun 1965

memberikan 2 (dua) pilihan, yaitu : Pertama, Hak Penguasaan dikonversi

menjadi Hak Pakai Selama Digunakan jika tanah tersebut hanya

dipergunakan untuk kepentingan atau melaksanakan tugas dari instansi itu

sendiri (Pasal 1 PMA No.9 Tahun 1965). Hak Pakai Selama Digunakan

mengacu pada ketentuan Pasal 41 ayat (2) huruf a UUPA yaitu hak atas

tanah yang tidak dibatasi dengan jangka waktu dan akan berlangsung selama

tanah dipergunakan untuk melaksanakan kepentingan atau tugas yang

dibebankan kepada instansi yang bersangkutan; Kedua, Hak Penguasaan

dikonversi menjadi Hak Pengelolaan jika tanahnya di samping sebagian

dipergunakan untuk melaksanakan kepentingan atau tugas instansi yang

bersangkutan juga sebagian lainnya diberikan kepada pihak ketiga dengan

hak atas tanah tertentu (Pasal 2 PMA No.9 Tahun 1965). Hak Pengelolaan

merupakan macam hak atas tanah yang diciptakan baru melalui PMA

tersebut dan penciptaan hak atas tanah baru memang dimungkinkan oleh

Pasal 16 ayat (1) huruf h UUPA melalui peraturan perundang-undangan.

Jika mencermati fakta empiris mengenai penggunaan tanah yang

diperuntukkan bagi penyelenggaraan transportasi kereta api, maka tanah

dimaksud yang tertuang dalam Grondkaart tampaknya hanya digunakan

untuk tempat mendukung penyelenggaraan angkutan atau transportasi kereta

api. Tidak ada dari bagian tanah dalam Grondkaart yang dirancang sejak

awal untuk diserahkan kepada pihak ketiga dengan hak atas tanah tertentu.

Atas dasar kenyataan tersebut, tanah yang tergambar dalam Grondkaart dan

diperuntukkan bagi penyelenggaraan angkutan kereta api tersebut hanya

dapat dikonversi menjadi Hak Pakai Selama Digunakan. Artinya, sejak

berlakunya PMA No.9 Tahun 1965 yaitu pada tanggal 6 Desember 1965,

tanah yang semula berstatus Dalam Penguasaan atau yang kemudian Hak

Penguasaan itu sudah berstatus sebagai Hak Pakai Selama Digunakan. Bagi

pemegang Hak Pakai Selama Digunakan wajib datang ke Kantor

Pendaftaran Tanah (sekarang Kantor Pertanahan) untuk mendaftarkan dan

Page 18: STATUS KEPEMILIKAN DAN PEMANFAATAN TANAH …

1024 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020

mendapatkan Sertipikat (Pasal 3 PMA No.9 Tahun 1965 jo. PMA No.1

Tahun 1966). Kewajiban untuk datang mendaftarkan tersebut tidak

ditentukan batas waktunya, sehingga sepenuhnya diserahkan pada kemauan

pemegang Hak Pakai Selama Digunakan.

3) Penegasan subyek yang dapat mempunyai Hak Pakai Selama Digunakan

dan Hak Pengelolaan yang berasal dari konversi Hak Penguasaan termasuk

yang tertuang dalam Grondkaart. Pada prinsipnya sesuai ketentuan Pasal 1

PMA No.9 Tahun 1965, subyek yang diberi hak atas tanah yang berasal dari

konversi tersebut adalah instansi-instansi pemerintah yaitu departemen-

departemen, direktorat-direktorat, dan daerah-daerah swatantra (pemerintah

daerah). Direktorat-direktorat yang disebutkan tersendiri dalam PMA No.9

Tahun 1965 sebenarnya sama kedudukannya dengan ”jawatan-jawatan”

yang disebutkan dalam PP No.8 Tahun 1953. Baik direktorat maupun

jawatan merupakan bagian dari organisasi departemen atau kementerian

dengan tugas khusus, diberi anggaran tersendiri namun tetap berinduk pada

anggaran departemen/kementerian, dan pimpinan direktorat/jawatan harus

mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugas dan keuangannya kepada

Menteri. Dengan disebutnya secara tersendiri, direktorat sebenarnya terbuka

untuk menjadi subyek tersendiri dari Hak Pakai Selama Digunakan atau

Hak Pengelolaan yang berasal dari konversi Hak Penguasaan karena

direktorat berstatus sebagai instansi pemerintah (Pasal 1 jo. Pasal 4 dan

Pasal 5 PMA No.9 Tahun 1965).

Penyelenggaraan angkutan kereta api, pada waktu berlakunya PMA

No.9 Tahun 1965 dilaksanakan oleh Perusahaan Negara Kereta Api (PNKA).

Kedudukan PNKA pada waktu itu, sesuai dengan PP No.22 Tahun 1963

adalah sebagai unit kerja dari Departemen Perhubungan Darat, Pos,

Telekomunikasi, dan Pariwisata. Struktur Departemen ini terdiri dari :

Menteri yang menjadi pimpinan di Departemen, Direktorat Jenderal yang

dipimpin oleh Direktur Jenderal, dan Direktorat yang dipimpin oleh

Direktur. Kedudukan PNKA sebagai unit kerja dari Departemen

Perhubungan Darat, Pos, Telekomunikasi, dan Pariwisata ditegaskan dalam

PP No.22 Tahun 1963, yaitu : Pertama, kegiatan PNKA dilaksanakan oleh

Direksi yang terdiri dari Direktur Jenderal sebagai pemimpin dan dibantu

oleh beberapa Direktur dan beberapa Direktur Muda; Kedua, Direktur

Jenderal sebagai pimpinan PNKA bertanggungjawab kepada Menteri

Perhubungan Darat, Pos, Telekomunikasi, dan Pariwisata serta Para

Direktur bertanggungjawab kepada Direktur Jenderal; Ketiga, Gaji dan

penghasilan lain dari anggota Direksi ditetapkan oleh Menteri berdasarkan

Anggaran yang sudah disetujui oleh Menteri; Keempat, Direktur Jenderal

mewakili PNKA didalam dan diluar pengadilan; Kelima, Direktur Jenderal

mengurus dan menguasai kekayaan PNKA.

Dengan kedudukan sebagai salah satu bagian dari struktur

Departemen Perhubungan Darat, Pos, Telekomunikasi, dan Pariwisata,

PNKA tidak mungkin menjadi subyek pemegang Hak Pakai Selama

Digunakan yang berasal dari Konversi Hak Penguasaan. Dengan kata lain,

subyek yang dapat menjadi pemegang Hak Pakai Selama Digunakan adalah

nama instansi pemerintah yaitu Departemen Perhubungan Darat, Pos,

Telekomunikasi, dan Pariwisata. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 jo. Pasal 4

Page 19: STATUS KEPEMILIKAN DAN PEMANFAATAN TANAH …

The Ownership Status, Sulistiowati, Nurhasan Ismail, Taufiq El Rahman 1025

dan Pasal 5 PMA No.9 Tahun 1965 bahwa Hak Pakai Selama Digunakan

yang berasal dari konversi Hak Penguasaan hanya dapat dipunyai oleh

subyek yang berstatus sebagai instansi pemerintah. Badan hukum yang

bukan instansi pemerintah tidak mungkin dapat menjadi subyek hak atas

tanah yang dimaksud.

Penegasan subyek yang dapat mempunyai hak atas tanah yang berasal

dari konversi Hak Penguasaan dan tertuang dalam Grondkaart seharusnya

menjadi titik awal bagi kebijakan selanjutnya berkenaan dengan subyek dan

macam hak atas tanah dimaksud. Artinya, kepastian hukum mengenai

subyek pemegang hak yaitu Departemen Perhubungan Darat, Pos,

Telekomunikasi, dan Pariwisata serta mengenai macam hak atas tanah yaitu

Hak Pakai Selama Digunakan yang telah ditetapkan berdasarkan PMA No.9

Tahun 1965 harus menjadi pijakan bagi kebijakan dan pelaksanaan terhadap

tanah-tanah yang termuat dalam Grondkaart untuk penyelenggaraan

angkutan atau transportasi kereta api.

Meskipun penetapan subyek pemegang hak dan macam hak atas tanah

yang berasal dari konversi Hak Penguasaan yang tertuang dalam

Grondkaart, namun dalam perkembangannya terdapat ketidakkonsistenan

kebijakan yang menyebabkan terjadinya ketidakpastian hukum lagi

mengenai status kepemilikan tanah dalam Grondkaart untuk

penyelenggaraan angkutan kereta api. Di antara kebijakan yang tidak

konsisten, di antaranya yaitu : Pertama, ada tanah-tanah dari Grondkaart

yang kemudian diterbitkan Sertipikat Hak Pakai (Selama Digunakan) Tahun

1987 dan Tahun 1998 atas nama Departemen Perhubungan yaitu di Stasiun

Pondok Cina dan Stasiun Depok (Baru) serta ada yang diterbitkan Sertipikat

Hak Pakai Tahun 1988 atas nama Perusahaan Jawatan Kereta Api yaitu di

Stasiun Tanjung Barat.27 Penerbitan Sertipikat Hak Pakai atas nama dua

subyek yang berada dalam hubungan struktural menyebabkan terjadinya

ketidakpastian hukum karena masing-masing berpandangan bahwa masing-

masing subyek menilai dirinya berhak menjadi pemegang hak atas tanah;

Kedua, penerbitan 3 (tiga) Sertipikat Hak Pakai Selama Digunakan

mencantumkan 2 (dua) subyek yaitu Departemen Perhubungan cq.

Perusahaan Jawatan Kereta Api. Pencantuman 2 (dua) subyek itu menambah

ketidakpastian hukum karena menimbulkan tafsir yang berbeda mengenai

subyek yang berstatus sebagai pemegang Hak Pakai Selama Digunakan.

Perbedaan tafsir itu yaitu kedua subyek itu memiliki Hak Pakai Selama

Digunakan secara bersama-sama atau pemegang haknya adalah Departemen

Perhubungan atau Perusahaan Jawatan Kereta Api;

Ketiga, ketidakpastian hukum tersebut diperkuat oleh Kebijakan

Penyertaan Tanah Sebagai Modal Pemerintah kepada Badan Usaha Milik

Negara (BUMN) yang tidak jelas. Letak ketidakjelasannya yaitu apakah

modal yang disertakan itu nilai ekonomi/nilai manfaat tanah yang disertai

dengan penyerahan tanah secara fisik untuk dikuasai dan dimanfaatkan oleh

BUMN tanpa disertai pemindahtanganan hak atas tanah atau disertai dengan

pemindahtanganan hak atas tanahnya kepada BUMN. Ketidakjelasan

27 Surat Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

No.1776/27.1/600/VI/2018 tertanggal 29 Juni 2018 tentang Permohonan Bantuan Penerbitan Hak

Pengelolaan atas nama PT Kereta Api Indonesia (Persero) di Area Stasiun Pondok Cina dan Tanjung

Barat

Page 20: STATUS KEPEMILIKAN DAN PEMANFAATAN TANAH …

1026 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020

kebijakan tersebut telah menimbulkan perbedaan tafsir mengenai status

kepemilikan tanah itu tetap berada di Departemen Perhubungan (Pemerintah)

atau sudah beralih kepada BUMN yang menerima penyertaan modal

pemerintah berupa tanah

3. Kajian Dari Aspek Penyertaan Modal Pemerintah Berupa Tanah kepada

BUMN

Ketidakjelasan status kepemilikan tanah yang tertuang dalam Grondkaart dan

dipergunakan untuk penyelenggaraan transportasi kereta api terutama di lokasi

penelitian di samping disebabkan oleh kurang dipahaminya secara utuh kedudukan

subyek yang berhak atas tanah dan macam hak atas tanah yang berasal dari konversi

Hak Penguasaan, juga disebabkan oleh kebijakan penyertaan modal pemerintah

khususnya berupa tanah kepada BUMN/D atau badan lain kepunyaan pemerintah yang

kurang jelas dan kurang tuntas. Ketidakjelasan dan ketidaktuntasan kebijakan

dimaksud menyebabkan terjadinya praktik penyertaan modal pemerintah berupa tanah

yang tidak sesuai dengan asas hukum pemindahtanganan tanah sebagai benda tidak

bergerak. Konsekuensi hukumnya, tanah yang dijadikan obyek penyertaan modal

pemerintah kepada BUMN/D belum berpindah kepemilikannya.

Modal BUMN sepertihalnya PT KAI berasal dari kekayaan negara yang

dipisahkan.28 Berdasarkan Pasal 2 ayat (2) PP 44/2005 jo. perubahannya dalam PP

72/2016 tentang Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada Badan Usaha

Milik Negara dan Perseroan Terbatas, dapat diketahui bahwa penyertaan modal negara

dalam BUMN yang berasal dari APBN dapat berupa: (a) dana segar; (b) barang milik

negara; (c) piutang negara pada BUMN atau Perseroan Terbatas; (d) saham milik

negara pada BUMN atau Perseroan Terbatas; dan/atau; (e) aset negara lainnya.

Kekayaan negara yang dipisahkan untuk dijadikan penyertaan modal negara

dalam BUMN hanya dapat dilakukan dengan cara penyertaan langsung negara ke

dalam modal BUMN, sehingga setiap penyertaan modal negara yang berasal dari

APBN harus ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.29 Dengan demikian, dapat

dipahami bahwa penyertaan modal negara yang bersumber dari APBN sebagaimana

diuraikan di atas berhasil terlaksana dengan penetapan melalui Peraturan Pemerintah

(PP). Sebagai akibat hukum dari penetapan PP, maka pertama, modal negara yang

disetor akan berubah status menjadi modal BUMN. Hal ini sesuai dengan definsi

penyertaan modal negara menurut PP 44/2005 jo. PP 72/2016 bahwasannya: 30

“Penyertaan Modal Negara adalah pemisahan kekayaan Negara dari Anggaran

Pendapatan dan Belanja Negara atau penetapan cadangan perusahaan atau sumber

lain untuk dijadikan sebagai modal BUMN dan/atau Perseroan Terbatas lainnya,

dan dikelola secara korporasi.”

Mengenai pemindahtangan barang milik negara (BMN) melalui penyertaan

modal diatur secara khusus dalam Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 2014 (PP

27/2014) jo. perubahannya dalam Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2020 (PP

28 Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara. 29 Pasal 4 ayat (4) jo. Penjelasannya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan

Usaha Milik Negara. Lihat pula Pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2005 tentang

Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas

dan Pasal 41 ayat (4) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. 30 Pasal 1 angka 7 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas

Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2005 tentang Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara

pada Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas.

Page 21: STATUS KEPEMILIKAN DAN PEMANFAATAN TANAH …

The Ownership Status, Sulistiowati, Nurhasan Ismail, Taufiq El Rahman 1027

28/2020) tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah dan Peraturan Menteri

Keuangan No. 111/PMK.06/2016 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pemindahtanganan

Barang Milik Negara (Permenkeu 111/2016). Berdasarkan kedua beleid tersebut, maka

dapat disimpulkan bahwa prosedur penyertaan modal BMN ke BUMN setidaknya

mencakupi studi analisis kelayakan, penilaian, persetujuan, penetapan PP, dan

terakhir dilanjutkan dengan serah terima BMN dan penandatangan Berita

Acara Serah Terima. Jika penyertaan BMN sudah dilakukan sesuai dengan ketentuan prosedur

menurut peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam kedua beleid

tersebut, maka sejatinya status BMN yang semula milik negara akan berubah status

menjadi aset milik BUMN. Hal ini sesuai dengan definisi yuridis “Pemindahtanganan”

dalam PP 27/2014 jo. PP 28/2020 bahwa:31 “Pemindahtanganan adalah pengalihan

kepemilikan Barang Milik Negara/Daerah.” Pemindahtanganan dilakukan dengan

cara penjualan, tukar-menukar, hibah, atau penyertaan modal Pemerintah

Pusat/Daerah. 32 Hal ini menunjukkan bahwa penyertaan modal BMN ke dalam

BUMN merupakan bentuk pengalihan kepemilikan BMN dari Pemerintah ke BUMN.

Oleh karena itu, jika penyertaan modal ini sudah dilakukan sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan, maka “kepemilikan” atas BMN yang disetor sebagai

modal sejatinya telah beralih ke BUMN sebagai pihak yang menerima penyertaan

modal. Dengan kata lain, peralihan kepemilikan BMN telah terjadi semenjak

ditetapkannya PP dan adanya serah terima BMN yang dituangkan dalam berita acara

serah terima.

Selain perubahan status kepemilikan modal/aset, penyertaan modal juga

menimbulkan akibat hukum kedua, yakni berubahnya status para pihak, in casu

negara dan BUMN. Hal ini tercerminkan dalam definisi yuridis penyertaan modal

dalam dalam PP 27/2014 jo. PP 28/2020 bahwa:33

“Penyertaan Modal Pemerintah Pusat/Daerah adalah pengalihan kepemilikan

Barang Milik Negara/Daerah yang semula merupakan kekayaan yang tidak

dipisahkan menjadi kekayaan yang dipisahkan untuk diperhitungkan sebagai

modal/saham/aset neto/kekayaan bersih milik negara atau daerah pada badan usaha

milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan hukum lainnya yang dimiliki

negara.”

Berdasarkan definisi tersebut, maka dapat diketahui bahwa BMN yang

diserahkan akan diperhitungkan sebagai saham milik negara dalam BUMN. Adapun

perhitungan saham yang diperoleh negara dalam hal ini didasarkan pada hasil

penilaian yang dilakukan oleh Penilai terhadap BMN yang menjadi obyek penyetoran

modal. Definisi tersebut menunjukkan pengalihan kepemilikan BMN selain mengubah

“status kepemilikan” aset dari yang semula milik negara menjadi milik BUMN, juga

mengubah “status negara” yang semula sebagai pemilik aset menjadi pemegang saham

dalam BUMN. Sementara itu, BUMN dalam hal ini akan berstatus sebagai pemilik

aset yang telah disetorkan negara, sehingga BUMN berwenang untuk mengelola dan

memanfaatkan aset tersebut.

31 Pasal 1 angka 17 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas

Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah. 32 Pasal 54 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang

Milik Negara/Daerah. Lihat pula Pasal 3 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 111/PMK.06/2016 Tahun

2016 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemindahtanganan Barang Milik Negara. 33 Pasal 1 angka 21 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas

Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah.

Page 22: STATUS KEPEMILIKAN DAN PEMANFAATAN TANAH …

1028 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020

Dengan adanya Penetapan Peraturan Pemerintah tentang Penyertaan Modal

Negara (Pemerintah) dan penandatanganan Berita Acara Serah Terima Barang, proses

Penyertaan Modal Negara (Pemerintah) kepada PT Kereta Api Indonesia sudah selesai

atau berakhir. Hal ini mengandung makna : (1) Pemerintah sudah berstatus sebagai

pemegang saham pada PT Kereta Api Indonesia yang besaran sahamnya sudah

ditentukan oleh Menteri Keuangan; (2) Pemerintah sudah mempunyai hak untuk

mendapatkan pembagian deviden dari keuntungan kegiatan usaha dari PT Kereta Api

Indonesia jika memang ada keuntungan yang diperoleh; (3) PT Kereta Api Indonesia

sudah mempunyai hak untuk menguasai secara fisik dan memanfaatkan barang baik

barang bergerak maupun barang tidak bergerak termasuk tanah untuk mendukung

pelaksanaan kegiatan usaha transportasi kereta api. Artinya, PT Kereta Api Indonesia

hanya mempunyai kewenangan untuk memanfaatkan tanah yang disertakan sebagai

modal atau inbreng sesuai dengan tujuan dilakukan penyertaan modal. Sebaliknya, PT

Kereta Api Indonesia belum mempunyai kewenangan sebagai pemegang pemegang

hak atas tanah seperti memperalihkan dan mengerjasamakan tanah dengan pihak

ketiga.

Dengan demikian, proses penyertaan modal pemerintah berupa tanah yang

berakhir dengan penetapan Peraturan Pemerintah dan penandatanganan Berita Acara

Serah Terima Barang berupa tanah belum berkaitan dengan status pemilikan barang

khususnya tanah. Sebagaimana telah diuraikan di atas yaitu :

1) tidak semua barang bergerak, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 ayat (2) PP

No.1998 jo. Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2) PP No.57 Tahun 1990, yang disetorkan

atau disertakan sebagai modal Pemerintah kepada PT Kereta Api Indonesia

dipisahkan atau dilepaskan pemilikannya dari kekayaan Negara, yaitu : Pertama,

Barang bergerak berupa sarana kereta api yaitu lokomotif dan rangkaian gerbong

serta barang lain yang bergerak di atas rel sudah dipisahkan atau dilepaskan

pemilikannya dari kekayaan Negara menjadi pemilikan PT Kereta Api Indonesia;

Kedua, barang bergerak berupa prasarana kereta api yaitu jalan kereta api atau

bangunan rel, bangunan perlintasan, bangunan jembatan, bangunan terowongan,

bangunan perangkat persinyalan dan telekomunikasi, bangunan instalasi sentral

listrik beserta aliran atas tidak dipisahkan atau dilepaskan pemilikannya dari

kekayaan Negara sehingga pemilikannya masih tetap berada pada Pemerintah dan

yang diserahkan kepada PT Kereta Api Indonesia hanyalah penguasaan secara

fisik barang bergerak tersebut.

Namun terhadap semua barang bergerak sebagaimana disebut diatas dapat

dianggap sudah dipisahkan atau dilepaskan pemilikannya dari Kekayaan Negara

dan berpindah pemilikannya kepada PT Kereta Api Indonesia dengan

mendasarkan pada 2 (dua) asas hukum, yaitu34 : (a) Asas pengalihan pemilikan

barang bergerak dilakukan dengan penyerahan secara nyata atau fisik. Artinya,

barang-barang bergerak tersebut di atas yang semula pemilikannya berada di

tangan Pemerintah sudah dialihkan kepada PT Kereta Api Indonesia dengan

ditandatanganinya Berita Acara Serah Terima Barang sebagai bukti adanya

penyerahan barang secara nyata atau fisik; (b) Asas subyek yang menguasai (bezit)

barang bergerak secara itikad baik, terus menerus tidak terputus, tidak terganggu

dan diketahui umum, dalam rentang waktu tertentu diakui sebagai pemilik barang

34 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, 1974, Hukum Benda, diterbitkan Seksi Hukum Perdata

Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hal. 76 dan 80

Page 23: STATUS KEPEMILIKAN DAN PEMANFAATAN TANAH …

The Ownership Status, Sulistiowati, Nurhasan Ismail, Taufiq El Rahman 1029

tersebut. Barang-barang bergerak yang disebut di atas sudah dikuasai dan

digunakan oleh perusahaan kereta api untuk kegiatan pengangkutan

2) Barang tidak bergerak yaitu tanah yang menjadi tempat berdirinya berbagai

bangunan prasarana kereta api memang sudah diserahkan penguasaannya secara

fisik kepada PT Kereta Api Indonesia, namun penyerahan penguasaan secara fisik

belum bermakna adanya pengalihan atau pemindahtanganan hak pemilikan atas

tanah karena pemindahtanganan pemilikan tanah harus dilakukan melalui

mekanisme yuridis sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

pertanahan.

Penetapan Peraturan Pemerintah dan Penandatanganan Berita Acara Serah

Terima Barang (Tanah) tidak berfungsi sebagai bukti adanya pengalihan atau

pemindahtanganan hak atas tanah karena Berita Acara tersebut hanya berfungsi

sebagai penyerahan penguasaan tanah secara fisik kepada PT Kereta Api Indonesia

untuk dipergunakan bagi penyelenggaraan transportasi kereta api. Pemindahtanganan

dan penyerahan hak pemilikan atas tanah harus dilakukan melalui mekanisme

yuridis.35 Dasar yang digunakan untuk dilakukan dengan mekanisme yuridis yaitu :

1) Asas hukum yang menyatakan bahwa pemindahtanganan tanah sebagai

barang tidak bergerak wajib dilakukan melalui mekanisme tertentu sesuai

dengan peraturan perundang-undangan pertanahan. Asas ini dianut oleh

Overschrijvingsordonnantie S. 1834 No.27 yang berlaku pada zaman

Hindia Belanda sampai lahirnya UUPA yang menentukan bahwa

pemindahtanganan dan penyerahan hak atas tanah harus dilakukan melalui

mekanisme balik nama di hadapan hakim Raad van Justitie dan tahun 1947

berdasarkan S.1947 No.53 diubah di hadapan Kepala Kantor Pendaftaran

Tanah. Pada saat dilakukan balik nama itulah menjadi saat berpindahnya

hak atas tanah dari pemilik yang lama kepada yang baru.

Asas ini kemudian dianut oleh Pasal 19 UUPA dan Pasal 37 dan Pasal

45 PP No.24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang menentukan

bahwa pemindahtanganan termasuk pemasukan hak atas tanah sebagai

modal dalam perusahaan dan penyerahan hak atas tanah harus dilakukan

dengan prosedur dan persyaratan yang sudah ditentukan. Prosedurnya dapat

dilakukan melalui pembuatan Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (Akta

PPAT) dan diikuti dengan Pendaftaran Peralihan/Pemindahtanganan Hak

atas Tanah atau melalui pelepasan hak atas tanah oleh pemegang hak semula

dan diikuti dengan permohonan hak atas tanah oleh calon pemilik baru

2) Asas hukum yang menyatakan bahwa penguasaan tanah secara fisik oleh

satu subyek belum tentu dapat menjadi alas hak atau dasar adanya hak

pemilikan atas tanah. artinya : Pertama, Penguasaan tanah secara fisik akan

menjadi alas hak adanya hak pemilikan atas tanah jika ada

hubungan/perbuatan hukum dengan mekanisme tertentu yang dimaksudkan

untuk terciptanya hak pemilikan atas tanah. Misalnya seseorang menguasai

tanah secara fisik melalui tata cara yang diatur dalam hukum adat maka

orang tersebut mempunyai alas hak untuk menjadi pemilik atas tanah atau

contoh lain : satu subyek menguasai tanah secara fisik yang didasarkan pada

35 Boedi Harsono, 1971, UNDANG-UNDANG POKOK AGRARIA : Sejarah Penyusunan, Isi,

dan Pelaksanaannya, penerbit Djambatan, Jakarta, hal. 49

Page 24: STATUS KEPEMILIKAN DAN PEMANFAATAN TANAH …

1030 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020

perjanjian pemindahtanganan (jual beli, tukar menukar, hibah, atau

penyertaan modal) dengan pemilik semula sesuai mekanisme yang

ditentukan; Kedua, sebaliknya penguasaan tanah secara fisik tidak dapat

menjadi alas hak bagi adanya hak pemilikan atas tanah jika tidak ada

hubungan/perbuatan hukum yang dimaksudkan untuk terciptanya hak

pemilikan atas tanah. Misalnya satu subyek menguasai tanah secara fisik

atas dasar hubungan hukum penyerahan pemanfaatan tanah atau perjanjian

kerja sama pemanfaatan tanah maka subyek tersebut hanya mempunyai

kewenangan memanfaatkan tanah untuk tujuan tertentu namun tidak

mungkin tercipta hak pemilikan atas tanah karena pemilikan tanah masih

tetap berada pada pemilik semula.

Penyertaan modal Pemerintah berupa tanah kepada PT Kereta Api Indonesia

terjadi pada tahun 1998 melalui PP No.19 Tahun 1998. Pada saat itu masih berlaku

Keputusan Menteri Keuangan (KMK) No.470/KMK.01/1994 sebagai pedoman yang

berlaku, yang membuka kemungkinan penyertaan modal pemerintah dalam bentuk

pengalihan/pemindahtanganan penguasaan atau pemilikan barang yang menjadi obyek

penyertaan modal terutama tanah. Sebab jika barang bergerak yang disetorkan atau

disertakan sebagai modal akan berlaku asas hukum bahwa dengan penyerahan secara

fisik barang bergerak tersebut harus dimaknai adanya pemindahtanganan penguasaan

dan sekaligus pemilikan barang.

Jika penyertaan modal pemerintah kepada PT Kereta Api Indonesia

dimaksudkan sebagai pemindahtanganan penguasaan barang tidak bergerak berupa

tanah, maka prosedur dan persyaratan penyertaan modalnya harus sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur penyertaan modal

pemerintah dan hanya akan berakhir dengan dilakukan penetapan Peraturan

Pemerintah dan penandatanganan Berita Acara Serah Terima Barang. Faktanya, tanah-

tanah yang berasal dan tercantum dalam Grondkaart di Stasiun lokasi penelitian

secara yuridis masih tercatat atas nama Pemerintah yaitu Kementerian/Departemen

Perhubungan. Sertipikat Hak Pakai Selama Digunakan masih mencantumkan

Kementerian/Departemen Perhubungan sebagai pemegang haknya dan belum

didaftarkan perubahan nama pemegangnya atas nama PT Kereta Api Indonesia.

Sebaliknya, jika penyertaan modal pemerintah kepada PT Kereta Api

Indonesia dimaksudkan sebagai pemindahtanganan pemilikan barang tidak bergerak

berupa tanah, sebagaimana diatur dalam KMK No.470/KMK.01/1994 maupun PMK

No.96/PMK.06/2007 dan PMK No.111/2016, maka seharusnya dilakukan prosedur

lanjutan yaitu pemindahtanganan hak pemilikan atas tanah sesuai dengan ketentuan

Pasal 19 UUPA jo. Pasal 37 dan Pasal 45 PP No.24 Tahun 1997. Ada 2 (dua) pilihan

cara dan prosedur yang dapat digunakan dengan memperhatikan faktor macam hak

atas tanah yang akan disetor atau disertakan sebagai modal dan kebolehan subyek

penerima penyertaan modal untuk mempunyai macam hak atas tanah yang dimaksud.

Kedua pilihan cara dan prosedur tersebut, yaitu :

1) Pemindahtanganan Langsung Hak Atas Tanah

Cara pemindahtanganan langsung hak atas tanah dari subyek yang

menyertakan tanah sebagai modal kepada subyek penerima penyertaan

modal digunakan jika macam hak atas tanah yang disertakan sebagai modal

dapat dipunyai oleh badan hukum penerima penyertaan modal. Jika merujuk

pada ketentuan Pasal 19 UUPA jo. Pasal 37 PP No.24 Tahun 1997 sebagai

pengganti PP No. 10 Tahun 1961, prosedur yang harus ditempuh agar

Page 25: STATUS KEPEMILIKAN DAN PEMANFAATAN TANAH …

The Ownership Status, Sulistiowati, Nurhasan Ismail, Taufiq El Rahman 1031

pemindahtanganan hak atas tanah melalui penyertaan modal terjadi, yaitu :

(a) Pembuatan Akta Penyertaan Modal di hadapan dan oleh Pejabat

Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang dalam hal ini dapat dilaksanakan oleh

Kepala Kantor Pertanahan sebagai PPAT Khusus sebagaimana dimaksud

dalam PP No.37 Tahun 1998 sebagaimana diubah dengan PP No.24 Tahun

2016; (b) Pendaftaran Penyertaan Modal itu di Kantor Pertanahan untuk

dilakukan perubahan nama pemegang hak atas tanahnya.

2) Pelepasan Hak Atas Tanah Kepada Negara

Cara ini digunakan jika macam hak atas tanah yang menjadi obyek

penyertaan modal tidak dapat dipunyai oleh badan hukum penerima

penyertaan modal. Dengan kata lain, badan hukum penerima penyertaan

modal tidak dapat menjadi subyek dari macam hak atas tanah yang menjadi

obyek dari penyertaan modal. Penggunaan cara ini didasarkan pada : (a)

Asas hukum yang tersurat dan tersirat dalam Pasal 26 ayat (2), Pasal 27

huruf a amhka 2, Pasal 30 ayat (2), Pasal 34 huruf c, Pasal 36 ayat (2), dan

Pasal 40 huruf c UUPA yang intinya menyatakan bahwa orang

(perseorangan atau badan hukum) yang tidak dapat menjadi subyek macam

hak atas tanah tertentu dilarang untuk memperoleh hak atas tanah tertentu

tersebut melalui jual beli, hibah, tukar-menukar, dan penyertaan modal.

Dalam kondisi demikian, peralihan hak atas tanahnya dapat dilakukan

dengan pelepasan secara suka rela oleh pemegang hak atas tanahnya kepada

negara; (b) ketentuan Pasal 13 dan Pasal 14 Keputusan Menteri Negara

Agraria No.21 Tahun 1994 tentang Tata Cara Perolehan Tanah Bagi

Perusahaan Dalam Rangka Penanaman Modal yang intinya bahwa dalam

hal hak atas tanah tidak dapat diperoleh peralihan hak atas tanah maka harus

dilakukan melalui penyerahan/pelepasan hak atas tanah kepada negara.

Dengan merujuk pada peraturan perundang-undangan tersebut di atas,

prosedur pelepasan hak atas tanah dalam rangka penyertaan modal sebagai

bentuk pemindahtanganan hak atas tanah harus dilakukan : (a) Pernyataan

pelepasan hak atas tanah yang menjadi obyek penyertaan modal oleh subyek

pemegang hak kepada Negara. Pernyataan pelepasan hak atas tanah tersebut

harus dituangkan dalam satu Akta di bawah tangan atau Akta Autentik yang

dibuat di hadapan Kepala Kantor Pertanahan atau Notaris. Akta tersebut

berisi, di samping pernyataan pelepasan hak atas tanah kepada Negara

sehingga menjadi tanah yang langsung dikuasai Negara, juga pernyataan

agar tanah tersebut nantinya diberikan kepada badan hukum penerima

penyertaan modal dengan hak atas tanah yang sesuai; (b) Pemberian hak

atas tanah yang sesuai berdasarkan permohonan yang diajukan oleh badan

hukum penerima penyertaan modal dan kemudian diikuti dengan

pendaftaran hak atas tanah di Kantor Pertanahan.

Dari 2 (dua) pilihan cara dan prosedur tersebut tampaknya pilihan

melalui pelepasan hak atas tanah oleh Pemerintah sebagai pihak yang

menyertakan modal yang diikuti dengan permohonan hak atas tanah oleh PT

Kereta Api Indonesia sebagai badan hukum penerima penyertaan modal.

Pertimbangan atas pilihan ini didasarkan pada : Pertama, tanah yang

terdapat di lokasi penelitian dan tertuang dalam Grondkaart serta dijadikan

obyek penyertaan modal pemerintah kepada PT Kereta Api Indonesia

berstatus Hak Pakai Selama Digunakan. Berdasarkan ketentuan Pasal 45

ayat (3) PP No.40 Tahun 1996, Hak Pakai Selama Digunakan ini hanya

Page 26: STATUS KEPEMILIKAN DAN PEMANFAATAN TANAH …

1032 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020

dapat punyai oleh instansi pemerintah, pemerintah daerah, perwakilan

negara asing dan organisasi internasional, badan keagamaan dan badan

sosial. Oleh karenanya, PT Kereta Api Indonesia sebagai BUMN tidak

mungkin dapat menjadi subyek dari Hak Pakai Selama Digunakan tersebut;

Kedua, konsekuensinya, pemindahtanganan hak pemilikan atas tanah

berupa Hak Pakai Selama Digunakan tersebut tidak dapat langsung

dilakukan dengan Akta Penyertaan Modal Pemerintah. Jika ditempuh

dengan cara dan prosedur ini akan berakibat Akta Penyertaan Modal

tersebut batal demi hukum karena PT Kereta Api Indonesia tidak dapat

menjadi subyek dari Hak Pakai Selama Digunakan; Ketiga, konsekuensi

lanjutannya, satu-satunya pilihan hanyalah harus dilakukan dengan cara dan

prosedur pelepasan Hak Pakai Selama Digunakan kepada Negara dan diikuti

dengan permohonan Hak yang sesuai oleh PT Kereta Api Indonesia. Untuk

menyederhanakan proses, pernyataan pelepasan Hak Pakai Selama

Digunakan itu langsung dicantumkan dalam Peraturan Pemerintah yang

menetapkan Penyertaan Modal Pemerintah kepada PT Kereta Api Indonesia

3.2. Status Hukum Perjanjian Pemanfaatan Tanah Grondkaart Di Stasiun

Depok Baru, Lenteng Agung, dan Tanjung Barat

Ada 2 (dua) istilah yang perlu diberi penjelasan yaitu istilah ”Status Hukum

Perjanjian” dan ”Pemanfaatan Tanah”. Istilah Status Hukum Perjanjian mengandung

makna kedudukan perjanjian pemanfaatan tanah Grondkaart dilihat dari terpenuhinya

syarat sahnya perjanjian, sedangkan istilah Pemanfaatan Tanah mengandung makna

upaya mendayagunakan tanah yang tidak digunakan untuk penyelenggaraan tugas dan

fungsi atau kegiatan usaha pemegang haknya dalam rangka optimalisasi nilai manfaat

tanah dengan tidak mengubah status kepemilikannya. Kedua istilah tersebut menunjuk

pada keabsahan perjanjian pendayagunaan tanah Grondkaart dalam rangka

optimalisasi nilai manfaat tanah, yang dilakukan antara PT Kereta Api Indonesia atau

Kementerian Perhubungan dengan pihak ketiga sebagai tempat kegiatan usaha

tertentu.

Peraturan perundang-undangan yang menjadi pedoman dalam pemanfaatan

tanah sebagai aset pemerintah dan BUMN mengalami perkembangan. Untuk

pemanfaatan tanah aset pemerintah sudah diatur dalam berbagai keputusan atau

peraturan Menteri Keuangan yaitu Keputusan Menteri Keuangan (KMK)

No.653/KMK.011/1986, KMK No.109/KMK.03/1988, KMK No.470/KMK.01/1994,

Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.96/PMK.06/2007, dan PMK

No.78/PMK.06/2014. Untuk pemanfaatan tanah aset BUMN sebelum tahun 2008

masih berpedoman pada keputusan Menteri Keuangan, dan setelah tahun 2008 mulai

diatur secara tegas oleh Menteri BUMN melalui Surat Edaran Menteri BUMN No.SE-

16/MBU/2008, Permen BUMN No.PER.06/MBU/2011, Permen BUMN No.PER-

13/MBU/09/2014, dan Permen BUMN No.PER-03/MBU/08/2017.

Kajian status hukum perjanjian pemanfaatan tanah Grondkaart dengan pihak

ketiga menjadi menarik karena ada 2 (dua) aspek yang masih disengketakan antara

Kementerian Perhubungan dengan PT Kereta Api Indonesia dan tampaknya belum

terselesaikan. Kedua aspek dimaksud berkaitan dengan syarat sahnya setiap perjanjian.

Kedua aspek yang sekaligus menjadi syarat sahnya perjanjian dimaksud, yaitu :

1. Subyek yang mempunyai kewenangan untuk bertindak sebagai pihak dalam

Perjanjian Pemanfaatan tanah Grondkaart yang dijadikan obyek penyertaan modal

pemerintah kepada PT Kereta Api Indonesia

Page 27: STATUS KEPEMILIKAN DAN PEMANFAATAN TANAH …

The Ownership Status, Sulistiowati, Nurhasan Ismail, Taufiq El Rahman 1033

Aspek ini berkaitan dengan syarat kedua dari sahnya perjanjian yaitu

kecakapan bertindak sebagai syarat subyektif di samping adanya kesepakatan

antara para pihak. Syarat kecakapan bertindak bermakna bahwa subyek yang

menjadi pihak dalam perjanjian harus mempunyai kewenangan untuk bertindak

terhadap tanah yang akan dijadikan obyek perjanjian pemanfaatan. Ada asas hukum

bahwa subyek yang dinilai mempunyai kewenangan untuk bertindak terhadap tanah

adalah pemegang hak atas tanah atau subyek yang mendapatkan kuasa atau

delegasi/mandat /atas perintah dari pemegang hak atas tanah.

Dalam konteks perjanjian pemanfaatan bagian tertentu dari tanah dalam

Grondkaart di Depok Baru, Lenteng Agung, dan Tanjung Barat, subyek yang

mempunyai kewenangan untuk menyerahkan pemanfaatan tanah kepada pihak

ketiga masih disengketakan antara Kementerian Perhubungan dengan PT Kereta

Api Indonesia. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut :

a. Persaingan Menempatkan Diri Sebagai Pihak Yang Berwenang

Persaingan antara Kementerian Perhubungan dengan PT Kereta Api untuk

menempatkan diri masing-masing sebagai pihak yang berwenang

menyerahkan pemanfaatan bagian tanah di 3 (tiga) Stasiun memang menarik

karena melibatkan 2 lembaga yang berkedudukan sebagai kepanjangan

Pemerintah. Seharusnya, antara sesama lembaga pemerintah harus saling

bersinerji untuk melaksanakan tugas yang dibebankan kepada masing-masing

agar tercapai tujuan yang dikehendaki. Namun demikian, semangat

liberalisme dan mendapatkan nilai manfaat ekonomis yang optimal bagi

dirinya telah mendominasi masing-masing lembaga.

Persaingan antara kedua lembaga pemerintah sebagai bagian dari alat

perlengkapan negara untuk menempatkan dirinya sebagai subyek yang

berwenang menyerahkan bagian tanah dalam Grondkaart kepada pihak ketiga

dapat dijelaskan sebagai berikut:

1) Tanah di Stasiun Depok Baru

Terkait dengan asal muasal dan status tanah di Stasiun Depok Baru,

ada 2 (dua) kelompok data, yaitu 36 : Pertama, berasal dari Tanah in

Beheer dan termuat dalam Grondkaart tanggal 26 September 1926 No.20.

Tanah ini sesuai dengan ketentuan Konversi Peraturan Menteri Agraria

No.9 Tahun 1965 telah dikonversi menjadi Hak Pakai Selama Digunakan.

Pendaftaran hak atas tanah sebagai proses mendapatkan Sertipikat baru

dilakukan pada tahun 1987 dan kemudian diterbitkan Sertipikat Hak Pakai

Selama Digunakan Nomor 2/1987 dengan luas 49.930 M2 sebagaimana

tertuang dalam Gambar Situasi Nomor 15652/1987 dan 15653/1987.

Sertipikat Hak Pakai Selama Digunakan tersebut diterbitkan atas nama

Kementerian Perhubungan Republik Indonesia c.q. Perusahaan Jawatan

Kereta Api; Kedua, berasal dari pembebasan tanah yang dilakukan oleh

Pemerintah pada tahun 1983 dengan menggunakan Anggaran Departemen

Perhubungan untuk pengembangan dan pembangunan Stasiun Depok Baru

yang diresmikan pada tahun 1988. Tanah tersebut kemudian pada tahun

1998 dimohonkan Hak Pakai (Selama Digunakan) dan diberikan

36 Surat Kementerian Agraria dan Tata Ruang kepada Direktur Utama PT Kereta Api Indonesia

No.1776/27.1/600 /VI/2018 tertanggal 29 Juni 2018 perihal Permohonan Bantuan Penerbitan Hak

Pengelolaan atas nama PT Kereta Api Indonesia di Area Stasiun Pondok Cina dan Tanjung Barat;

Kementerian Perhubungan, tanpa tahun, Latar Belakang Permasalahan Aset Direktorat Jenderal

Perkeretaapian kementerian Perhubungan

Page 28: STATUS KEPEMILIKAN DAN PEMANFAATAN TANAH …

1034 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020

berdasarkan Surat Keputusan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan

Provinsi Jawa Barat No.658/HP/KWBPN/1998 tertanggal 8 September

1998 kepada Departemen Perhubungan dan kemudian didaftarkan

sehingga terbit Sertipikat No.29/Depok dengan Surat Ukur

No.190/Depok/1998 yang luasnya 70.255 M2.

Kedua lembaga sama-sama menyatakan dirinya mempunyai kewenangan

untuk melakukan perjanjian pemanfaatan tanah tersebut dengan pihak

ketiga. 37 Kementerian Perhubungan menyatakan dirinya mempunyai

kewenangan berdasarkan Sertipikat No.29/1998 di atas dan penilaian

bahwa Pemerintah belum pernah memindahtangankan atau melepaskan

kepemilikan Hak Pakai Selama Digunakan kepada Perusahaan Jawatan

Kereta Api ataupun Perusahaan Umum Kereta Api atau PT Kereta Api

Indonesia. Begitu juga PT Kereta Api Indonesia menyatakan dirinya

mempunyai kewenangan berdasarkan Sertipikat No.2/1987 dan PP No.57

Tahun 1990 yang mengalihkan semua kekayaan Perusahaan Jawatan

Kereta Api kepada Perusahaan Umum Kereta Api dan berdasarkan PP

No.19 Tahun 1998 dialihkan lebih lanjut kepada PT Kereta Api Indonesia.

Berdasarkan penilaian bahwa dirinya mempunyai kewenangan, masing-

masing kemudian melakukan perjanjian pemanfaatan sebagian tanah

kepada pihak ketiga. Kementerian Perhubungan atas persetujuan Menteri

Keuangan berencana menyerahkan pemanfaatan tanah seluas 7.900 M2

kepada Pemerintah Kota Depok dengan Perjanjian Pinjam Pakai selama 2

tahun yang akan digunakan untuk Terminal Sementara selama

pembangunan Terminal Baru Depok berlangsung. PT Kereta Api

Indonesia berencana bekerja sama dengan PT Andyka Investa untuk

memanfaatkan tanah seluas 36.000 M2. Untuk mewujudkan pemanfaatan

tanah tersebut, keduanya sudah menandatangani 2 (dua) perjanjian,38 yaitu

: (1) Nota Kesepakahaman pada tanggal 30 Maret 2005 dengan pola Kerja

Sama Pemanfaatan Tanah untuk pembangunan Kawasan Komersial

Terpadu; (2) Perjanjian Sewa pada tanggal 12 Nopember 2012 untuk

pembangunan Park and Ride yaitu kegiatan perparkiran kendaraan di

tempat parkir dan kemudian melanjutkan perjalanan dengan menggunakan

mode angkutan lainnya.

Rencana masing-masing pihak kemudian tidak dapat dilaksanakan karena

masih adanya sengketa mengenai subyek yang mempunyai kewenangan

untuk melakukan perjanjian pemanfaatan tanah. Artinya, kepentingan

masing-masing pihak sebagai representasi dari kepentingan negara tidak

dapat diujudkan. Tanah tersebut kemudian dibiarkan tidak produktif

karena adanya sengketa

2) Tanah di Stasiun Lenteng Agung

37 Irsyan Hasyim dan Ariyani Yakti Widyastuti, 2017, Sengketa KAI-Kemenhub : BPN Ukur

Ulang Lahan Di Stasiun Depok Baru, dalam Tempo.Co, Jakarta, 19 Desember 2017 38 Dokumen Nota Kesepahaman (MoU) Antara PT Kereta Api Dengan PT Andyka Investa No :

23/HK/V3/III/2005 dan No 08/NK-KAI/04/2005 tertanggal 30 Maret 2005 tentang Kerja Sama

Pemanfaatan Aset Milik PT Kereta Api Di Stasiun Depok Baru Untuk Pengembangan Stasiun dan

Pembangunan Kawasan Pertokoan; Perjanjian Antara PT Kereta Api Indonesia Dengan PT Andyka

Investa No HK.221/XI/9/KA-2012 dan No 017/AI/DIR/XI/12 tentang Persewaan Lahan PT Kereta Api

Indonesia Di Stasiun Depok Baru Untuk Park and Ride

Page 29: STATUS KEPEMILIKAN DAN PEMANFAATAN TANAH …

The Ownership Status, Sulistiowati, Nurhasan Ismail, Taufiq El Rahman 1035

Terkait dengan asal muasal dan status tanah di Stasiun Lenteng

Agung, ada 2 (dua) kelompok data, yaitu39 : Pertama, berasal dari Tanah

in Beheer yang tercantum dalam Grondkaart tertanggal 12 Oktober 1932

Nomor 17. Tanah dimaksud secara administratif pendaftaran tanah

menjadi bagian dari tanah dari Stasiun Tanjung Barat yang tercantum

dalam Grondkaart dengan tanggal, bulan, dan tahun serta nomor

sebagaimana disebut di atas. Tanah in Beheer atau yang oleh PP No.8

Tahun 1953 disebut Tanah Dalam Penguasaan yang tertuang dalam

Grondkaart tertanggal 12 Oktober 1932 No.17 tersebut termasuk yang di

Lenteng Agung kemudian berdasarkan PMA No.9 Tahun 1965 dikonversi

menjadi Hak Pakai Selama Digunakan karena hanya dipergunakan untuk

kepentingan instansi pemerintah yaitu Departemen Darat, Pos,

Telekomunikasi dan Pariwisata yang membawahi langsung Direksi

Perusahaan Negara Kereta Api bagi penyelenggaraan transportasi kereta

api. Pada tahun 1988, Hak Pakai Selama Digunakan yang berasal dari

konversi tersebut baru didaftarkan dan telah diterbitkan Sertipikat Hak

Pakai (Selama Digunakan) No.50/Tanjung Barat atas nama Perusahaan

Jawatan Kereta Api dengan kedudukan sebagai bagian struktur

Departemen Perhubungan. Luas tanah Hak Pakai Selama Digunakan yaitu

63.265 M2 yang diuraikan dalam Gambar Situasi No.1280/Tanjung Barat/

1988; Kedua, berasal dari pembebasan tanah yang dilakukan oleh

Pemerintah pada tahun 1989/1990 dengan menggunakan Anggaran

Departemen Perhubungan untuk pengembangan dan pembangunan Stasiun

Lenteng Agung. Tanah tersebut kemudian pada tahun 1999 dimohonkan

Hak Pakai (Selama Digunakan) dan kemudian didaftarkan sehingga terbit

Sertipikat No.150/1999 tanggal 18 Oktober yang luasnya 5.868 M2 atas

nama Departemen Perhubungan.

Kementerian Perhubungan dan PT Kereta Api Indonesia saling

bersaing untuk berusaha meningkatkan atau merubah status Hak Pakai

Selama Digunakan. Pada tahun 2018-2019 kedua lembaga sama-sama

mengajukan permohonan Hak Pengelolaan sebagai perubahan Hak Pakai

Selama Digunakan seluas 15.710 M2 terutama yang ada di Stasiun

Lenteng Agung.40 Kementerian Perhubungan mengajukan perubahan Hak

Pakai Selama Digunakan menjadi Hak Pengelolaan tanah seluas tersebut

dengan alas hak yaitu : (1) Daftar Inventarisasi Aset berupa Kartu

39 Kementerian Agraria dan Tata Ruang, 2019, Berita Acara Kesimpulan Rapat Penyelesaian

Tanah yang Terletak di Kelurahan Lenteng Agung, Kecamatan Jagakarsa, Kota Administrasi Jakarta

Selatan Antara PT Kereta Api Indonesia Dengan Kementerian Perhubungan Republik Indonesia,

tertanggal 26 Pebruari 2019, halaman 5 yang dinyatakan bahwa tanah di Stasiun Lenteng Agung yang

diperebutkan antara Kementerian Perhubungan dengan PT Kereta Api Indonesia dahulu merupakan

bagian dari Kalurahan Tanjung Barat; Lihat juga Surat Kementerian Agraria dan Tata Ruang kepada

Direktur Utama PT Kereta Api Indonesia, nomor 1776/27.1/600/VI/2018 tertanggal 29 Juni 2018,

perihal Permohonan Bantuan Penerbitan Hak Pengelolaan atas nama PT Kereta Api Indonesia di Area

Stasiun Pondok Cina dan Tanjung Barat, halaman 2 dinyatakan adanya Sertipikat Hak Pakai Selama

Digunakan No.50/1988 di Tanjung Barat atas nama Perusahaan Jawatan Kereta Api; Lihat juga

Kementerian Perhubungan, tanpa tahun, Latar Belakang Permasalahan Aset Direktorat Jenderal

Perkeretaapian kementerian Perhubungan 40 Draf Surat Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional kepada

Menteri Keuangan Republik Indonesia, Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi

DKI Jakarta, dan Direktur Utama PT Kereta Api Indonesia, perihal Penyelesaian Tanah Antara PT

Kereta Api Indonesia Dengan Kementerian Perhubungan Republik Indonesia.

Page 30: STATUS KEPEMILIKAN DAN PEMANFAATAN TANAH …

1036 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020

Inventarisasi Barang (KIB) No.2.01.03.07.007.1138; (2) sejumlah Surat

Pelepasan Hak dari mereka yang menguasai tanah dengan memberikan

sejumlah uang penggantian dari dana APBN sekitar Oktober 1989.

Persaingan di antara kedua lembaga untuk menjadi subyek

memanfaatkan tanah di Stasiun Lenteng Agung sudah dilakukan mediasi

oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang pada tanggal 26 Pebruari 2019.

Kesepakatan dari mediasi tersebut, yaitu : (1) Kementerian Perhubungan

akan melepaskan kewenangannya mengajukan permohonan perubahan

Hak Pakai Selama Digunakan menjadi Hak Pengelolaan dan

menyerahkannya kepada PT Kereta Api Indonesia; (2) PT Kereta Api

Indonesia akan memberikan penggantian kepada Pemerintah melalui

Kementerian Perhubungan terhadap biaya yang telah digunakan untuk

membebaskan penguasaan atau kepemilikan tanah di lokasi Stasiun

Lenteng Agung; (3) proses pemberian Hak Pengelolaan kepada PT Kereta

Api tergantung pada pemenuhan kewajiban masing-masing pihak yang

sudah disepakati dan persyaratan yang diperlukan dalam pemberian Hak

Pengelolaan.

Kesepakatan dan pelaksanaannya mempunyai makna yang sangat

penting karena tanah yang terletak di Stasiun Lenteng Agung ini akan

digunakan sebagai lokasi pembangunan Program Satu Juta Rumah Susun

yang digagas oleh Presiden berdasarkan Perpres No.3 Tahun 2016. Namun

pelaksanaannya tetap tergantung pada kamauan dan itikad baik para pihak

untuk mematuhi kesepakatan

3) Tanah di Stasiun Tanjung Barat

Terkait dengan asal muasal dan status tanah di Stasiun Tanjung Barat, ada

2 (dua) kelompok data, yaitu41 : Pertama, tanah berasal dari Tanah in

Beheer yang tercantum dalam Grondkaart tertanggal 12 Oktober 1932

Nomor 17. Tanah in Beheer atau yang oleh PP No.8 Tahun 1953 disebut

Tanah Dalam Penguasaan yang tertuang dalam Grondkaart tertanggal 12

Oktober 1932 No.17 tersebut kemudian berdasarkan PMA No.9 Tahun

1965 dikonversi menjadi Hak Pakai Selama Digunakan karena hanya

dipergunakan untuk kepentingan instansi pemerintah yaitu Departemen

Darat, Pos, Telekomunikasi dan Pariwisata yang membawahi langsung

Direksi Perusahaan Negara Kereta Api bagi penyelenggaraan transportasi

kereta api. Pada tahun 1988, Hak Pakai Selama Digunakan yang berasal

dari konversi tersebut baru didaftarkan dan telah diterbitkan Sertipikat Hak

Pakai (Selama Digunakan) No.50/Tanjung Barat atas nama Perusahaan

Jawatan Kereta Api dengan kedudukan sebagai bagian struktur

Departemen Perhubungan; Kedua, berasal dari pembebasan hak

penguasaan atau pemilikan tanah dari warga masyarakat dengan bukti

berupa sejumlah Surat Pelepasan hak pada tahun 1988/1989 seluas 15.710

M2. Tanah dimaksud masih dalam proses permohonan hak atas tanah dan

persertipikatan.

41 Surat Kementerian Agraria dan Tata Ruang kepada Direktur Utama PT Kereta Api Indonesia

No.1776/27.1/600 /VI/2018 tertanggal 29 Juni 2018 perihal Permohonan Bantuan Penerbitan Hak

Pengelolaan atas nama PT Kereta Api Indonesia di Area Stasiun Pondok Cina dan Tanjung Barat;

Kementerian Perhubungan, tanpa tahun, Latar Belakang Permasalahan Aset Direktorat Jenderal

Perkeretaapian kementerian Perhubungan; Lihat juga Safyra Primadhyta, 2017, Perumnas-KAI

Groundbreaking Rusun Tanjung Barat Rp 750 Milyar, Berita CNN Indonesia, Selasa 15 Agustus

Page 31: STATUS KEPEMILIKAN DAN PEMANFAATAN TANAH …

The Ownership Status, Sulistiowati, Nurhasan Ismail, Taufiq El Rahman 1037

Antara Kementerian Perhubungan dengan PT Kereta Api Indonesia

bersaing untuk mendapatkan status dirinya sebagai subyek untuk dapat

memanfaatkan tanah melalui kerja sama dengan pihak ketiga. Kementerian

Perhubungan pernah mengajukan permohonan Hak Pengelolaan dengan

menggunakan alas hak berupa surat pelepasan hak dari warga masyarakat.

PT Kereta Api Indonesia dengan menggunakan alas hak berupa

Grondkaart melakukan pemanfaatan tanah untuk pelaksanaan program

satu juta Rusun. Ada upaya dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang

untuk menyelesaikan persaingan tersebut dengan mendorong agar

Kementerian Perhubungan melepaskan haknya dan menghapus tanah di

Stasiun Tanjung Barat dari Daftar Inventarisasi Barang.

Di tengah proses penyelesaian tersebut, PT Kereta Api Indonesia

sudah melakukan perjanjian pemanfaatan tanah di Stasiun Tanjung Barat

dengan Perusahaan Umum Pembangunan Rumah Nasional (Perum

Perumnas). Perjanjian pemanfaatan tanah dilakukan dengan pola

Perjanjian Bangun-Guna-Serah (Build, Operastion, and Transfer=BOT)

untuk pembangunan Rumah Susun bersubsidi dan non-subsidi dengan

komposisi Rumah Susun Non-Subsidi lebih besar prosesntasenya.

Meskipun pembangunan Rumah Susun tersebut baru akan selesai tahun

2021, namun proses penjualan sudah berlangsung dan kepada pembeli

akan diberikan Hak Milik atas Satuan Rumah Susun. Perjanjian Bangun-

Guna-Serah tersebut dinilai sebagai perbuatan melawan hukum oleh

Kementerian Perhubungan

b. Penilaian Subyek Yang Berwenang

Persaingan antara Kementerian Perhubungan dengan PT Kereta Api

Indonesia untuk menjadi subyek yang berwenang dalam perjanjian

pemanfaatan tanah di lokasi penelitian menunjukkan masih berlangsungnya

sengketa antara keduanya. Untuk mengkaji subyek yang mempunyai

kewenangan, penelitian ini harus bertitik-tolak pada analisis status

kepemilikan tanah yang sudah diuraikan pada Sub Bab terdahulu sebagai

jawaban atas permasalahan pertama.

Dari fakta normatif dan historis yang menjadi dasar analisis status

kepemilikan tanah menunjukkan bahwa hak kepemilikan atas tanah berupa

Hak Pakai Selama Digunakan masih berada pada instansi pemerintah yang

membawahi kegiatan transportasi kereta api yaitu Kementerian Perhubungan

sebagai kepanjangan tangan pemerintah pusat. Dengan kata lain, subyek yang

mempunyai kewenangan untuk melakukan perjanjian pemanfaatan tanah

adalah Kementerian Perhubungan atas persetujuan dari Pengelola Barang

Milik Negara yaitu Menteri Keuangan.

Adanya penyertaan modal pemerintah berupa tanah tersebut kepada PT

Kereta Api Indonesia yang dimaksudkan juga sebagai pemisahan atau

pengalihan kekayaan atau hak kepemilikan tanah dari pemerintah, hanya

menempatkan PT Kereta Api Indonesia sebagai subyek yang menguasai tanah

secara fisik dan memanfaatkan tanah bagi kegiatan yang dimaksud dalam

penyertaan modal. Kedudukan PT Kereta Api Indonesia yang demikian

disebabkan oleh ketentuan penyertaan modal pemerintah khususnya tanah

yang tidak komprehensif dan tidak memasukkan semua asas hukum dan

ketentuan hukum yang berkaitan dengan pengalihan hak atas tanah.

Page 32: STATUS KEPEMILIKAN DAN PEMANFAATAN TANAH …

1038 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020

Prosedur penyertaan modal pemerintah berdasarkan PP No.27 Tahun

2014 yang sudah diamandemen dengan PP No.28 Tahun 2020 dan Peraturan

Menteri Keuangan No.78/PMK.06/2014 sudah selesai dengan penetapan

Peraturan Pemerintah dan penandatanganan Berita Acara Serah Terima

Barang. Padahal penyertaan modal pemerintah berupa tanah kepada badan

usaha milik negara termasuk kepada PT Kereta Api Indonesia masih tunduk

pada ketentuan : Pertama, Pasal 37 dan Pasal 45 PP No.24 Tahun 1997

tentang Pendaftaran Tanah. Kedua Pasal tersebut secara tegas mewajibkan

setiap penyertaan modal oleh siapapun kepada satu perusahaan berbadan

hukum dibuat dengan Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah jika hak

kepemilikan atas tanah itu dikehendaki berpindahtangan kepada perusahaan

penerima penyertaan modal dan kemudian didaftarkan ke Kantor pertanahan

untuk dilakukan balik nama subyek pemegang hak atas tanah; atau Kedua,

Pasal-Pasal UUPA dan PP No.40 Tahun 1996 serta 13 dan Pasal 14

Keputusan Menteri Negara Agraria No.21 Tahun 1994 dilakukan dengan

pelepasan Hak Pakai Selama Digunakan kepada Negara oleh Pemerintah dan

diikuti dengan permohonan hak atas tanah yaitu Hak Pengelolaan atau Hak

Guna Bangunan oleh PT Kereta Api Indonesia.

Dengan hanya penetapan Peraturan Pemerintah dan penandatanganan

Berita Acara Serah Terima Barang namun tidak diikutinya prosedur wajib

dalam UUPA dan peraturan pelaksanaannya, penyertaan modal pemerintah

berupa tanah hanya menempatkan PT Kereta Api Indonesia sebagai subyek

yang menguasai tanah secara fisik dan memanfaatkannya untuk mendukung

kegiatan usaha angkutan kereta api, sedang subyek hak kepemilikan tanah

yaitu Hak Pakai Selama Digunakan masih tetap berada pada Pemerintah cq.

Kementerian Perhubungan.

Pertanyaannya, kewenangan apa sajakah yang dipunyai oleh Pemegang

Hak Atas Tanah yaitu Pemerintah dan kewenangan apa saja yang diserahkan

kepada PT Kereta Api Indonesia sebagai Penerima Penyertaan Modal

Pemerintah berupa tanah? Sumber untuk menjawab pertanyaan ini adalah

UUPA, PP No.40 Tahun 1996, dan PP No.24 Tahun 1997 terutama yang

berkaitan dengan kewenangan pemegang hak atas tanah. Di dalamnya

disebutkan dengan tegas sejumlah kewenangan yang diberikan kepada

Pemegang Hak Atas Tanah, yaitu untuk : (1) menguasai tanah secara fisik dan

memanfaatkan tanah secara intensif sesuai tujuan pemberiannya serta

menikmati hasil yang diperoleh dari penggunaan dan pemanfaatan tanahnya;

(2) memperalihkan atau memindahtangankan hak atas tanah seperti menjual,

menghibahkan, menukarkan, menyertakan tanah sebagai modal dalam

perusahaan, atau mewakafkan kecuali dilarang untuk diperalihkan; (3)

membebankan hak atas tanahnya jika berstatus Hak Milik atau Hak

Pengelolaan dengan hak atas tanah yang lain yaitu Hak Guna Bangunan atau

Hak Pakai Dengan Jangka Waktu; (4) menjadikan hak atas tanahnya sebagai

jaminan hutang dengan dibebani Hak Tanggungan; (5) mempertahankan hak

atas tanah jika diganggu oleh pihak lain; dan (6) menerima ganti kerugian jika

tanahnya diperlukan bagi pembangunan untuk Kepentingan Umum; (7)

menyerahkan pemanfaatan tanah kepada pihak lain dalam rentang waktu

tertentu.

Semua kewenangan yang melekat pada Pemegang Hak Atas Tanah

dapat beralih atau berpindahtangan kepada pihak lain jika semua prosedur

Page 33: STATUS KEPEMILIKAN DAN PEMANFAATAN TANAH …

The Ownership Status, Sulistiowati, Nurhasan Ismail, Taufiq El Rahman 1039

dan persyaratan yang diwajibkan dipenuhi. Dalam konteks penelitian ini,

semua kewenangan yang melekat pada Pemerintah sebagai Pemegang Hak

Atas Tanah dapat beralih kepada PT Kereta Api Indonesia, jika prosedur dan

persyaratan penyertaan modal Pemerintah berupa tanah sesuai dengan

ketentuan dalam PP No.27 Tahun 2014 yang sudah diamandemen dengan PP

No.28 Tahun 2020 serta UUPA dan PP No.24 Tahun 1997. Namun karena

penyertaan modal Pemerintah berupa tanah kepada PT Kereta Api Indonesia

hanya berhenti pada prosedur dan persyaratan yang ditentukan dalam PP

No.27 Tahun 2014 dan tidak ditindaklanjuti pada prosedur dan persyaratan

menurut UUPA dan PP No.24 Tahun 1997, maka penyertaan modal

Pemerintah berupa tanah tersebut hanya mengalihkan kewenangan yang

nomor (1) yaitu untuk menguasai tanah secara fisik dan memanfaatkan tanah

secara intensif sesuai tujuan pemberiannya serta menikmati hasil yang

diperoleh dari penggunaan dan pemanfaatan tanahnya. Dengan kata lain,

penyertaan modal dimaksud hanya menempatkan PT Kereta Api Indonesia

sebagai Subyek yang menguasai tanah secara fisik dan tidak mempunyai

kewenangan untuk melakukan perjanjian pemanfaatan tanah dengan pihak

ketiga.

Di samping dengan cara memenuhi prosedur dan persyaratan yang utuh

menurut PP No.27 Tahun 2014 dan PP No.24 Tahun 1997, PT Kereta Api

Indonesia dapat juga mempunyai kewenangan untuk melakukan perjanjian

pemanfaatan tanah dengan pihak ketiga dengan cara mendapatkan kuasa atau

persetujuan atau mandat atau perintah dari Pemerintah sebagai Pemegang

Hak Atas Tanah (Hak Pakai Selama Digunakan). Secara umum, cara ini

merujuk pada asas hukum yang terdapat dalam Pasal 1795 dan Pasal 1796

KUHPer yang menyatakan bahwa seseorang yang tidak berstatus sebagai

pemilik atau pemegang hak atas tanah dapat melaksanakan kewenangan

sebagai pemegang hak atas tanah berdasarkan kuasa yang diberikan oleh

pemegang hak atas tanah. Pemberian kuasa atau dalam istilah yang lebih

umum persetujuan dapat bersifat umum jika mencakup semua kewenangan

atau bersifat khusus jika hanya berkaitan dengan satu atau dua kewenangan

tertentu.

Jika merujuk pada ketentuan PP No. 27 Tahun 2014 yang diamandemen

dengan PP No.28 Tahun 2020 dan Peraturan Menteri Keuangan

No.78/PMK.06 /2014 serta Permen BUMN No.PER-03/MBU/08/2017 jo.

Permen BUMN No. PER-13/MBU/09/2014, maka PT Kereta Api Indonesia

hanya dapat melakukan perjanjian pemanfaatan tanah dengan pihak ketiga

setelah mendapatkan kuasa atau persetujuan dari Pemerintah yaitu Menteri

Keuangan yang ditunjuk sebagai Pengelola Barang Milik Negara atau Tanah

Kepunyaan Pemerintah Pusat. Jika menggunakan tafsir yang ekstensif

terhadap ketentuan adanya kewajiban persetujuan/kuasa Pemerintah, maka

persetujuan itu dapat diperoleh melalui persetujuan dari Menteri Keuangan

sebagai Pemegang Saham dalam Rapat Umum Pemegang Saham. Karena

setiap perjanjian yang dilakukan oleh PT Kereta Api Indonesia yang terkait

dengan pemanfaatan tanah selain yang disebutkan dalam Peraturan

Pemerintah tentang Penyertaan Modal pemerintah menuntut dipenuhinya

syarat kecakapan atau kewenangan bertindak, maka pemberian persetujuan

atau kuasa itu bersifat khusus.

Page 34: STATUS KEPEMILIKAN DAN PEMANFAATAN TANAH …

1040 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020

Dengan mendasarkan pada analisis subyek yang berwenang sebagai syarat

sahnya perjanjian, perjanjian-perjanjian pemanfaatan tanah dengan pihak ketiga

yang dilakukan oleh PT Kereta Api Indonesia dapat dinilai tidak memenuhi syarat

sahnya perjanjian subyektif yang kedua yaitu kecakapan atau kewenangan untuk

bertindak. Perjanjian-perjanjian yang dimaksud yaitu : (1) Nota Kesepakahaman

antara PT Kereta Api Indonesia dengan PT Andyka Investa pada tanggal 30 Maret

2005 tentang Kerja Sama Pemanfaatan Tanah untuk pembangunan Kawasan

Komersial Terpadu di Stasiun Depok Baru; (2) Perjanjian Sewa tanah di Stasiun

Depok Baru antara keduanya pada tanggal 12 Nopember 2012 untuk pembangunan

Park and Ride yaitu kegiatan perparkiran kendaraan di tempat parkir dan kemudian

melanjutkan perjalanan dengan menggunakan mode angkutan lainnya; (3).

Perjanjian pemanfaatan tanah di Stasiun Tanjung Barat antara PT Kereta Api

Indonesia dengan Perusahaan Umum Pembangunan Rumah Nasional (Perum

Perumnas) dengan pola Perjanjian Bangun-Guna-Serah (Build, Operastion, and

Transfer=BOT) untuk pembangunan Rumah Susun.

Penilaian tidak dipenuhinya syarat kecakapan bertindak tersebut

didasarkan pada fakta normatif, yaitu : Pertama, PT Kereta Api Indonesia hanya

berkedudukan sebagai Subyek Kepemilikan Nilai Ekonomis tanah yaitu menguasai

tanah secara fisik dan memanfaatkannya untuk mendukung kegiatan usaha

angkutan kereta api. Artinya, PT Kereta Api Indonesia hanya mempunyai

kewenangan terbatas yaitu memanfaatkan tanah untuk mendukung kegiatan

usahanya, yang diberikan berdasarkan Perjanjian Penyertaan Modal Pemerintah

berupa tanah yang hanya berakhir dengan Penetapan Peraturan Pemerintah dan

Penandatanganan Berita Acara Penyerahan Barang; Kedua, PT Kereta Api

Indonesia belum memperoleh kuasa atau persetujuan dari Pemerintah sebagai

Pemegang Hak Yuridis atau Hak Atas Tanah cq. Menteri Keuangan baik dalam

kedudukannya sebagai Pengelola Barang Milik Negara atau Tanah Kepunyaan

Pemerintah Pusat maupun sebagai Pemegang Saham di PT Kereta Api Indonesia;

Ketiga, penilaian tersebut didukung oleh pendapat Ahli yang menyatakan bahwa

PT Kereta Api Indonesia tidak mempunyai kewenangan untuk melakukan

perjanjian pemanfaatan tanah yang dikuasai dan dipakai untuk menjalankan

kegiatan usaha angkutan kereta api dengan pihak ketiga.42

2. Pembolehan Status Hak Atas Tanah Menjadi Obyek Perjanjian Sebagai Syarat

Kausa Yang Halal

Perjanjian yang berobyekkan hak atas tanah sebagai barang tidak bergerak

tidak sepenuhnya tunduk pada Asas Kebebasan Berkontrak sebagaimana perjanjian

yang berobyekkan barang bergerak.43 Dalam perjanjian yang berobyekkan hak atas

tanah di Indonesia terdapat pembatasan-pembatasan berdasarkan ketentuan UUPA

dan peraturan pelaksanaannya. Di antara pembatasan tersebut adalah berkaitan

42 RiauMandiri, 2018, PT KAI Tak Berwenang Lakukan Tindakan Hukum Atas Tanah Yang

Dipakai, Jakarta, Jumat, 16 Maret 2018 43 Dalam perjanjian yang berobyekkan barang bergerak seperti bangunan, kendaraan bermotor,

atau barang bergerak lainnya terdapat kebebasan bagi para pihak. Seseorang dapat menjual barang

apapun yang menjadi miliknya dan bebas menjual kepada siapapun yang memberi keuntungan, para

pihak dapat membuat kesepakatan apapun yang dikehendaki selama disepakati di antara mereka selama

tidak bertentangan dengan nilai sosial, asas hukum, dan norma hukum yang ada, serta hukum yang ada

tidak memberikan pembatasan terhadap kesepakatan para pihak sesuai dengan asas bahwa negara

menyerahkan hukum yang berlaku dalam hubungan keperdataan kepada kehendak dan kesepakatan para

pihak dan asas bahwa kesepakatan di antara para pihak berfungsi sebagai undang-undang bagi mereka.

Page 35: STATUS KEPEMILIKAN DAN PEMANFAATAN TANAH …

The Ownership Status, Sulistiowati, Nurhasan Ismail, Taufiq El Rahman 1041

dengan status hak atas tanah tertentu tidak boleh atau dilarang untuk dijadikan

obyek perjanjian tertentu. Larangan yang dimaksud, di antaranya yaitu : (a) Hak

Milik atas Tanah dilarang dijadikan obyek perjanjian peralihan hak atas tanah yang

dilakukan dengan Warga Negara Asing atau badan hukum; (b) Hak Pakai Selama

Digunakan dilarang dijadikan obyek perjanjian peralihan hak atas tanah kecuali

melalui Ruilslag atau tukar bangun dan bukan tukar-menukar, kecuali ditentukan

lain dalam peraturan perundang-undangan; (c) Hak Pakai Selama Digunakan dan

Hak Pengelolaan dilarang untuk dijadikan obyek perjanjian pemberian Hak

Tanggungan atau dengan kata lain dilarang untuk dijadikan jaminan hutang dengan

dibebani Hak tanggungan; (d) Hak Pakai Selama Digunakan sepertihalnya Hak

Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Dengan Jangka Waktu dilarang

dijadikan obyek perjanjian yang membebani hak atas tanah tersebut dengan hak

atas tanah lainnya. Hak atas tanah yang boleh dijadikan obyek perjanjian

pembebanan hak atas tanah lain adalah Hak Milik dan Hak Pengelolaan.

Larangan-larangan yang ditentukan dalam UUPA dan peraturan

pelaksanaannya tersebut merupakan bentuk campur tangan negara untuk membatasi

kebebasan kehendak dari warga negara termasuk para pihak dalam perjanjian.

Pertimbangan UUPA adalah : (a) semua warga negara membutuhkan tanah baik

untuk tempat tinggal maupun tempat kegiatan usaha dan kegiatan lain namun

ketersedian tanah relatif terbatas dibandingkan jumlah manusia yang

membutuhkan; (b) distribusi kepemilikan tanah tidak diserahkan kepada

mekanisme pasar melalui asas kebebasan berkontrak namun dilaksanakan melalui

pembatasan oleh negara untuk terujudnya pemerataan kepemilikan tanah.

Larangan-larangan tersebut harus ditempatkan sebagai bagian dari salah satu syarat

sahnya perjanjian yaitu Kuasa yang Halal. Jika larangan tersebut tidak dipenuhi

atau dilanggar, maka perjanjian yang dilakukan dinyatakan tidak memenuhi syarat

Kuasa yang Halal sebagai syarat obyektif dan berakibat batal demi hukum.

Tanah yang berada di areal Stasiun Depok Baru, Lenteng Agung, dan

Tanjung Barat dan menjadi obyek perebutan atau sengketa antara Kementerian

Perhubungan dengan PT Kereta Api Indonesia berstatus Hak Pakai Selama

Digunakan. Pelekatan status Hak Pakai Selama Digunakan didasarkan pada fakta

yuridis historis bahwa tanah tersebut berasal dari Tanah in Beheer yang dituangkan

dalam Grondkaart yang oleh Peraturan Menteri Agraria No. 9 Tahun 1965

dikonversi menjadi Hak Pakai Selama Digunakan baik kemudian sudah diterbitkan

Sertipikat maupun belum. Adanya tindakan pembebasan tanah yang dilakukan oleh

Departemen Perhubungan pada tahun 1988 – 1990 di Stasiun Lenteng Agung dan

Tanjung Barat dapat dimaknai 2 (dua) kemungkinan yaitu : Pertama, jika

pembebasan itu lebih ditujukan pada penguasaan tanah secara fisik oleh warga

masyarakat yang menduduki tanah pemerintah, maka status haknya tetap Hak Pakai

Selama Digunakan yang dipunyai Pemerintah cq. Departemen Perhubungan;

Kedua, jika pembebasan itu lebih ditujukan pada kepemilikan hak atas tanah yang

sudah dipunyai warga masyarakat, maka setelah dilepaskan haknya oleh warga

masyarakat tanah tersebut berstatus sebagai Tanah Yang Dikuasai Langsung

Negara sampai diajukan permohonan dan diberikan hak atas tanah yaitu Hak Pakai

Selama Digunakan atau Hak Pengelolaan oleh Departemen (Kementerian)

Perhubungan.

Dengan status tanah Hak Pakai Selama Digunakan yang berasal dari konversi

Hak Penguasaan baik sudah bersertipikat maupun belum, kehendak untuk

menempatkan tanah dimaksud sebagai obyek perjanjian pemanfaatan dengan pihak

Page 36: STATUS KEPEMILIKAN DAN PEMANFAATAN TANAH …

1042 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020

ketiga tergantung pada faktor kegiatan yang menjadi tujuan dari perjanjian

pemanfaatan tersebut. Penjelasan mengenai kegiatan yang menjadi tujuan ini akan

menjadi dasar analisis terhadap keabsahan Perjanjian Pemanfaatan Tanah yang

dilakukan dengan pihak ketiga baik oleh Kementerian Perhubungan maupun PT

Kereta Api Indonesia. Analisis ini dilakukan terlepas dari Perjanjian yang ada

sudah dilaksanakan atau belum.

Ada 2 (dua) rujukan yang menyediakan model perjanjian pemanfaatan hak

atas tanah, yaitu :

a. Perjanjian pemanfaatan tanah tanpa disertai dengan pemberian hak atas tanah

kepada pihak ketiga dan pihak lain yang menerima peralihan dari pihak

ketiga.

Model ini merujuk pada ketentuan PP No.27 Tahun 2014 yang

diamandemen dengan PP No. 28 Tahun 2020 beserta peraturan

pelaksanaannya baik dalam beberapa Peraturan Menteri Keuangan maupun

dalam Peraturan Menteri BUMN. Dalam model ini, semua hak atas tanah

termasuk Hak Pakai Selama Digunakan dapat dijadikan obyek perjanjian

pemanfaatan tanah dengan pihak ketiga. Bentuk perjanjian pemanfaatan tanah

berupa : perjanjian sewa tanah, perjanjian pinjam pakai tanah, perjanjian kerja

sama pemanfaatan tanah, dan perjanjian bangun-guna-serah atau bangun-

serah-guna.

Dalam perjanjian-perjanjian pemanfaatan tanah dalam bentuk yang

manapun yaitu perjanjian sewa tanah, perjanjian pinjam pakai tanah,

perjanjian kerja sama pemanfaatan tanah, dan perjanjian bangun-guna-serah

atau bangun-serah-guna, pihak ketiga hanya diberi kewenangan untuk

memanfaatkan tanah untuk kepentingan sesuai dengan isi perjanjiannya. Jika

perjanjian dengan pihak ketiga berupa : (1) Pinjam Pakai tanah, maka hanya

memberi kewenangan kepada pihak ketiga untuk memanfaatkan untuk

kegiatan yang sudah disepekati dalam waktu tertentu; (2) Bangun-Guna-

Serah atau Bangun-Serah-Guna, maka pihak ketiga hanya diberi kewenangan

untuk membangun bangunan tertentu seperti perkantoran atau komersiil

dan/atau Rumah Susun dan menyewakan bangunan kepada pihak lain. Pada

akhir perjanjian seluruh bangunan itu menjadi milik instansi pemerintah

termasuk pengelolaannya sepenuhnya berada di tangan instansi pemerintah

pemegang Hak Pakai Selama Digunakan dan hubungan hukum sewa dengan

pihak lain harus dilakukan dengan instansi pemerintah; (3) Kerja Sama

Pemanfaatan Tanah, pihak ketiga diberi kewenangan untuk kegiatan usaha

yang sudah disepakati termasuk membangun bangunan tertentu dan selama

perjanjian pihak ketiga hanya bisa mencari keuntungan dari pemanfaatan

tanah dan/atau bangunan atau menyewakan kepada pihak lain atau menjual

bangunan namun tidak boleh menjual tanahnya.

Dalam konteks ini, Perjanjian Pinjam Pakai tanah yang berstatus Hak

Pakai Selama Digunakan di Stasiun Depok Baru antara Kementerian

Perhubungan yang sudah disetujui oleh Menteri Keuangan dengan

Pemerintah Kota Depok dapat dilakukan dan mempunyai kekuatan mengikat

karena tidak melanggar Kausa yang Halal dan tidak diikuti dengan pemberian

hak atas tanah kepada Pihak Ketiga (Pemerintah Kota Depok). Sebaliknya,

Perjanjian Pinjam Pakai tanah yang berstatus Hak Pakai Selama Digunakan di

Stasiun Depok Baru antara PT Kereta Api Indonesia dengan PT Andyka

Investa tidak dapat dilakukan karena PT Kereta Api Indonesia sebagai

Page 37: STATUS KEPEMILIKAN DAN PEMANFAATAN TANAH …

The Ownership Status, Sulistiowati, Nurhasan Ismail, Taufiq El Rahman 1043

Perusahaan Berbadan Hukum tidak dapat menjadi Subyek Hak Pakai Selama

Digunakan sehingga Perjanjian tersebut bertentangan dengan syarat Kausa

yang Halal

b. Perjanjian Pemanfaatan Tanah yang disertai pemberian hak atas tanah

tertentu kepada Pihak Ketiga dan Pihak Lain yang menerima peralihan dari

Pihak Ketiga

Model Perjanjian Pemanfaatan Tanah yang ini merujuk pada ketentuan

UUPA, PP No. 40 Tahun 1996, PP No.24 Tahun 1997, dan Peraturan Kepala

Badan Pertanahan Nasional No.2 Tahun 2013 serta berpedoman sebagai

referensi pada ketentuan Permendagri No.1 Tahun 1977. Dengan merujuk

pada peraturan perundang-undangan tersebut, penggunaan model Perjanjian

ini hanya dimungkinkan jika tanah kepunyaan Instansi Pemerintah atau

Badan Usaha Milik Negara berstatus Hak Pengelolaan. Hanya Hak

Pengelolaan, di samping Hak Milik, yang dapat dibebani dengan hak atas

tanah lainnya yaitu Hak Guna Bangunan (HGB) dan Hak Pakai Dengan

Jangka Waktu (HPDW).

Dalam model ini, setiap Hak Pengelolaan yang dipunyai oleh Instansi

Pemerintah atau Badan Usaha Milik Negara dapat dijadikan obyek Perjanjian

Pemanfaatan Tanah yang disertai dengan pemberian HGB atau HPDW

kepada Pihak Ketiga. HGB atau HPDW dapat

diperalihkan/dipindahtangankan oleh Pihak Ketiga kepada Pihak Lain

termasuk bangunan atau Satuan Rumah Susun yang ada di atasnya. Namun

demikian, Perjanjian Pemanfaatan Tanah dan Pemberian HGB atau HPDW

kepada Pihak Ketiga hanya dapat dilakukan jika Hak Pengelolaan sudah

diberikan oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang dan sudah diterbitkan

Sertipikat HGB atau HPDW. Jika Hak Pengelolaan belum lahir, maka

Instansi Pemerintah atau Badan Usaha Milik Negara belum diperbolehkan

melakukan Perjanjian Pemanfaatan Tanah yang disertai pemberian hak atas

tanah karena belum ada kewenangan keperdataan terhadap tanah yang

menjadi obyek.

Dalam konteks ini, Perjanjian Pemanfaatan Tanah di Stasiun Lenteng

Agung dan Tanjung Barat yang disertai pemberian hak atas tanah antara PT

Kereta Api Indonesia dengan Perusahaan Pembangunan Perumahan Nasional

seharusnya belum boleh dilakukan. Hal ini disebabkan : (1) tanah yang

menjadi obyek Perjanjian Pemanfaatan Tanah yang dimiliki oleh Instansi

Pemerintah atau Badan Usaha Milik Negara belum berstatus Hak

Pengelolaan; (2) bentuk perjanjiannya berupa Bangun-Guna-Serah yang

menurut ketentuan PP No.27 Tahun 2014 tidak dapat disertai dengan

pemberian hak atas tanah kepada Pihak Ketiga. Dengan demikian Perjanjian

Pemanfaatan Tanah berupa Bangun-Guna-Serah tersebut tidak memenuhi

syarat Kausa yang Halal

3. Dampak Perjanjian Pemanfaatan Tanah Oleh PT Kereta Api Indonesia Terhadap

Konsumen Rumah Susun

Kajian mengenai dampak perjanjian pemanfaatan tanah oleh PT. Kereta Api

Indonesia terhadap konsumen rumah susun akan dilihat dari dari dua aspek.

Pertama, dari aspek pola kerjasama PT. Kereta Api Indonesia dengan pihak ketiga

dan kedua, aspek kewenangan bertindak mitra kerjasama PT. Kereta Api Indonesia

dengan konsumen rumah susun. Kedua aspek ini akan menentukan dampak bagi

Page 38: STATUS KEPEMILIKAN DAN PEMANFAATAN TANAH …

1044 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020

konsumen rumah susun, khususnya keabsahan perjanjian dan perlindungan hukum

bagi konsumen rumah susun.

a. Pola kerjasama PT. Kereta Api Indonesia dengan pihak ketiga.

Pola kerjasama perjanjian pemanfaatan tanah di Stasiun Lenteng Agung dan

Tanjung Barat antara PT. Kereta Api Indonesia dengan Perusahaan

Pembangunan Perumahan Nasional menggunakan pola Bangun-Guna-Serah

(Build, Operation and Transfer = BOT). Perjanjian kerjasama dengan pola

Bangun-Guna-Serah pada prinsipnya merupakan perjanjian dimana pihak

pemilik tanah mengijinkan tanah miliknya dibangun suatu bangunan

komersial oleh pihak investor, dan pihak investor berhak untuk

mengoperasionalkan bangunan komersial yang dibangunnya untuk jangka

waktu tertentu dengan memberikan feetertentu kepada pemilik tanah dan

setelah jangka waktu berakhir investor wajib mengembalikan tanah dan

menyerahkan bangunan komersial kepada pemilik tanah. Dalam

perkembangannya, muncul variant-variant baru pola Bangun-Guna-Serah,

salah satunya adalah Milik-Bangun-Guna-Serah (Own-Build-Operation and

Transfer = OBOT). Pola kerjasama ini hampir sama dengan pola Bangun-

Guna-Serah, yang membedakan adalah pihak investor diberikan hak atas

tanah di atas tanah milik pemilik tanah. Kedua pola kerjasama ini, baik BOT

maupun OBOT, pada fase akhir perjanjian harus mengembalikan tanah dan

menyerahkan bangunan komersial yang menjadi obyek perjanjian kepada

pemilik tanah.

Pola kerjasama yang dilakukan oleh PT. Kereta Api Indonesia dengan

Perusahaan Pembangunan Perumahan Nasional adalah pola Milik-Bangun-

Guna-Serah (OBOT) dengan bangunan komersial sebagai obyek adalah

rumah susun. Rumah susun sebagai obyek perjanjian akan dijual kepada

pihak lain (konsumen) dengan status Hak Milik. Mendasarkan pada prinsip

BOT maupun OBOT sebagaimana telah disebutkan di atas, dimana pada fase

akhir masa perjanjian harus dilakukan transfer (mengembalikan tanah serta

menyerahkan rumah susun kepada pemilik tanah), maka dapat dipastikan

bahwa nantinya pada fase akhir perjanjian Perusahaan Pembangunan

Perumahan Nasional tidak dapat mengembalikan tanah dan menyerahkan

rumah susun kepada PT. Kereta Api Indonesia karena telah dijual kepada

konsumen. Pola kerjasama semacam ini akan mengalihkan aset PT. Kereta

Api Indonesia kepada pihak lain (konsumen) dengan cara yang tidak sesuai

dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pelepasan aset

milik Badan Usaha Milik Negara.

Perjanjian kerjasama pemanfaatan tanah oleh PT. Kereta Api Indonesia

dengan Perusahaan Pembangunan Perumahan Nasional secara yuridis null

and void (batal demi hukum) karena : (1) Pola kerjasama (Bangun-Guna-

Serah) pemanfaatan tanah disertai dengan pemberian hak atas tanah kepada

pihak ketiga dilarang sebagaimana diatur dalam PP nomor 27 Tahun 2014;

(2) Perjanjian kerjasama tersebut sejak awal mengandung syarat potestatif

(syarat yang tidak mungkin dilaksanakan). Tahap transfer (mengembalikan

tanah serta menyerahkan bangunan omersial kepada pemilik tanah) tidak

mungkin dilaksanakan karena obyek perjanjian dialihkan kepada pihak lain

(konsumen).

Konsekuensi logis dengan batalnya perjanjian antara PT. Kereta Api

Indonesia dengan Perusahaan Pembangunan Perumahan Nasional

Page 39: STATUS KEPEMILIKAN DAN PEMANFAATAN TANAH …

The Ownership Status, Sulistiowati, Nurhasan Ismail, Taufiq El Rahman 1045

menyebabkan batal pula perjanjian jual beli rumah susun antara Perusahaan

Pembangunan Perumahan Nasional dengan konsumen.

b. Dasar kewenangan bertindak Perusahaan Pembangunan Perumahan Nasional

dengan konsumen rumah susun

Batalnya perjanjian kerjasama antara PT. Kereta Api Indonesia dengan

Perusahaan Pembangunan Perumahan Nasional membawa akibat Perusahaan

Pembangunan Perumahan Nasional tidak mempunyai kewenangan bertindak

mengadakan hubungan hukum (menjual) rumah susun kepada konsumen.

Namun fakta di lapangan menunjukkan bahwa Perusahaan Pembangunan

Perumahan Nasional telah menjual rumah susun kepada konsumen. Penjualan

dilakukan melalui instrumen Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) yang

dibuat secara notariil, karena jual beli secara formal dihadapan Pejabat

Pembuat Akta Tanah (PPAT) belum bisa dilakukan.

Dalam akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli rumah susun yang dibuat,

sebenarnya secara implisit menunjukkan bahwa pihak penjual (Perusahaan

Pembangunan Perumahan Nasional) tidak mempunyai kewenangan bertindak

untuk menjual rumah susun. Hal ini tampak dalam premis akta yang

menyebutkan :

“Bahwa Pihak Pertama adalah perusahaan pengembang atau perusahaan

pembangunan perumahan dan pemukiman yang sedang/telah membangun

bangunan-bangunan Rumah Susun di atas tanah Hak Guna Bangunan

atas nama Perumnas di atas Hak Pengelolaan (HPL) atas nama PT.

Kereta Api Indonesia (Persero) yang terletak di .............”.

Premis di atas menunjukkan ketidakpastian lokasi obyek perjanjian (rumah

susun) karena tidak menyebut nomor Hak Guna Bangunan (HGB) dan nomor

Hak Pengelolaan (HPL) yang disebut. Sebagai akta notariil hal tersebut tidak

boleh dilakukan karena keterangan atau fakta yang menjadi dasar dibuatnya

suatu perjanjian menjadi tidak jelas. Fakta demikian menunjukkan ada

kemungkinan bahwa Hak Guna Bangunan (HGB) dan Hak Pengelolaan

(HPL) yang disebut memang belum ada. Ketidakjelasan tempat atau lokasi

tanah berdirinya rumah susun dapat membawa konsekuensi batalnya

perjanjian karena : (1) Tidak terpenuhinya syarat “suatu hal tertentu”; (2)

Pihak penjual tidak wenang bertindak karena tidak ada “kausa yang halal”

sebagai dasar bertindak.

Berdasarkan 2 (dua) aspek di atas maka jelas bahwa perjanjian jual beli rumah

susun antara Perusahaan Pembangunan Perumahan Nasional dengan konsumen

berpotensi batal demi hukum (null and void) karena tidak memenuhi syarat

“kausa yang halal” dan “suatu hal tertentu”. Perjanjian kerjasama pemanfaatan

tanah antara PT. Kereta Api Indonesia dengan Perusahaan Pembangunan

Perumahan Nasional berpotensi masuk dalam ranah hukum publik yang

berdampak kepada konsumen. Bentuk perlindungan hukum konsumen dalam

posisi semacam ini adalah klasifikasi sebagai “pembeli yang beritikad baik”

sehingga tidak ikut bertanggung jawab jika terjadi kesalahan menurut hukum

publik.

IV. PENUTUP

4.1. Kesimpulan

Page 40: STATUS KEPEMILIKAN DAN PEMANFAATAN TANAH …

1046 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020

1. Tanah yang berasal dari Grondkaart di lokasi penelitian masih

kepunyaan/aset pemerintah. Hal ini didasarkan pada fakta yaitu : Pertama,

subyek yang memiliki tanah Grondkaart sejak Indonesia merdeka sampai

sekarang tidak pernah mengalami perubahan yaitu pemerintah cq.

Kementerian yang menangani perhubungan; Kedua, status tanah yang berasal

dari Grondkaart masih berstatus Hak Pakai Selama Digunakan yang hanya

dapat dipunyai instansi pemerintah; Ketiga, penyertaan tanah sebagai modal

di PT KAI belum disertai dengan proses pemindahtanganan hak kepemilikan

atas tanah karena Pemerintah membentuk ketentuan peraturan perundang-

undangan terkait dengan pemindahtanganan tanah termasuk penyertaan

modal pemerintah tidak secara konsisten mendasarkan pada asas hukum yang

menjadi dasar pemindahtanganan barang.

2. Terhadap perjanjian pemanfaatan tanah dengan pihak ketiga terdapat

perbedaan dikaji dari keabsahan yaitu perjanjian yang dilakukan oleh PT KAI

tidak memenuhi 2 (dua) syarat sahnya perjanjian yaitu kecakapan bertindak

dan kausa yang halal, sedangkan perjanjian yang dilakukan oleh Pemerintah

memenuhi semua syarat sahnya perjanjian. Konsekuensinya adalah perjanjian

yang tidak memenuhi syarat sahnya perjanjian akan berdampak pada tidak

adanya kepastian dan perlindungan hukum kepada warga masyarakat yang

menerima peralihan hak atas tanah dari Pihak Ketiga.

4.2. Implikasi Teoritis dan Praktis

1. Secara teoritis, setiap norma hukum yang mengatur perbuatan hukum tertentu

dalam semua bidang hukum harus didasarkan dan dijabarkan dari asas hukum

terkait dengan perbuatan hukum dimaksud sehingga terdapat konsistensi

norma. Norma hukum yang mengatur pemindahtanganan barang bergerak dan

barang tetap yaitu tanah harus didasarkan dan dijabarkan dari asas hukum

yaitu : (a) asas pembedaan prosedur dan persyaratan antara

pemindahtanganan barang bergerak dengan barang tetap yaitu tanah; (b) asas

penyerahan barang bergerak dilakukan dengan penyerahan nyata atau

Feitelijke Levering; (c) asas penyerahan barang tetap dilakukan dengan

penyerahan yuridis atau Juridische Levering. Pemberlakuan asas hukum

dimaksud harus dilakukan baik pemindahtanganan itu dilakukan oleh

pemerintah dengan obyeknya berupa barang atau aset kepunyaannya

berdasarkan hukum administrasi negara maupun dilakukan oleh perseorangan

dan badan hukum dengan obyeknya berupa barang kepunyaannya

berdasarkan hukum perjanjian dan hukum pertanahan. Tujuannya adalah

terciptanya konsistensi norma hukum sebagai unsur dari kepastian hukum.

2. Secara praktis terkait dengan kebijakan pemerintah di bidang

pemindahtanganan barang bergerak dan barang tetap yaitu tanah termasuk

melalui penyertaan modal pemerintah kepada BUMN/D sebagaimana diatur

dalam PP No.27 Tahun 2014 dan sudah diubah dengan PP No.28 Tahun 2020

harus dikaji ulang agar pemindahtanganan barang atau aset pemerintah

kepada pihak lain berimplikasi pada terjadinya perpindahan hak kepemilikan

atas tanah sehingga mencegah terjadinya sengketa hukum.

4.3. Rekomendasi

Rekomendasi dari temuan penelitian ini disampaikan kepada Menteri keuangan,

Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Badan Usaha Milik Negara untuk

melakukan amandemen terhadap PP No.27 Tahun 2014 beserta peraturan

pelaksanaannya oleh ketiga Kementerian dimaksud terutama yang berkaitan

Page 41: STATUS KEPEMILIKAN DAN PEMANFAATAN TANAH …

The Ownership Status, Sulistiowati, Nurhasan Ismail, Taufiq El Rahman 1047

dengan pemindahtanganan benda tetap berupa tanah sesuai dengan asas hukum

yang sudah dijelaskan di atas.

DAFTAR PUSTAKA

Alsadad Rudi, 2017, Kompas.com, Giliran Stasiun Pondok Cina Jadi Lokasi Rusun

TOD, <https://megapolitan.kompas.com/read/2017/10/02/08400481/giliran-

stasiun-pondok- cina- jadi-lokasi-rusun-tod.>, diakses pada 13 Maret 2020

Arie Soekanti Hutagalung, tanpa tahun, Hak Pengelolaan, makalah

Ariesto Hadi Sutopo dan Adrianus Arief, 2010, Terampil Mengolah Data Kualitatif

Dengan NVIVO, Prenada Media Group, Jakarta

Asep Saepul Hamdi, 2014, Metode Penelitian Kuantitatif Aplikasi dalam Pendidikan,

Deepublish, Yogyakarta

Badan Pertanahan Nasional, 1992, Surat Kepala Badan Pertanahan Nasional kepada

Menteri Keuangan No.500-1255, tanggal 4 Mei 1992 tentang Petunjuk

Pelaksanaan Tata Cara Pengurusan Hak dan Penyelesaian Sertipikat Tanah yang

Dikuasai Instansi Pemerintah

Bambang Waluyo, 1991, Penelitian Hukum dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta

Boedi Harsono, 1971, UNDANG-UNDANG POKOK AGRARIA : Sejarah

Penyusunan, Isi, dan Pelaksanaannya, penerbit Djambatan, Jakarta, halaman 49

-----------, 1983, Hukum Agraria Indonesia : Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum

Tanah, penerbit Djambatan, Jakarta

Ch.N. Latief, et.al., 1997, Sejarah Perkeretaapian Indonesia-Jilid I, Cetakan Pertama,

Angkasa, Bandung

Djoko Marihandono, dkk, 2018, Nalika Tanah Jawa Sinabukan Ril Konsesi NV NISM

Di Jawa Tengah, 1863 – 1958, Penerbit Aset Non Railway – Direktorat Aset

Tanah dan Bangunan – PT Kereta Api Indonesia (Persero), Bandung

Emir Fajar Saputra, 2020, bumn.go.id, Sekilas Tentang Aset PT KAI (Persero)

Wilayah Sumatera, <http://bumn.go.id/keretaapi/berita/1-Sekilas-Tentang-Aset-

PT-KAI-Persero-Wilayah-Sumatera->, diakses pada 13 Maret 2020

HarianHaluan.com, 2018, DPD RI Desak Penuntasan Sengketa Lahan PT KAI, Kamis

18 Oktober

Irsyan Hasyim dan Ariyani Yakti Widyastuti, 2017, Sengketa KAI-Kemenhub : BPN

Ukur Ulang Lahan Di Stasiun Depok Baru, dalam Tempo.Co, Jakarta, 19

Desember 2017

Irsyan Hasyim, 2017, Tempo.com, PT KAI dan Ditjen Perekeretapian Berebut Lahan

di Stasiun Depok, <https://bisnis.tempo.co/read/1040714/pt-kai-dan-ditjen-

perkeretapian-berebut-lahan-di-stasiun-depok>, diakses pada 13 Maret 2020.

Kementerian agraria dan Tata Ruang, 2018, Surat Kementerian Agraria dan Tata

Ruang/Badan Pertanahan Nasional No.1776/27.1/600/VI/2018 tertanggal 29 Juni

2018 tentang Permohonan Bantuan Penerbitan Hak Pengelolaan atas nama PT

Kereta Api Indonesia (Persero) di Area Stasiun Pondok Cina dan Tanjung Barat

-----------, 2019, Berita Acara Kesimpulan Rapat Penyelesaian Tanah yang Terletak di

Kelurahan Lenteng Agung, Kecamatan Jagakarsa, Kota Administrasi Jakarta

Selatan Antara PT Kereta Api Indonesia Dengan Kementerian Perhubungan

Republik Indonesia, tertanggal 26 Pebruari 2019

-----------, tanpa tahun, Draf Surat Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan

Pertanahan Nasional kepada Menteri Keuangan Republik Indonesia, Kepala

Page 42: STATUS KEPEMILIKAN DAN PEMANFAATAN TANAH …

1048 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020

Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi DKI Jakarta, dan Direktur

Utama PT Kereta Api Indonesia, perihal Penyelesaian Tanah Antara PT Kereta

Api Indonesia Dengan Kementerian Perhubungan Republik Indonesia

Kementerian Perhubungan, tanpa tahun, Latar Belakang Permasalahan Aset

Direktorat Jenderal Perkeretaapian kementerian Perhubungan

------------, 2012, Surat Direktorat Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan

RI kepada Direksi PT Kereta Api Indonesia (Persero) Nomor

KU.008/184/K1/DJKA/X/12 tanggal 25 Oktober 2012 yang secara resmi diterima

oleh secretariat PT KAI pada tanggal 29 Oktober 2012.

Miles M.B. dkk, 2014, Qualitative Data Analysis: An Expanded Sourcebook Edition 3,

Sage Publication Asia-Pacific Pte. Ltd., Singapore, hlm. 13

Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Jakarta, Kencana, hlm. 94.

PT Kereta Api Indonesia 2000, Tanah Kereta Api : Suatu Tinjauan Historis, Hukum

Agraria/Pertanahan, dan Hukum Perbendaharaan Negara

-----------, 2005, Dokumen Nota Kesepahaman (MoU) Antara PT Kereta Api Dengan

PT Andyka Investa No : 23/HK/V3/III/2005 dan No 08/NK-KAI/04/2005

tertanggal 30 Maret 2005 tentang Kerja Sama Pemanfaatan Aset Milik PT Kereta

Api Di Stasiun Depok Baru Untuk Pengembangan Stasiun dan Pembangunan

Kawasan Pertokoan;

-----------, 2012, Perjanjian Antara PT Kereta Api Indonesia Dengan PT Andyka

Investa No HK.221/XI/9/KA-2012 dan No 017/AI/DIR/XI/12 tentang Persewaan

Lahan PT Kereta Api Indonesia Di Stasiun Depok Baru Untuk Park and Ride

RiauMandiri, 2018, PT KAI Tak Berwenang Lakukan Tindakan Hukum Atas Tanah

Yang Dipakai, Jakarta, Jumat, 16 Maret 2018

Saepul Rahmat Pupu, 2009, “Penelitian Kualitatif” dalam Jurnal Equilibrium, Volume

5, Nomor 9, PGRI, Madiun,

Safyra Primadhyta, 2017, Perumnas-KAI Groundbreaking Rusun Tanjung Barat Rp

750 Milyar, Berita CNN Indonesia, Selasa 15 Agustus

Siti Nurjanah1, Bambang Wahyudi2, Purwanto3, 2019, Resolusi Konflik Lahan Pt

Kereta Api Indonesia (Persero) Dengan Warga Rw 12 Kelurahan Manggarai

Jakarta Selatan Dalam Perebutan Lahan Di Wilayah Daerah Operasi 1 Jakarta,

Jurnal Damai dan Resolusi Konflik, Agustus 2019, Volume 5 Nomor 2

Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, 1974, Hukum Benda, diterbitkan Seksi Hukum

Perdata Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

Urip Santoso, 2012, Eksistensi Hak Pengelolaan Dalam Hukum Tanah Nasional,

dalam Jurnal Mimbar Hukum, volume 24 Nomor 2, Juni 2012

Zainuddin Ali, 2009, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 105.

Lihat juga Soerjono Soekanto, 2010, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press,

Jakarta.