Upload
others
View
0
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
TESIS
UJI VALIDITAS KADAR CD4
UNTUK DIAGNOSIS TOKSOPLASMOSIS SEREBRI PADA PENDERITA
ACQUIRED IMMUNODEFICIENCY SYNDROME
IDA AYU SRI INDRAYANI
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I
ILMU PENYAKIT SARAF FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA / DENPASAR
2011
2
TESIS
UJI VALIDITAS KADAR CD4
UNTUK DIAGNOSIS TOKSOPLASMOSIS SEREBRI PADA PENDERITA
ACQUIRED IMMUNODEFICIENCY SYNDROME
IDA AYU SRI INDRAYANI
NIM : 0614068205
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I
ILMU PENYAKIT SARAF FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA / DENPASAR
2011
3
UJI VALIDITAS KADAR CD4
UNTUK DIAGNOSIS TOKSOPLASMOSIS SEREBRI PADA PENDERITA
ACQUIRED IMMUNODEFICIENCY SYNDROME
Tesis Untuk Memperoleh Gelar Dokter Spesialis Saraf
Pada Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Penyakit Saraf
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
IDA AYU SRI INDRAYANI
NIM : 0614068205
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I
ILMU PENYAKIT SARAF FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA / DENPASAR
2011
4
LEMBAR PENGESAHAN
TESIS INI TELAH DISETUJUI
TANGGAL :............................................
Oleh:
Pembimbing I :
Prof. Dr. dr. AA Raka Sudewi, Sp.S(K)
NIP :19590215 198510 2 001
Pembimbing II :
Prof. Dr. dr. Ketut Tuti Parwati Merati, SpPD-KPTI
NIP :19481228 197903 2 001
Ketua Litbang Ilmu Penyakit Saraf KPS Ilmu Penyakit Saraf
FK Unud/RSUP Sanglah Denpasar FK UNUD/ RSUP Sanglah Denpasar
Dr. dr. Thomas Eko Parwata,Sp.S (K) dr. I Made Oka Adnyana, Sp.S(K)
NIP.195404201982111001 NIP. 195610101983121001
5
UCAPAN TERIMAKASIH
Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sanghyang Widhi Wasa, Tuhan yang
Maha Esa, karena berkat rahmat dan karunia-Nya tesis ini dapat diselesaikan. Tesis ini
merupakan tugas akhir yang dibuat sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program
Pendidikan Dokter Spesialis I (PPDS-I) Ilmu Penyakit Saraf di Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana / RSUP Sanglah Denpasar.
Saya menyadari tanpa bimbingan, pengarahan, sumbangan pikiran, dorongan
semangat dan bantuan lainnya yang sangat berharga dari semua pihak, tugas akhir ini tidak
akan terlaksana dengan baik.
Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih yang
sedalam-dalamnya kepada Prof. DR. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K), selaku pembimbing
utama yang dengan penuh kesabaran dan perhatian selalu memberikan semangat,
dorongan, bimbingan dan saran baik selama penulis mengikuti pendidikan dan khususnya
dalam menyelesaikan tesis ini. Beliau merupakan sosok panutan bagi penulis untuk selalu
berkeinginan untuk maju dan berjuang karena beliau seorang ibu yang membanggakan dan
seorang guru yang patut ditiru. Ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya penulis ucapkan
kepada Prof. DR. dr. Ketut Tuti Parwati Merati, SpPD-KPTI selaku pembimbing yang dengan
penuh perhatian dan selalu memberikan dorongan dan saran serta perhatian untuk dapat
menyelesaikan tesis ini.
Terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Prof .DR. dr. Raka Widiana, SpPD-KGH. yang
telah memberikan masukan sejak awal penyusunan rancangan penelitian sampai
penyusunan karya akhir ini dalam bidang statistika.
Terima kasih sedalam dalamnya kepada Prof. DR. drh. I Gusti Kade Mahardika, selaku
Kepala Laboratorium Biologi Molekuler FKH UNUD,drh. Ni Made Ritha Krisna Dewi, drh. I
Gst. Ngurah Narendra Putra, atas kerja kerasnya dan kesabaran, selalu memberikan
semangat dan dorongan di dalam penyelesaian dalam bidang Biologi Molekuler data
penelitian ini.
Terimakasih setulus-tulusnya dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada : Prof.
DR. dr. I Made Bakta, SpPD-KHOM. Rektor Universitas Udayana, yang telah memberikan
kesempatan kepada saya untuk mengikuti PPDS-I Ilmu Penyakit Saraf di Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana. Prof. DR. dr. Ketut Suastika, SpPD-KEMD. Dekan Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana, yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk
mengikuti PPDS-I Ilmu Penyakit Saraf di Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.
6
Dr. D.P.G. Purwa Samatra, Sp.S(K), Kepala Lab/SMF Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar, yang senantiasa memberikan bimbingan,
petunjuk dan dorongan sejak awal sampai akhir pendidikan.
Dr. I Made Oka Adnyana, Sp.S(K), Ketua Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis I Ilmu
Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar, atas
kesempatan, dorongan dan petunjuk yang diberikan sejak awal sampai akhir pendidikan.
DR. dr. Thomas Eko Purwata, Sp.S(K), Ketua Litbang Bagian/SMF Ilmu Penyakit Saraf
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar atas dorongan, masukan,
petunjuk ,perhatian beliau yang telah selalu memberikan masukan dan bimbingan selama
penulis mengikuti pendidikan dan khususnya memberikan semangat dan dorongan untuk
tegar saat penulis mengikuti ujian akhir nasional.
Ucapan terimakasih kepada I Wayan Kondra, Sp.S(K), dr. I.G.N. Budiarsa, Sp.S, dr. A.A.A.
Laksmidewi, Sp.S(K), dr. I Komang Arimbawa, Sp.S, dr. A.A.A. Meidiary Sp.S(K), dr. Ketut
Indrasari Utami, Sp.S, dr. Putu Eka Widyadharma, Msc, Sp.S. Supervisor di Bagaian Penyakit
Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar, yang telah
memberikan segala arahan dorongan dan bimbingan selama mengikuti pendidikan ini.
Ungkapan terima kasih yang sedalam -dalamnya kepada dr. A.A.B.N Nuartha Sp.S(K) yang
dengan penuh kesabaran telah memberikan dorongan, semangat bimbingan baik secara
moral dan spiritual selama mengikuti pendidikan khususnya dalam menyelesaikan
pendidikan ini.
Terimakasih setulusnya kepada dr. I.G.N. Purna Putra, Sp.S(K), dr. Anna Marita Gelgel,
Sp.S(K), dr. I B. Kusuma Putra, Sp.S, yang telah memberikan segala arahan dorongan dan
bimbingan selama mengikuti pendidikan ini dan selalu memberikan semangat untuk tetap
maju dalam menyelesaikan tesis ini.
Terimakasih kepada dr. Nyoman Sri Budhayanti, Sp.MK (K), selaku kepala Laboratorium
Biologi Molekuler FK UNUD, dr. Adi Tarini Sp.MK selaku kepala Instalasi Labortorium Biologi
Molekuler RSUP Sanglah Denpasar atas kerjasamanya didalam penyimpanan sampel
penelitian.
Ucapan terima kasih kepada dr. Susilawathi Sp.S, dr. Widiastuti, Sp.S, dr. I Made
Dwijayantara, Sp.S, dr. Irawan Santosa, Sp.S, dr. I Wayan Tunjung, Sp.S, Supervisor di Bagian
SMF Ilmu Penyakit Saraf yang telah memberikan dorongan dan semangat untuk
menyelesaikan tesis ini.
Ucapan terimakasih kepada dr. Ngurah Satriawan, dr. desie Yuliani, dr. Mudanayasa, dr. Ni
Putu Witari, dr. Lina Kamelia, dr. Dedy Handaka, dr. Yohanes, dr. Yosi Silalahi, dr. Lusy, dr.
IA. Sri Wijayanti, dr. Widiyantara, dr. Trisna, dr. Imelda, dr. Saktivi, dr. Yogi, dan khususnya
dr. Agus Antara dan teman sejawat lainnya yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu
7
atas kerjasama-nya dalam pengumpulan data penelitian ini dan dorongan selama penulis
menyelesaikan tesis ini.
Rekan-rekan residen, atas pengertian dan kerjasama yang baik selama ini. Semua rekan
paramedis dan tenaga administrasi di lingkungan RSUP Sanglah Denpasar, atas kerjasama
dan bantuannya selama ini
Semua sampel penelitian ini, atas kesediaan dan kerelaan untuk ikut berpartisipasi selama
penelitian ini berlangsung.
Ayahnda mertua I.B Tresna dan ibu mertua jero Taman terimakasih atas doa,restu dan
pengertiannya selama penulis menjalani pendidikan hingga menyelesaikan tesis ini.
Ayahnda I.B Pt Sudarsana,Ibunda tercinta Ni Ketut Rumiathi yang telah banyak memberikan
dorongan, semangat baik secara moral, spiritual dan energi positif dan pengorbanan
seorang ibu yang selalu menjaga dan menginginkan yang terbaik untuk putra- putrinya
serta kekuatanya untuk selalu menjaga cucu-cucu tercinta agar penulis tetap bersemangat
didalam menyelesaikan tesis ini, serta kakak dan adik saya atas perhatian, doa restu,
dorongan dan bantuan yang diberikan selama ini.
Khususnya suami tercinta dan terkasih I.B Putu Putrawan, Sp.PD, serta anak-anak tercinta I.
B Indra Wibawa P, dan I.B. Indra Sadhyanan P, atas segala pengertian, kesabaran,
ketabahan dan pengorbanannya selama ini, serta dorongan semangat yang tiada henti
selama penulis menjalani program pendidikan ini.
Semua pihak yang telah membantu yang belum tercantum namanya disini.
Semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa membalas budi baik yang telah
diberikan kepada penulis, Kiranya penulis mendapat kekuatan dan selalu dalam karunia-
Nya untuk dapat mengamalkan semua ilmu yang diperoleh bagi sesama dengan benar
pada jalan dharma.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tesis ini sangat jauh dari sempurna. Dengan
sepenuh kerendahan hati saya tetap memohon pentunjuk kearah perbaikan, sehingga hasil
yang tertuang dalam tesis ini nantinya dapat bermanfaat.
Denpasar, Oktober 2011
Penulis
8
9
DAFTAR ISI
Halaman Judul ................................................................................................................... i
Lembar Pengesahan .......................................................................................................... iv
Ucapan Terimakasih .......................................................................................................... v
Daftar isi ............................................................................................................................. ix
Daftar Gambar ................................................................................................................... xii
Daftar Singkatan ................................................................................................................ xiv
BAB 1 PENDAHULUAN ...................................................................................................... i
1.1 Latar Belakang Masalah .............................................................................................. 1
I.2 Rumusan Masalah ....................................................................................................... 6
1.3 Tujuan Penelitian ......................................................................................................... 7
1.3.1 Tujuan umum ................................................................................................. 7
1.3.2. Tujuan khusus ...................................................................................... 7
1.4 Manfaat Penelitian ..................................................................................................... 8
1.4.1. Manfaat akademik ................................................................................ 8
1.4.2. Manfaat praktis .............................................................................................. 9
B A B II KAJIAN PUSTAKA ................................................................................................. 10
2.1 Toksoplasmosis Serebri ................................................................................................ 10
2.1.1 Definisi klinis .................................................................................................... 12
2.2 Epidemiologi Toksoplasmosis Serebri .......................................................................... 14
2.3 Biologi Toxoplasma Gondi ............................................................................................ 14
2.3.1 Genome dan struktur antigen ........................................................................... 22
2.3.2 Virulensi dan strains ........................................................................................ 23
2.4 Patogenesis Toksoplasmosis Serebri. .......................................................................... 26
2.5 Respon Imunologis Toksoplasmosis ............................................................................ 35
2.5.1 Peranan mediasi sel T ..................................................................................... 35
2.5.2 Peranan respon imun toksoplasmosis pada HIV/AIDS ................................... 38
2.5.2.1 Abnormalitas pada sistem imunitas seluler ...................................... 40
2.5.2.2 Abnormalitas pada sistem imunitas humoral. ................................... 41
10
2.6 Manifestasi Klinis ......................................................................................................... 43
2.7 Diagnosis ..................................................................................................................... 44
2.7.1 Diagnosis presumtif berdasarkan kriteria CDC ............................................... 44
2.7.2 Pemeriksaan biologi molekuler. ..................................................................... 48
2.7.2.1 Ekstraksi DNA...................................................................................... 51
2.7.2.2 Hasil PCR T.gondii .............................................................................. 52
B A B III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS
PENELITIAN ...................................................................................... 55
3.1 Kerangka berpikir ........................................................................................................ 55
3.2 Konsep ....................................................................................................................... 57
B A B 4 METODE PENELITIAN .......................................................................................... 59
4.1 Rancangan Penelitian ................................................................................................. 60
4.2 Lokasi dan waktu penelitian ....................................................................................... 60
4.3 Populasi dan Sampel .................................................................................................. 60
4.3.1 Populasi target ................................................................................................... 60
4.3.2 Populasi terjangkau ........................................................................................... 60
4.3.3 Sampel penelitian .............................................................................................. 60
4.3.3.1 Kriteria inklusi ..................................................................................... 61
4.3.3.2 Kriteria eksklusi................................................................................... 61
4.4 Besar Sampel Penelitian ............................................................................................. 61
4.5 Variabel Penelitian ..................................................................................................... 62
4.6 Definisi Operasional Variabel Penelitian .................................................................... 63
4.7 Bahan Penelitian......................................................................................................... 64
4.8 Instrumen dan Prosedur Pengambilan Bahan Penelitian .......................................... 64
4.9 Analisisa Data ............................................................................................................. 64
4.10 Alur Penelitian .......................................................................................................... 65
BAB V HASIL PENELITIAN ................................................................................................... 66
5.1 Karakteristik Demografi Subyek ................................................................................... 66
5.2 Karakteristik Tanda Vital .............................................................................................. 67
5.3 Karakteristik Gejala Dan Tanda Neurologi .................................................................. 53
5.4 Karakteristik Gambaran Ct sken ................................................................................ 69
5.5 Karakteristik Parameter Imunologi Subyek ................................................................. 71
11
5.6 Uji Diagnostik antara CD4 dan PCR CSS ..................................................................... 71
BAB VI PEMBAHASAN ........................................................................................................ 73
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 87
Lampiran ........................................................................................................................... 95
DAFTAR GAMBAR
No. Gambar Judul Gambar Halaman
Gambar 1 Siklus hidup Toxoplasma gondii 13
Gambar 2 Siklus seksual dalam usus kucing 14
Gambar 3 Siklus hidup T.gondii dalam host difinitif 15
Gambar 4 T.gondii stadium takisoit 16
Gambar 5 Perlekatan transmembran protein dengan ekstrasel
Ligans dan fungsi actomyosin
17
Gambar 6 Endodiogeni T.gondii 18
Gambar 7 Takisoit masuk ke magrofag 19
Gambar 8 Invasi T.gondii melalui vakuola rhoptries 20
Gambar 9 Antigen Toxoplasma gondii 22
Gambar 10(a,b) Strain T.gondii pada beberapa isolasi 24
Gambar 11 Infeksi T.gondii pada manusia 26
Gambar 12 Produksi Sitokin oleh Sistem Imun Perifer dan
Sistem Imun Saraf
27
Gambar 13 Makrofag rupture yang telah mengeluarkan
takisoit stadium ini disebut pseudokista 29
Gambar 14(A,C,D,E) (A) Dua buah takisoit didalam kapiler endotelium (B)
Vaskulitis dengan sebuah takisoit (C) Fokus
pada pusat nekrosis dengan gliosis disekitarnya (D)
Nodul glial yang dikelilingi dengan kista T.gondii (E)
Perivaskulitis dan gliosis tanpa adanya takisoit 30
12
Gambar 15 Terbentuknya imunitas tubuh saat terinfeksi 31
Gambar 16 Efektor CD4 dan CD8 32
Gambar 17 Fungsi subset sel T naif / (Th0) berdeferensiasi
Menjadi Th1 dan Th2 35
Gambar 18(A,B,C) Patologi tikus yang diinfeksikan peroral T.gondii
(D,E,F) (A,C,E) dan yang diinjeksikan T.gondii (B,D,F
pada sel usus (ileum), hati, mikroglia 36
Gambar 19 Kerjasama CD4 dan CD8 dalam menyingkirkan
parasit intraseluler
37
Gambar 20 Hubungan infeksi oportunistik dan CD4 38
Gambar 21 Perjalanan klinis penyakit AIDS 38
Gambar 22 Interaksi CD4 dan CD8 dalam imunitas seluler 39
Gambar 23 Mekanisme CD8 / CTL membunuh sel terinfeksi 40
Gambar 24 Biopsi jaringan otak pada lobus frontal, tampak
daerah nekrosis yang dikelilingi dengan makrofag
limfosit dan banyak kista takisoit 41
Gambar 25 CT sken kepala dengan kontras memperlihatkan
Gambaran hipodens yang menyangat kontras ber
bentuk cincin pada bangsal ganglia 45
Gambar 26(A,B,C) Wanita umur 54 tahun dengan serebral
Toksolasmosis yang merespon baik pengobatan
Sulfametroksasol dan trimetropin 46
Gambar 27 Evaluasi dari gejala klinis dan tanda sistem saraf
pusat pada penderita HIV/AIDS dengan
mempergunakan MRI
48
Gambar 28 Hasil PCR dalam gel elektroforesis 51
13
14
DAFTAR SINGKATAN
201 TI = Thallium-201
ADC = Apparent Diffusion Coefficient
AIDS = Acquired Immunodeficiency Syndrome
APC = Antigen Presenting Cell
ARV = Anti retroviral
BCGF = B Cell Growth Factors
BP = Base Pairs
C = Conoid
CD4 = Cluster of Differentiation 4
CDC = Centers for Disease Control
CI = Conffident Interval
CMI = Cell Mediated Immunity
CR = Conoidal rings
CSS = Cairan SerebroSpinalis
CT = Computed Tomography
CTLs = Cytotoxic T Lymphocyte
Depkes = Departemen Kesehatan
DNA = Asam DeoksiriboNukleat
ELISA = Enzyme Linked Immunosorbent Assay
FasL = Fas ligan
HAART = Highly Active Antiretroviral Therapy
HIV = Human Immunodeficiency Virus
Ig = Immunoglobulin
IHA = Indirect Hemaglutinasi Antigen
IL = Interleukin
15
INF-γ = Interferon Gamma
IRIS = Immune Reconstitution Inflammatory Syndrome
LAK = Lymphokine Activated Killer
M = Microtubulus
MHC = Major Histocompatibility Complex
MRI = Magnetic Resonance Imaging
NDN = Nilai Duga Negatif
NDP = Nilai Duga Positif
NK = Natural Killer
NO = Nitrit Oksida
OR = Odds Ratio
PCR = Polymerase Chain Reaction
PET = Positron Emission Tomography
PGE2 = Prostaglandin E2
Pokdisus = Kelompok Studi Khusus
PR = Polar ring
RAPD = Random Amplified Polymorphic
RFLP = Restriction Fragment Legth Polymorphism
RKN = Rasio Kemungkinan Negatif
RKP = Rasio Kemungkinan Positif
rRNA = Ribosomal Asam Ribonukleat
RSUP = Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah
SAG = Surface Antigen
SPECT = Single Photon Emission Computed Tomography
SPM = Subpellicular Microtubulus
SSP = Sistem Saraf Pusat
T.gondii = Toxoplasma gondii
Tc = T cytotoxic
TGF-ß = Tumor Growth Factor Beta
16
Th = T helper
TNFα = Tumor Necrosis Factor Alfa
B A B I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Toksoplasmosis pertama kali dilaporkan oleh Nicolle dan Manceaux di Afrika
utara yang diisolasi pada binatang pengerat sejenis tikus (Ctenodactylus gondii)
(Black dan Boothroyd, 2000). Toxoplasma gondii (T.gondii) merupakan parasit
intrasel obligat dari family Apicomplexa yang menyebabkan penyakit toksoplasmosis
dan merupakan patogen oportunistik pada penderita Acquired Immunodeficiency
Syndrome (AIDS) (Colombo dkk., 2005).
Toksoplasmosis pada manusia biasanya terjadi melalui jalur oral atau
transplasenta, seperti kebiasaan makan daging kurang matang yang terkontaminasi
oleh kista, air minum, makanan setelah dimasak tidak ditutup baik sehingga
terkontaminasi kista melalui perantara dan kucing sebagai host definitif (Hill dan
Dubey, 2002).
Infeksi T.gondii secara trasplasenta terjadi pada wanita yang secara akut
terinfeksi T.gondii selama kehamilan. Tingkat infeksi kongenital berkisar 20%-50%
tergantung pada trimester terjadinya infeksi akut (Dubey, 1996).
Infeksi toksoplasmosis bersifat kronis, 90% tidak menimbulkan gejala
sedangkan hanya 10% dapat timbul gejala mononukleosis seperti demam ringan
menyerupai flu, pembesaran kelenjar limfe leher yang tidak nyeri ataupun
pembesaran kelenjar limfe menyeluruh (Jenun dkk., 1998; Roullet, 1999).
17
Prevalensi zat anti T.gondii pada orang dewasa di Brasil berkisar 50 hingga
80% (Bahia-Oliveira dkk.,2003), sedangkan di Indonesia berkisar 63% (Clarke
dkk.,1973). Infeksi ini akan menyebabkan kematian pada orang dengan
imunokompremis misalnya pada penderita AIDS (Vidal dkk., 2004).
Penggunaan terapi anti retroviral (ARV) secara luas dapat mengurangi
insiden toksoplasmosis serebri. Sebelum era penggunaan anti retroviral insiden
toksoplasmosis serebri adalah 3,9 kasus per 100 orang pertahun, kemudian menjadi
1 kasus per 100 orang pertahun setelah penggunaan antiretroviral. Penderita AIDS
berkembang menjadi toksoplasmosis serebri diperkirakan 10-20% (Zangerie
dkk.,1991).
Toksoplasmosis serebri merupakan indikator prognosis buruk pada
penderita AIDS dan memberikan kontribusi sebesar 23% angka kematian pasien
AIDS. Sekumpulan gejala penyakit pada AIDS disebabkan oleh Human
Immunodeficiency Virus (HIV) yang merupakan retro virus ditemukan pada pasien
AIDS di Afrika Tengah tahun 1986. Target utama diserang oleh virus ini adalah sel
limfosit T Cluster of Differentiation 4 (CD4) (Djoerban dan Djauzi, 2006).
Diagnosis definitif ditemukan adanya takisoit pada biopsi otak dan isolasi
T.gondii (Dupon dkk., 1995). Biopsi otak merupakan tindakan invasif, cenderung
dihindarkan dalam penegakkan diagnosis toksoplasmosis serebri sehingga dalam
klinis praktis lebih dipilih pendekatan dengan diagnosis presumtif toksoplasmosis
serebri berhubungan dengan AIDS sesuai Guidelines The Centers for Disease
Control (CDC) criteria for AIDS-related cerebral toxoplasmosis, (1993).
Kriteria ini dipakai berdasarkan pengalaman klinis sejak tahun 1980
(Antonella dkk.,1996), pendekatan diagnosis 80% (Khalifa dkk.,1994).
Pendekatan ini masih belum maksimal sehingga penambahan kriteria
CD4≤100 sel/mL dapat dijadikan suatu pemikiran untuk meningkatkan pendekatan
18
salah satunya melalui nilai duga positif dan nilai duga negatif. Nilai ini oleh klinisi
dianggap memiliki arti yang lebih penting (Sopiyudin, 2009).
Klinik praktis pengobatan toksoplasmosis serebri didasarkan diagnosis
presumtif untuk toksoplasmosis serebri. Diagnosis presumtif menurut CDC, (1993)
berdasarkan 3 kriteria: 1) adanya gejala fokal neurologis yang mengarah pada
disfungsi sistem saraf pusat (SSP) atau penurunan kesadaran, 2) ada lesi khas dalam
otak yang dideteksi dengan computed tomography (CT), adanya lesi desak ruang
pada gambaran imaging pada sken kepala atau magnetic resonance imaging (MRI)
dan atau adanya menyangat kontras berbentuk cincin (ring enchancement), 3) adanya
serologis positif untuk antibodi (Ab) Immunoglobulin G (IgG) anti T.gondii atau
adanya respon yang baik setelah diberikan terapi empiris.
Keberhasilan terapi empiris selama 10 hari akan nampak dengan adanya
perbaikan secara klinis, ataupun radiologis setelah 21 hari dan perbaikan secara
komplit pada CT sken kepala atau MRI setelah 6 bulan (Portegies dan Berger, 2007).
Pendekatan dengan kriteria presumtif dilakukan karena parasit berada
dalam jaringan otak sehingga tidak memungkinkan melakukan biopsi otak pada
setiap penderita dicurigai toksoplasmosis serebri. Pemeriksaan radiologis kadang
tidak khas dan gejala klinis tidak spesifik sehingga menyulitkan diagnosis
toksoplasmosis serebri. Hal ini sering kali menyebabkan overdiagnosis untuk
toksoplasmosis serebri atau bahkan keterlambatan dalam mendiagnosis
toksoplasmosis serebri sehingga penatalaksanaan toksoplasmosis serebri menjadi
kurang dapat dipertanggungjawabkan bahkan menimbulkan kematian tanpa
mengetahui penyebab paling pasti (Carruthers dan Suzuki, 2007).
Berdasarkan angka insiden toksoplasmosis serebri pada AIDS sebelum era
pengobatan penderita AIDS dengan mempergunakan highly active antiretroviral
19
therapy (HAART), secara langsung berkorelasi dengan kadar CD4 yang rendah,
sehingga terjadi reaktivasi infeksi laten dari kista di otak (Leport dkk., 2000;
Pohan, 2006).
Pemberian obat profilaksis untuk toksoplasmosis serebri, bila CD4 plasma
≤100 sel/mL dan adanya seropositif dari zat anti T.gondii. Beberapa uji buta ganda
ANRS 005-ACTG 154 yang dilakukan di Prancis, untuk menilai efikasi dari
pemberian pegobatan pirimetamin untuk pencegahan primer toksoplasmosis sebagai
infeksi oportunistik pada penderita AIDS, hasilnya ditemukan adanya hubungan
antara kadar CD4 yang ≤100 sel/mL, dan titer Ab (IgG) anti T.gondii yang ≥ 150
IU/ml sebagai faktor risiko terjadinya toksoplasmosis serebri pada penderita
HIV/AIDS, hasil penelitian ini dijadikan pedoman untuk memulai dan menghentikan
pengobatan profilaksis toksoplasmosis (Leport dkk., 2000; Portegies dan Berger,
2007).
Penelitian diskriptif pasien toksoplasmosis serebri pada HIV/AIDS di
Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah (RSUP) memiliki karakteristik CD4 <50 sel/mL,
sebagian besar subyek mempunyai nilai limposit kurang dari 1200 k/mL, kadar Ab
(Ig M) anti T.gondii tidak reaktif, kadar Ig G reaktif (Surya dkk., 2008).
Penelitian mengenai profil toksoplasmosis serebri pada pasien HIV/AIDS
di RSUP Sanglah dilaporkan adanya angka CD4 rendah sebagai faktor pengaruh
terjadinya ensephalitis toksoplasmosis (Indah dkk., 2010).
Berdasarkan hal tersebut penambahkan kriteria CD4 ≤ 100 sel/mL sebagai
kriteria tambahan dalam kriteria presumtif untuk mendiagnosis toksoplasmosis
serebri perlu dijadikan suatu pemikiran untuk lebih meningkatkan nilai diagnosis.
Didukung perkembangan terbaru dalam teknik biologi dan molekuler
(biomol) untuk mendiagnosis penyakit infeksi, menggunakan Polymerase Chain
Reaction (PCR) mengurangi tindakan agresif invasif dalam pengambilan spesimen
20
melalui biopsi jaringan otak karena mempengaruhi angka mortalitas pasien yang
dicurigai toksoplasmosis serebri pada AIDS (Portegies dan Berger, 2007).
Penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat dengan metoda PCR,
memeriksa cairan serebrospinalis (CSS) 68 orang penderita AIDS dengan
toksoplasmosis serebri, didiagnosis dengan kriteria presumtif sesuai dengan kriteria
CDC, dan telah dikonfirmasi dengan pemeriksaan kultur T.gondi pada binatang
percobaan tikus sebagai standar baku emas. Hasil serologis T.gondii pada serum
darah dan CSS menunjukkan keseluruhan penderita dengan IgG positif dengan
pemeriksaan Western blots, sedangkan hasil CD4 pada penderita AIDS dengan
toksoplasmosis (84 ± 31,9 CD4 cells/µL darah) secara bermakna lebih rendah
dibandingkan penderita AIDS dengan infeksi oportunistik yang lain (180 ± 174 CD4
cells/µL darah), dan hasil pemeriksaan PCR dengan gen B1 sebagai primer memiliki
nilai sensitifitas 92%, spesifisitas 100%, dengan nilai prediktif positif 100% dan nilai
prediktif negatif 97% sangat berguna untuk mendiagnosis toksoplasmosis serebri
secara cepat, aman dan kurang invasif (Joseph dkk., 2002).
Penelitian lain juga mempergunakan PCR CSS di Brasil, memiliki nilai
sensitifitas 94,4% untuk mendiagnosis toksoplasmosis serebri dan nilai spesifisitas
100%, sangat disarankan untuk mempergunakan teknik PCR pada CSS untuk
mendiagnosis suatu toksoplasmosis serebri di negara berkembang (Vidal dkk., 2004).
Tentunya sangat ideal bila ada alat diagnostik yang tidak invasif, hasil
pemeriksaan lebih cepat, tidak berisiko, harga relatif terjangkau dengan nilai
diagnostik lebih atau setidaknya sama, namun dengan berbagai keuntungan seperti
yang disebutkan tadi.
Melalui penelitian ini, peneliti ingin mengetahui validitas dari kriteria kadar
CD4 ≤100 sel/mL untuk mendiagnosis toksoplasmosis serebri pada penderita AIDS
yang telah memenuhi kriteria presumtif toksoplasmosis serebri dengan pemeriksaan
21
PCR CSS sebagai referensi standar setelah biopsi, dipakai sebagai standar baku emas
yang memungkinkan untuk dapat dilakukan penelitian ini (Leport dkk., 2001; Fabio
dkk., 2005; Coroline, 2009).
1.2 Rumusan Masalah
Apakah kriteria kadar CD4 ≤ 100 sel/mL dapat meningkatkan pendekatan
diagnosis toksoplasmosis serebri pada AIDS yang memenuhi kriteria presumtif untuk
toksoplasmosis serebri dengan mengetahui :
1.2.1 Bagaimana sensitifitas kriteria kadar CD4 ≤ 100 sel/mL, untuk mendiagnosis
toksoplasmosis serebri pada AIDS yang memenuhi kriteria presumtif
toksoplasmosis serebri ?
1.2.2 Bagaimana spesifisitas kriteria kadar CD4 ≤ 100 sel/mL, untuk mendiagnosis
toksoplasmosis serebri pada AIDS yang memenuhi kriteria presumtif
toksoplasmosis serebri ?
1.2.3 Bagaimana nilai duga positif (NDP) kriteria kadar CD4 ≤ 100 sel/mL, untuk
mendiagnosis toksoplasmosis serebri pada AIDS yang memenuhi kriteria
presumtif toksoplasmosis serebri ?
1.2.4 Bagaimana nilai duga negatif (NDN) kriteria kadar CD4 ≤ 100 sel/mL, untuk
mendiagnosis toksoplasmosis serebri pada AIDS yang memenuhi kriteria
presumtif toksoplasmosis serebri ?
1.2.5 Bagaimana rasio kemungkinan positif (RKP) kriteria kadar CD4 ≤ 100
sel/mL, untuk mendiagnosis toksoplasmosis serebri pada AIDS yang
memenuhi kriteria presumtif toksoplasmosis serebri ?
1.2.6 Bagaimana rasio kemungkinan negatif (RKN) kriteria kadar CD4 ≤ 100
sel/mL, untuk mendiagnosis toksoplasmosis serebri pada AIDS yang
memenuhi kriteria presumtif toksoplasmosis serebri ?
22
1.2.7 Bagaimana akurasi kriteria kadar CD4 ≤ 100 sel/mL, untuk mendiagnosis
toksoplasmosis serebri pada AIDS yang memenuhi kriteria presumtif
toksoplasmosis serebri ?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Menguji validitas kriteria kadar CD4 ≤ 100 sel/mL, untuk menegakkan
diagnosis toksoplasmosis serebri pada AIDS yang memenuhi kriteria presumtif
toksoplasmosis serebri.
1.3.2. Tujuan Khusus
1.3.2.1 Mengetahui nilai sensitifitas kriteria kadar CD4 ≤ 100 sel/mL, untuk
mendiagnosis toksoplasmosis serebri pada AIDS yang memenuhi
kriteria presumtif toksoplasmosis serebri.
1.3.2.2 Mengetahui nilai spesifisitas kriteria kadar CD4 ≤ 100 sel/mL, untuk
mendiagnosis toksoplasmosis serebri pada AIDS yang memenuhi
kriteria presumtif toksoplasmosis serebri.
1.3.2.3 Mengetahui nilai duga positif (NDP) kriteria kadar CD4 ≤ 100 sel/mL,
untuk mendiagnosis toksoplasmosis serebri pada AIDS yang memenuhi
kriteria presumtif toksoplasmosis serebri.
1.3.2.4 Mengetahui nilai duga negatif (NDN) kriteria kadar CD4 ≤ 100 sel/mL,
untuk mendiagnosis toksoplasmosis serebri pada AIDS yang memenuhi
kriteria presumtif toksoplasmosis serebri.
1.3.2.5 Mengetahui rasio kemungkinan positif (RKP) kriteria kadar CD4 ≤ 100
sel/mL, untuk mendiagnosis toksoplasmosis serebri pada AIDS yang
memenuhi kriteria presumtif toksoplasmosis serebri.
23
1.3.2.6 Mengetahui rasio kemungkinan negatif (RKN) kriteria kadar CD4 ≤
100 sel/mL, untuk mendiagnosis toksoplasmosis serebri pada AIDS
yang memenuhi kriteria presumtif toksoplasmosis serebri.
1.3.2.7 Mengetahui akurasi kriteria kadar CD4 ≤ 100 sel/mL, untuk
mendiagnosis toksoplasmosis serebri pada AIDS yang memenuhi
kriteria presumtif toksoplasmosis serebri.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Akademik
Bila diketahui validitas kriteria kadar CD4 ≤ 100 sel/mL dapat
meningkatkan pendekatan diagnosis toksoplasmosis serebri secara bermakna di
RSUP Sanglah sehingga tindakan invasif dalam penegakkan diagnosis dapat
dihindarkan dan penatalaksanaan selanjutnya dapat lebih dipertanggung jawabkan
serta penelitian ini dapat dipakai sebagai data awal untuk dapat melakukan penelitian
lebih lanjut.
1.4.2 Manfaat Praktis
1.4.2.1 Bila validitas kriteria kadar CD4 ≤ 100 sel/mL dapat meningkatkan
pendekatan diagnosis toksoplasmosis serebri secara bermakna, maka
pemeriksaan CD4 dapat dijadikan prosedur pemeriksaan rutin sebagai
penunjang diagnosis suatu toksoplasmosis serebri khususnya pada
penderita yang dicurigai dalam keadaan imunokompremis.
1.4.2.2 Tenaga medis yang bekerja di pelayanan kesehatan dengan fasilitas
penunjang yang terbatas dapat menggunakan kriteria ini sebagai alat
untuk mendiagnosis toksoplasmosis serebri.
24
B A B II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Toksoplasmosis Serebri
2.1.1 Definisi Klinis
Toksoplasmosis serebri adalah suatu infeksi otak akut yang disebabkan oleh
reaktivasi kembali kista patogen intrasel T.gondii laten, mengandung bradisoit dan
kemudian mengalami perubahan fase menjadi takisoit, hal ini terjadi oleh karena
adanya keadaan imunokompremis (AIDS) dengan kadar CD4 rendah, manifestasi
klinis adanya disfungi neurologis fokal maupun difus dengan histopatologi adanya
nekrosis dan trombosis pembuluh darah dengan inflamasi perivaskular (vaskulitis)
pada bagian sentral tampak sebagai nodul mikroglia serta banyak ditemukan takisoit
yang mengelilingi nodul, seperti cincin pada daerah perbatasan nekrosis arteritis dan
takisoit pada dinding pembuluh darah (Portegies dan Berger, 2007).
2.2 Epidemiologi Toksoplasmosis Serebri
Infeksi toksoplasmosis merupakan oportunistik pada penderita AIDS dan
paling sering menyebabkan lesi desak ruang di otak dengan angka prevalensi
beragam diseluruh dunia. Toksoplasmosis pertama kali dilaporkan oleh Charles
Nicolle dan Louis Manceaux di Tunisia pada tahun 1908, kemudian oleh Alfonso
Splendore di Brasillia (Hall dkk,. 2001). Toksoplasma berasal dari kata toxon yang
artinya lengkung dan T.gondii ditemukan secara kebetulan pada binatang pengerat
sejenis tikus (Ctenodactylus gondii) sehingga diberikan nama Toxoplasma gondii
pertama kali oleh Nicolle. Serologi zat anti T.gondii ditemukan secara kosmopolit
pada manusia dan binatang melalui tes serologi ditemukan oleh Sabin dan Feldman
(Black dan Boothroyd, 2000).
9
25
Kasus infeksi pada manusia biasanya terjadi melalui jalur oral,
transplasenta, transfusi darah dan melalui trasplantasi organ. Berdasarkan
pemeriksaan serologi prevalensi toksoplasmosis dipengaruhi oleh banyak faktor
seperti faktor geografis misalnya negara beriklim dingin, negara tropis dengan
kelembaban tinggi dan subtropis, faktor kebiasaan makan daging kurang matang,
adanya kucing yang terutama sebagai host definitif, adanya tikus, burung sebagai
host perantara yang merupakan makanan kucing, adanya sejumlah vektor seperti
lipas atau lalat yang dapat memindahkan ookista dari tinja kucing ke makanan dan
cacing tanah yang berperan memindahkan ookista dari lapisan dalam tanah ke
permukaan (Pohan,2006; Dubey,2010).
Pemaparan hasil serologis positif untuk T.gondii sangat beragam diseluruh
dunia (Hill dkk., 2001). Prevalensi zat anti T.gondii pada orang dewasa sehat di
Amerika diperkirakan antara 3-70% dan di Eropa 80% (Pohan, 2006), di Indonesia
berkisar 2-63% Clarke dkk, (1973), di Irian Jaya 40% dari penduduk pribumi
berumur 10-50 tahun, Surabaya dan Jawa Timur 8,9% Yamamoto dkk, (1970).
Seropositif untuk T.gondii pada maternal 2 per 1000 kehamilan, rerata laju penularan
secara trasplasenta 40% dan proporsi neonatus dengan gejala toksoplasmosis berat
sebesar 8% (Remington dan Desmonts, 1990).
Infeksi kongenital berkisar 20-50% tergantung pada trimester terjadinya
infeksi akut (Pohan, 2006). Prevalensi zat anti T.gondii pada wanita hamil di Rumah
Sakit Dr.Cipto Mangunkusumo, Jakarta berkisar 14,3% Sayogo dkk, (1980), dan
angka seropositif pada 50 kasus abortus di bagian Obsetri dan Gynecologi (Obgyn)
sebesar 67,8% (Samil dkk,1988). Risiko tertinggi terjadi pada umur kehamilan 24-36
minggu (trimester III) sebesar 59%, trimester II sebesar 29% dan trimester I sebesar
26
14%, dengan gejala pada umumnya abortus spontan, lahir prematur dan kelainan
kongenital yang serius (Dubey, 2010).
Kelainan toksoplasmosis kongenital dikelompok menjadi gejala nampak
sejak lahir, dikenal dengan tetrade Sabin yaitu hidrosefalus atau mikrosefalus,
kalsifikasi intrakranial, kejang, korioretinitis dan gejala nampak dikemudian hari
yaitu korioretinitis, strabismus, mikrosefalus dan hidrosefalus dimana pada awal
kelahirannya bayi tampak normal. Kelompok gejala yang kedua merupakan
manifestasi klinis toksoplasmosis kongenital yang paling sering terjadi (Pohan, 2006;
Dubey, 2010).
Prevalensi toksoplasmosis pada penderita Human Immunodeficiency Virus
(HIV) /AIDS 45-70% di Eropa dan Afrika berkisar 50-78%, di Amerika sekitar 16%
dan Prancis 37% (Joseph dkk, 2002).
Berdasarkan penelitian patobiologi pada 962 orang penderita AIDS yang
meninggal dan dilakukan autopsi, dilaporkan proporsi jenis infeksi oportunistik yang
berhubungan dengan infeksi di sistem saraf pusat (SSP), diantaranya oleh sebab
virus, bakteri, jamur dan parasit didapatkan yang terbanyak oleh infeksi
Cytomegalovirus (CMV) dengan frekuensi dalam prosentase (15,8%), Toxoplasmosis
(13,6%), Cryptococcus (7,6%), Progresive Multifocal Leukoencephalophaty (4,0%),
Herpes Simplex Virus encephalitis (1,6%), Candidiasis (1,1%), Herpes Zoster Virus
encephalitis (0,6%), Histoplasmosis (0,4%), Tuberculosis (0,3%), Aspergillosis
(0,3%) (Kure dkk, 1991).
Penelitian pasien AIDS yang diberikan pengobatan dengan dideoxynosin
kejadian toksoplasmosis serebri sekitar 11% dari keseluruhan pasien dan 25% dari
mereka dengan seropositif dan imunokompremis yang terbukti dengan kadar limfosit
CD4 ≤ 100 sel/mL. Rumah Sakit di Prancis memiliki data dasar mengenai penderita
27
HIV sebelum dan sesudah menggunakan ARV. Terjadi penurunan insiden
toksoplasmosis serebri yang bermakna, dari 3,9 kasus per 100 orang pertahun dan
menjadi 1 kasus per 100 orang pertahun (Clifford, 2005).
Pemberian ARV pada pasien AIDS disatu pihak dapat menekan kematian
akibat infeksi oportunistik namun di lain pihak justru dapat meningkatkan kejadian
infeksi oportunistik (Merati dan Samsuridjal, 2006).
Sekumpulan gejala timbul akibat suatu reaksi inflamasi setelah pengunaan
ARV, sindrom ini dikenal dengan immune reconstitution inflammatory syndrome
(IRIS). Respon inflamasi ini terjadi sebagai akibat adanya kesalahan dalam regulasi
sistem imun dan meningkatnya antigen yang dipresentasikan CD4 karena
peningkatan kadar CD4 dan menurunnya jumlah virus (viral load). Kesalahan
mekanisme imunologi terjadi karena adanya perubahan fungsi limfosit atau
perubahan ekspresi fenotipenya. Peningkatan CD4 memori untuk mengenal antigen
yang sama sehingga reaksi inflamasi terjadi lebih hebat untuk membunuh antigen
yang beredar hampir diseluruh tubuh (Murdoch dkk., 2007).
Infeksi oportunistik diperkirakan 30-50% terjadi pada penderita AIDS,
yang berkembang menjadi toksoplasmosis serebri (Pokdisus, 2005).
2.3 Biologi Toxoplasma Gondii
Toxoplasma gondii merupakan protozoa obligat intrasel yang termasuk dalam
subfilum Apicomplexa, kelas sporozoasidea, genus Coccidia terdiri dari 3 fase
perubahan bentuk (ookista, takisoit, kista jaringan atau bradisoit). Ciri khas dari
parasit ini adalah hidup intrasel dalam sel hospes pada vakuola sitoplasma sel yang
berinti, mampu mengisi sesuai dengan karakteristik struktur sel yang diinfeksi
dengan kompleks sistoskeletal serta organellanya (Wei dkk.,2002; Viqar,1997).
28
Siklus hidup T.gondii mengalami perkembangan secara seksual dan aseksual.
Siklus seksual atau siklus enteroepithelial terjadi di dalam usus hospes primer
(definitif) yaitu golongan Felidae (kucing, harimau) dan siklus aseksual berkembang
pada manusia dan binatang mamalia lainnya (hospes sekunder) yang disebut juga
siklus ekstra intestinal (gambar 2.1) (Black dan Boothroyd, 2000).
Gambar 2.1
Siklus Hidup Toxoplasma gondii (Black dan Boothroyd, 2000).
Bentuk sporosoit, kistosoit adalah bentuk infektif apabila tertelan oleh host
difinitif kemudian masuk ke epitel usus dan terjadi pembiakan aseksual dalam bentuk
merosoit. Siklus ini dapat berulang hingga 5 kali dan akhirnya sebagian merosoit
berkembang menjadi gametogoni untuk memulai siklus seksual. Makrogamet
(betina) dibuahi oleh mikrogamet (jantan) menghasilkan zigot selanjutnya menjadi
ookista. Ookista mengandung 2 sporokista yang di dalamnya terdapat 4 sporosoit
relatif tahan terhadap lingkungan luar (gambar 2.2)(Viqar, 1997).
29
Gambar 2.2
Siklus Seksual dalam Usus Kucing (Viqar, 1997).
Ookista bentuknya bulat (9 x 13 µm), setelah matang dikeluarkan bersama
tinja kucing setelah 20-24 hari dari mulai terjadinya infeksi, dapat berlangsung
hingga 1-3 minggu. Setiap hari dapat dikeluarkan 10 juta butir ookista selama 2
minggu. Kista menjadi matang apabila lingkungan sekitar memungkinkan, sporulasi
terjadi sangat cepat pada suhu tinggi (24oC) selama 14-21 hari, suhu 11oC selama 2-3
hari dan tidak terjadi sporulasi pada suhu < 4oC atau > 37oC. Ookista mati pada suhu
45-55oC, dikeringkan atau bercampur formalin, amonia dan iodium. Didalam tanah
lembab ookista bertahan hidup beberapa bulan hingga satu tahun (gambar 2.3)(Black
dan Boothroyd, 2000).
30
Gambar 2.3.
Siklus Hidup T.gondii dalam Host Difinitif (Black dan Boothroyd, 2000).
Perkembangan siklus aseksual terjadi pada manusia dengan tertelannya
ookista atau memakan daging mengandung kista atau pseudokista yang dimasak
tidak matang. Bentuk aseksual pada manusia atau bintang (hospes sekunder) tidak
terbentuk di sel epitel usus. Merosoit dari hasil biakan aseksual, masuk kedalam
limfe dan peredaran darah membentuk pseudokista dan kista dalam berbagai alat
dalam badan manusia sebagai bentuk akhir, apabila dalam kondisi imunokompeten.
Perkembangan merosoit dari fase aseksual adalah bentuk takisoit (trofosoit)
merupakan bentuk invasif aseksual sepanjang fase akut, bentuk takisoit yang
ditemukan dalam makrofag dan sel hospes lainnya. Mampu memperbanyak diri
secara cepat dalam sitoplasma (parasitophorus vakuola) dengan cara membelah diri
31
tiap 6-8 jam intraseluler (in vitro), sel yang terinfeksi akan mengalami lisis dan
takisoit keluar menginfeksi sel sekitarnya, tiap sel berisikan penuh 64 hingga 128
parasit (Dubey, 2010).
Takisoit mati bila dipanaskan, didinginkan, dilarutkan atau terpapar asam
pencernaan disaluran cerna. Takisoit berbentuk seperti bulan sabit, salah satu ujung
anteriornya meruncing dan ujung lainnya bulat lonjong seperti pentungan. Memiliki
beberapa organela sekretori regulasi (apical micronemes) yang bentuknya sangat
kecil seperti alur benang, organela yang berpasangan yang terletak pada ujung
anterior takisoit disebut rhoptries yang berguna sebagai pembuat enzim untuk dapat
masuk ke sel hospes yang dibantu dengan dense granule yang tersebar diseluruh
bagian parasit (gambar 2.4) (Black dan Boothroyd, 2000).
Gambar 2.4
T.gondii Stadium Takisoit (Dubey, 2010).
32
Setelah proses perlekatan pada sel host, rhoptries akan dikeluarkan untuk
memulai proses invasif ke dalam sel. Rhoptries dibantu oleh kerja struktur
sitoskeleton yang sangat komplek, terdiri dari makromolekuler berbentuk kotak
membulat yang disebut preconoidal rings (CR), dua buah apical microtubulus (M),
conoid (C), polar ring (PR) dengan 22 buah subpellicular microtubulus (SPM) yang
menyediakan segala kebutuhan parasit dan sebagai jembatan penghubung sehingga
memungkinkan dense granule secara bebas dapat masuk ke dalam sel host,
mekanisme ini belum sepenuhnya dapat dimengerti.
Proses masuknya dense granule mempergunakan protein sebagai sumber
energi dan pergerakan motilitas amuba sangat tergantung kerja actomyosin motor.
Fungsi mikrofilamen aktin mengaktifkan kerja motor miosin dan diperkirakan
memerlukan waktu 1 hingga 10 µm/s untuk menginvasi sel (gambar 2.5) (Black dan
Boothroyd, 2000).
Gambar 2.5
Perlekatan Trasmembran Protein Dengan Ekstrasel Ligans dan Fungsi Actomyosin
(Black dan Boothroyd, 2000).
33
Proses endodiogeni merupakan proses proliferasi dengan memperbanyak
diri pada fase aseksual dilakukan dengan cara belah pasang, terjadi perubahan awal
ukuran nukleus yang berubah dan nampak kresentrik, kemudian diikuti dengan
berkembangnya konoid di bagian anterior pada 2 kutub dari nukleus yang kresentrik,
nukleus mulai membelah dan konoid membesar, dua anak parasit yang lengkap
muncul di dalam induknya selanjutnya induk parasit memisahkan diri mengeluarkan
takisoit. Mekanisme tersebut dapat dilihat secara jelas melalui mikroskop elektron
(gambar 2.6) (Viqar, 1997).
Gambar 2.6
Endodiogeni T.gondii (Viqar, 1997).
Pergerakan takisoit aktif didalam darah dan limfe hingga memasuki sel
sekitarnya dapat dilihat secara in vitro, mempergunakan kontras mikroskopi atau
dilihat secara tidak langsung dengan mendeteksi protein permukaan molekul sel yang
sebagian besar mengandung protein SAG-1, khusus terdapat pada takisoit.
Protein SAG-1 merupakan antibodi spesifik antigen takisoit yang
memberikan imunofluorensi membentuk alur sesuai pergerakan pada daerah
perlekatan antara permukaan sel dengan sepanjang badan parasit. Alur ini berbentuk
bulan sabit, melingkar sesuai bentuk skleleton dan masuk melewati sel yang bergerak
34
sepanjang sumbu panjang sel hingga proses invasif selesai. Proses selanjutnya
takisoit dengan cepat menginvasi ke sel sekitarnya dengan konoid langsung melekat
masuk ke sel hospes, sel pertama yang diinvasi yaitu sel makrofag, kemudian
bereplikasi dan membelah diri secara cepat, selanjutnya menginfeksi sel sekitarnya.
(gambar 2.7) (Black dan Boothroyd, 2000).
Gambar 2.7
Takisoit Masuk ke Makrofag, M=makrofag, C=konoid, P= pseudopodia
(Viqar, 1997).
Mekanisme ini terjadi berulang, takisoit yang sangat aktif dengan sempurna
menginvasi sel hospes dalam waktu ± 10 detik, detik ke-0 nampak takisoit melalui
konoid menempel permukaan sel hospes, selanjutnya mulai detik ke-3 rhoptries
dijulurkan mengeluarkan sekret penuh berisi enzim yang dihasilkan oleh organela
membentuk vesikel kosong selanjutnya enzim tersebut dikeluarkan penuh sehingga
memudahkan proses invasi, pada detik ke-6 separuh badan parasit telah memasuki
sel hospes hingga masuk sempurna pada menit ke-10 (gambar 8) (Black dan
Boothroyd, 2000).
35
Gambar 2.8
Invasi T. gondii Melalui Vakuola Rhoptries , MJ= moving junction
(Black dan Boothroyd, 2000).
Imunitas tubuh yang baik menghambat perkembangan parasit dengan
melisiskan takisoit ekstraseluler membatasi metabolisme menjadi kista. Kista dalam
tubuh terdapat pada seluruh organ, terutama otak, otot jantung dan otot skelet. Relatif
tahan terhadap cairan pencernaan usus sehingga mampu menginfeksi apabila daging
terkontaminasi kista dimakan mentah atau tidak dimasak dengan baik.
Kista jaringan ini dapat mati apabila terkena radiasi (>25 rad),dipanaskan
pada suhu >61oC selama 4 menit dan didinginkan sampai suhu -20oC selama 24 jam.
Kista dan menjadi reaktif kembali apabila suatu saat terjadi penurunan imunitas
(Dubey, 2010).
36
2.3.1 Genome dan Struktur Antigen.
Inti sel T.gondii berbentuk haploid kecuali selama fase seksual di usus halus
kucing yang menghasilkan sporosoit dari siklus miosis sesuai dengan Mendilian
laws. Total haploid genome terdiri dari 14 kromosom dan 7793 gen, panjang total
8x107 base pairs (bp) dan a 36 kilobase (kb) dengan asam deoksiribonukleat (DNA)
yang sirkuler dan telah disequencing (Ossorio dkk., 1991). Kromosom telah
diidentifikasi dengan elektroforesis gel dan bentuk molekul karyotipnya dengan
deretan gennya telah diketahui (Sibley dan Boothroyd, 1992).
Gen tubulin pada kedua intronnya, hanya gen B1 saja yang selalu secara
konsisten dapat ditemukan pada setiap pemotongan dan pengulangan sequencing
(Burg dkk., 1989). Ribosomal asam Ribonukleat (rRNA) memiliki ukuran dan
subunit kecil yang sama dengan filogenetik lainnya. Berdasarkan metode restriction
fragment legth polymorphism (RFLP) T.gondi dapat diklasifikasikan berdasarkan
tiga jenis genetiknya dan berhubungan dengan virulensinya (Dubey, 2010).
Gel elektroforesis telah mampu mengidentifikasi lebih dari 1000 titik untuk
melabel takisoit setelah titik 35S methionine, hal ini mencerminkan adanya
perbedaan protein. Protein spesifik di presentasikan pada tiap stadium (bradisoit,
takisoit, ookista) (Kasper dan Ware, 1989). Antigen terbentuk saat mulai
menempelnya takisoit pada sel host, saat penetrasi takisoit ke sel host dan vakuola
parasitoporus bekerja menghasilkan enzim dan antibodi sel host akan
mempresentasikan sebagai antigen (gambar 2.9) (Joynson dan Wreghitt, 2001).
37
Gambar 2.9
Antigen Toxoplasma gondii ( Joynson dan Wreghitt, 2001).
2.3.2 Virulensi dan Strains
Metode RFLP digunakan untuk mengidentifikasi genome DNA yang berbeda
dari T.gondii, di isolasi dari berbagai host dan diantara organisme dengan filogenetik
yang sama dengan T.gondii. Perbedaan strain T.gondii dari isolasi yang berbeda ini
telah dipublikasikan secara luas dengan metoda elektroforesis isoenzim dan
immunologi (Ware dan Kasper, 1987).
38
Strains yang virulen dapat dibedakan dengan yang tidak virulen dari aktifitas
parasit dengan monoklonal antibodi (Gross dkk., 1991; Bohne dkk., 1993). Strain
virulen memiliki pola fragmen pendek, sedangkan yang tidak virulen polimorfik
(Sibley dan Boothroyd, 1992). Metoda random amplified polymorphic DNA
(RAPD), digunakan sebagai primer untuk membedakan strain virulen dan tidak
virulen yang diisolasi pada tikus (Guo dkk., 1997).
Berdasarkan metoda RFLP, T.gondii diklasifikasikan berdasarkan atas tiga
tipe genetik (I, II, III) yang berhubungan dengan virulensinya pada tikus. Tipe I yang
diisolasi pada tikus, 100% menyebabkan kematian pada tikus sedangkan tipe II dan
III tidak virulen, beberapa penelitian telah dilakukan dan dilaporkan strain T.gondii
sesuai dengan tempat isolasinya. Strains RH merupakan nama inisial dari seorang
laki laki yang menderita toksoplasmosis serebri dan dilakukan biopsi kemudian
diketahui sangat virulen (tipe I), biopsi pada otak manusia baik dengan atau tanpa
gejala toksoplasmosis serebri didapatkan keseluruhan tipe I, biopsi jaringan plasenta
dan dari ibu yang terinfeksi toksoplasmosis didapatkan tipe III, biopsi jaringan tubuh
anak dengan toksoplasmosis yang didapat secara transplasenta adalah tipe II dan III,
biopsi dari jaringan bronkoalveoli manusia dewasa dengan toksoplasmosis tipe I, II,
III, sedangkan biopsi dari otak manusia dengan AIDS tipe I dan II dan biopsi pada
hewan definitif (kucing) didapatkan tipe I, III, biopsi jaringan kambing tipe II, dari
pemeriksaan darah tepi manusia yang imnokompeten didapatkan tipe I, II, III
(gambar 2.10 A,B) ( Dubey, 2010).
39
Gambar 2.10
(A,B). Strain T.gondii pada Beberapa Isolasi (Dubey, 2010).
A
B
40
2.4 Patogenesis Toksoplasmosis Serebri.
Kasus infeksi T.gondii pada manusia biasanya terjadi melalui jalur oral atau
transplasenta dan sangat jarang melalui transfusi darah maupun transplantasi organ.
Kebiasaan mengkonsumsi daging mentah atau tidak dimasak dengan baik
mengandung kista viabel, air dan sayuran yang terkontaminasi ookista merupakan
alur primer penularan melalui oral. Manusia adalah host sekunder untuk T.gondii,
sedangkan kucing adalah host definitif. Kucing terinfeksi menyebarkan penyakit
ketika mengeluarkan ookista melalui kotorannya. Ketika kista jaringan mengandung
bradisoit atau ookista tertelan manusia, kista terlepas oleh enzim pencernaan usus
halus, sporozoit dilepaskan masuk ke sel epitel usus halus dan sebagian mati oleh
karena proses fagositosis dan sebagian lagi melanjutkan perkembangannya menjadi
trophozoit atau takisoit (Joynson dan Wreghitt, 2001).
Sporozoit yang terlepas dapat menghindari sistem imun tubuh pertama oleh
karena memiliki mantel lamina dan matrik protein ekstraseluler yang dapat
mencegah fagositosis dan kerusakan oksidatif Aminoff dkk, (2007), walaupun saat
ini respon imunitas seluler terhadap toksoplasma sangat efektif namun pada
seseorang dengan imunokompremis (AIDS), sistem ini tidak mampu bekerja secara
optimal. Seiring menurunnya kadar CD4 menyebabkan kista yang awalnya bersifat
laten akan mengalami perubahan fase (gambar 2.11) (Joynson dan Wreghitt, 2001).
41
Gambar 2.11
Infeksi T.gondii Pada Manusia (Joynson dan Wreghitt, 2001).
Kista di jaringan otak mengandung banyak bradisoit (kista jaringan otak
dengan daya replikasi sangat rendah), akan mengalami perubahan fase menjadi
takisoit dalam kista (pseudokista) yang mempunyai aktivitas pembelahan sangat
cepat, aktif dan invasif. Perkembangan selanjutnya takisoit atau trophozoit akan
mengalami replikasi secara cepat sehingga mengisi seluruh sel glial otak (Black dan
Boothroyd, 2000; Viqar, 1997).
42
Proses takisoit menembus masuk ke sel glial, menempel pada permukaan sel
hospes kemudian membentuk vakuola, pengeluaran enzim dari roptri sehingga
mempermudah menembus kedalam sel hingga sempurna dalam waktu ± 10 detik.
Selanjutnya bereplikasi sangat cepat mengisi seluruh sel glial hingga penuh
menyebabkan sel pecah dan parasit bersporulasi menginfeksi sel jaringan otak
sekitarnya. Takisoit yang baru terbentuk akan menyebar dan segera mengaktivasi
sistem imunitas tubuh ditangkap oleh makrofag dan limfosit yang merupakan sistem
imun diluar sistem saraf pusat (SSP) (Dubey, 2010).
Sitokin yang dihasilkan oleh sel astrosit dan mikroglia seperti IL-1, IL-6,
Tumor Necrosis Factor α (TNFα) dan Tumor Growth Factor ß (TGF-ß) dan sitokin
yang dihasilkan oleh oligodendrodit seperti IL-1, dan TGF- ß, sel-sel tersebut
merupakan komponen sistem imun dalam otak (SSP) yang bekerja untuk
menghancurkan dan menghambat perkembangan parasit (Dubey, 2010). Astrosit dan
mikroglia memproduksi TNFα yang memodulasi ekspresi MCH-I dan MCH-II yang
ditemukan pada beberapa jenis sel SSP. Interferon gamma (IFN-γ) diproduksi oleh
sistem imun di SSP maupun diperifer dan INF-γ inilah yang kerjanya diduga sebagai
penghubung antara SSP dan sistem imun diseluruh tubuh (gambar 2.12) (Karnen,
2006).
Gambar 2.12
Produksi Sitokin Oleh Sistem Imun Perifer (A)
danSistem Imun Saraf (B) (Karnen, 2006).
43
Lesi di otak menjadi lebih berat dan permanen akibat destruksi jaringan oleh
karena ploriferasi takisoit, mengakibatkan sel otak mengalami kematian atau
nekrosis (Claudia dkk., 2003). Mekanisme kematian sel glia secara morfologi terdiri
dari dua mekanisme yaitu, apoptosis dan nekrosis. Sebagai akibat proses integrasi
antigen antibodi. Kedua mekanisme sel ini pada awalnya diakibatkan oleh suatu stres
oksidatif sebagai pemicu awalnya, namun proses kematian sel selanjutnya sangat
berbeda. Takisoit menginduksi terjadinya proses infiltrasi inflamasi sel mikroglia
untuk menginduksi IFN-γ selanjutnya menghasilkan Nitrit Oksida (NO) sebagai stres
oksidatif yang merusak mikondria sel. Sitokin proinflamasi dalam otak IL-1 dan
TNFα merangsang Apaf-1 mengaktifkan caspase untuk terjadinya apoptosis yaitu
kematian sel tipe-1, selanjutnya terjadi kematian sel tipe-2, cytoplasmic autophagig
vakuola dalam lisosom yang merusak intraseluler yang merusak nukleus dan
sitoplasma sebagai penetrasi takisoit dalam target nukleus sehingga kematian sel tipe
-3 yang dikenal dengan nekrosis terjadi. Nekrosis ditandai dengan kariolisis dan
edem sel sehingga terjadi pembengkakan dan hilangnya plasma serta integritas
membran (Jorge dkk, 2000). Keluaran radikal bebas Nitrit Oksida (NO) dalam
jumlah tinggi menimbulkan gejala serebral melalui hambatan neurotransmisi
(Denkers dan Gazzinelli, 1998).
Pada penelitian binatang percobaan, predileksinya selalu tampak pada
substansia grisea dari kortek serebri, lebih dalam lagi ke ganglia basalis dan daerah
periventrikuler. Keadaan AIDS menyebabkan respon perlawanan terhadap T.gondii
sangat lemah, tidak mampu membatasi perkembangan parasit. Sifat parasit yang
obligat intraseluler memperburuk keadaan, dimana parasit masuk secara intraseluler
44
kemudian dengan mudah menyebar keseluruh tubuh secara hematogen dan limfogen.
Parasit dapat masuk menembus sawar darah otak yang memperberat infeksi
disamping oleh reaktivasi dari kista jaringan yang memang sebelumnya berada di
jaringan otak. Pada saat takisoit menyebar dalam darah terjadi parasitemia yang
berlangsung beberapa hari. Takisoit beredar dalam sirkulasi akan difagosit oleh
makrofag. Takisoit mempunyai kemampuan menghambat fusi fagosom dan lisosom,
sehingga terhindar dari enzim lisosom yang dapat membunuhnya. Kondisi sistem
imun rendah menyebabkan takisoit tetap dapat berkembang dalam makrofag dan
justru secara aktif menginvasi sel makrofag untuk membelah diri dalam fagosom,
selanjutnya makrofag pecah mengeluarkan banyak takisoit baru dan siap menginfeksi
sel host lainnya melalui proses endodiogeni (Gambar 2.13) (Viqar, 1997).
Gambar 2.13
Makrofag Ruptur yang telah Mengeluarkan Takisoit
Stadium ini disebut Pseudokista
(Viqar, 1997).
45
Gambaran toksoplasmosis serebri secara histopatologi nampak disekitar sel
dipenuhi takisoit yang kelilingi sel mononuklear dan makrofag serta terjadi inflamasi
perivaskuler selanjutnya menjadi vaskulitis dan nekrosis. Timbul lesi membesar
semakin lama menjadi lunak berupa eksudasi limfosit dan plasma, jaringan nekrosis
pada leptomeningeal secara difus, granuloma menimbulkan dilatasi ventrikel akibat
oklusi aquaduktus, pembentukan abses dikelilingi banyak takisoit, ensefalitis,
kalsifikasi menimbulkan gejala lesi desak ruang (gambar 2.14.A,B,C,D,E )
(Dubey, 2010).
Gambar 2.14
(A) Dua Buah Takisoit didalam Kapiler Endotelium (B).Vaskulitis
denganSebuah Takisoit (C). Fokus pada Pusat Nekrosis dengan Gliosis di sekitarnya
46
(D). Nodul Glial yang dikelilingi dengan Kista T.gondii (E). Perivaskulitis dan
Gliosis tanpa adanya Takisoit (Dubey, 2010).
Seseorang dengan sistem imun baik akan terjadi perangsangan respon imun
oleh takisoit, teraktivasi sel limfosit T membentuk limfosit T sitotoksik, antibodi anti
parasit menginduksi makrofag dan sel dendritik menghasilkan IL-12, serta
mempresentasikan antigen dan mengaktifkan sitokin proinflamasi lainnya untuk
mengaktifkan sel T dan natural killer (NK) memproduksi IFN–γ mengaktifkan
imunitas humoral (gambar 2.15) (Joyson dan Wregitt, 2010).
Gambar 2.15
Terbentuknya Imunitas Tubuh Saat Terinfeksi T.gondii
(Joyson dan Wregitt, 2010).
Limfokin spesifik antigen ini mampu membunuh baik parasit ekstraseluler
maupun sel target yang terinfeksi oleh parasit. Keadaan ini membatasi perkembangan
parasit menjadi bentuk aktif (takisoit), dan untuk tetap dapat bertahan hidup parasit
membentuk kista agrofilik dalam jaringan host. Kista jaringan yang mengandung
bradisoit apabila tetap utuh tidak mengalami degenerasi maupun pecah diotak
sehingga tidak akan menimbulkan reaksi inflamasi (Viqar, 1997).
47
Infeksi tetap terjadi namun tidak mengalami perkembangan menjadi laten dan
subklinis. Sifat laten disebabkan karena keadaan seimbang antara imunitas hospes
yang adekuat mengendalikan pertumbuhan atau replikasi parasit dengan ketidak
mampuan mengeleminasi total parasit dalam sel. Keadaan dalam keseimbangan
merupakan situasi yang ideal dimana hospes dapat mempertahankan kekebalan
spesifiknya karena stimulasi terus menerus sel memori oleh parasit. Sedangkan
parasit bisa tetap hidup tanpa diganggu oleh kemungkinan bertambahnya jumlah
parasit dalam sel yang dapat merugikan parasit dan dapat membunuh sel hospes
ditinggalinya. Keadaan seimbang ini tidak selalu stabil tergantung keadaan sistem
imun, suatu waktu dapat terjadi keadaan patologis pada hospes yang dapat
menyebabkan reaktivasinya parasit (Dubey, 2010).
Penderita AIDS yang terjadi kegagalan mempertahankan keadaan seimbang
antara hospes dan parasit oleh karena terserangnya CD4 sehingga kemampuan
pengenalan antigen yang depresentasikan bersama Major Histocompatibilitas
Complex (MHC-II), oleh Antigen Presenting Cell (APC) yang berkembang menjadi
sel efektor Th1 menurun sehingga sekresi IFN-γ menurun dan terjadi penurunan
fungsi imunitas seluler fagosit/makrofag secara menyeluruh menurun (gambar 2.16)
(Denkers dan Gazzinelli,1998).
48
Gambar 2.16.
Efektor CD4+ dan CD8+ (Denkers, 1998).
Sistem imun ini yang sangat berperan dalam terjadinya reaktivasi T.gondii .
Pada host yang imunokompeten cell mediated immunity (CMI ) atau sel T CD8+ / sel
T cytotoxic (Tc) memiliki peranan yang penting dalam mengendalikan infeksi
interaseluler toksoplasma akut. Sel Tc mengenal peptida antigen dalam sitoplasma
sel terinfeksi yang diikat molekul MHC-I yang ditemukan pada semua sel tubuh
bernukleus dengan menghancurkan sel yang terinfeksi tersebut (Karnen, 2006). Kista
jaringan di sel glial pada pasien AIDS akan mengalami degenerasi dan terjadi
perkembangan fase, kista yang mengandung bradisoit berubah menjadi bentuk
takisoit yang aktif dan invasif. Perkembangan kista laten inilah yang merupakan
sumber infeksi baru toksoplasmosis pada pasien AIDS dan bertanggung jawab untuk
terjadinya toksoplasmosis serebri (Dubey, 2010).
Pada pasien AIDS terjadi keadaan defisiensi imun yang disebabkan oleh
defisiensi secara kualitatif dan kuantitatif yang progresif dari subset limfosit T yaitu
T helper (Th1). Subset sel T digambarkan secara fenotip oleh ekspresi pada
permukaan sel molekul CD4 yang bekerja sebagai molekul sel primer pada penderita
HIV (Merati dan Samsuridjal, 2006)). Setelah beberapa tahun, jumlah CD4 akan
mengalami deplesi dan menurun dibawah level kritis ≤ 100 sel/mL, pasien sangat
49
rentan terhadap infeksi oportunistik seperti infeksi laten T.gondii akan menjadi aktif
kembali (Pokdisus, 2005).
Imunitas seluler menjadi sangat penting dalam mengontrol infeksi T.gondii
dengan bantuan imunitas humoral. Makrofag dan sel dendritik yang teraktivasi oleh
adanya takisoit akan memproduksi IL-12 dan sinyal sel T seperti ligan CD140
(CD40L) yang mengikat atau mengekspresikan CD40. IL-12 bekerja terhadap
limfosit dan sel NK untuk merangsang produksi IFN–γ dan aktifitas sitolitik untuk
menyingkirkan takisoit intraseluler. Mekanisme terjadinya infeksi T.gondii pada
pasien AIDS sifatnya multipel. Mekanisme ini termasuk penurunan kadar CD4,
gangguan produksi IL-12 dan IFN-γ serta sel CD40L (CD140) yang mengikat CD40
menurun, sehingga infeksi T.gondii yang laten dapat teraktivasi (Zubairi dan
Samsuridjal, 2006).
Penelitian terdahulu mengenai T.gondii dilaporkan bahwa kemampuan dan
peranan sel CD4+ untuk melawan infeksi T.gondii sangat jelas. Walaupun pada
seseorang dengan fungsi sel T kurang, namun gejala tidak akan timbul secara
menyeluruh, hal ini diyakini karena virulensi dari strains T.gondii yang berbeda
(Pohan, 2006).
2.5 Respon Imunologis Toksoplasmosis
2.5.1 Peranan mediasi sel T
Subset sel T terdiri atas sel CD4, CD8, dan sel Natural Killer (NK) dan
lymphokine activated killer (LAK) dalam mekanisme protektif. Sel T CD8 bersifat
sitotoksik terhadap sel yang terinfeksi T.gondii dapat mengenal antigen yang
dipresentasikan oleh molekul MHC-I, molekul ini ditemukan pada semua sel tubuh
yang bernukleus (Dubey, 2010).
Fungsi sel T CD8 adalah melisiskan sel yang terinfeksi oleh T.gondii dengan
merangsang sekresi sitokin seperti IFN-γ. Sedangkan sel T CD4 mengenal antigen
50
yang diikat MHC-II oleh APC (sel dendritik, makrofag), memproduksi IFN-γ dan IL-
12 dan merangsang diferensiasi CD4 berkembang menjadi subset Th1. Takisoit
sebelum memasuki makrofag, akan merangsang aktivasi makrofag, sel dendritik dan
oleh sinyal sel T naif seperti ligan CD40 (CD40L) yang mengikat CD40 untuk
memproduksi IL-12 (Karnen, 2006; Dubey, 2010).
Sel T naif adalah sel limfosit yang meninggalkan timus dan belum terpajan
antigen) sehingga belum terjadi diferensiasi. Sel T naif akan berdiferensiasi menjadi
sel Th0 yang selanjutnya dapat berkembang menjadi sel efektor Th1 dan Th2. Kedua
efektor tersebut dapat dibedakan berdasarkan sitokin yang diproduksinya (gambar
2.17) (Karnen, 2006).
Gambar 2.17
Fungsi Subset Sel T Naif / (Th0) berdeferensiasi
Menjadi Th1 dan Th2 (Karnen, 2006).
Interleukin-12 bekerja terhadap limfosit dan sel NK untuk merangsang sel T
CD40 untuk berdeferensiasi menjadi subset CD4+ aktif, yaitu Th1 dan memproduksi
IFN–γ untuk mengaktifasi makrofag dan memusnahkan takisoit intraseluler yang
51
sudah difagositosis. IL-12 juga merangsang aktifitas sitolitik melalui kerja sel T CD8
untuk menghasilkan IFN–γ, kemudian mengaktifkan kerja makrofag dan proses
sitolitik ditingkatkan bekerja bersama dengan sel NK untuk menyingkirkan takisoit
intraseluler dan sel terinfeksi (Karnen, 2006). Penelitian mempergunakan binatang
coba (tikus), yang telah diinfeksikan T.gondii melalui peroral dan ada yang
diinjeksikan, nampak pada hari ke -7 respon sel T di berbagai organ ( usus halus,
hati, otak). Tubuh mengadakan reaksi terhadap antigen T.gondii, subset sel T yang
paling berperan adalah sel CD4, yang bekerja menginduksi CD8 untuk bekerja di
tingkat seluler melawan T.gondii. Penelitian ini menggunakan kadar CD40, untuk
mengevaluasi aktivasi sel T, dari hasil histopatologi menunjukkan sel villi ileum
tikus hancur dan nekrosis serta adanya infiltrasi limfosit ke dalam lamina propria
(gambar 2.18 A, B), hasil patologi sel hati tikus pada hari ke -7 tampak perubahan
bentuk sel hati dengan degenerasi lemak yang sedikit namun tampak adanya fokal
nodul limfosit hal ini membuktikan adanya reaksi akut infeksi T.gondii (gambar 18.
C,D), hasil patologi sel otak tikus pada hari ke-7 tampak sel mikroglia mengalami
nekrosis dan infiltrasi limfosit hampir pada seluruh sel otak dan terdapat takisoit
(gambar 2.18 E,F) keseluruhan tikus sebagai binatang coba didapatkan tingginya
respon imun Th1 untuk T.gondii ( Lori dkk., 2002).
52
Gambar 2.18
Patologi Tikus yang Diinfeksikan Peroral T.gondii (A,C,E) dan yang
Diinjeksikan T.gondii (B,D,F) pada Sel Usus (ileum), Hati, Mikroglia.
Selanjutnya melalui kerja makrofag (sel glial) di otak akan mengaktifkan
sitokin (IFN-γ dan TNFα) yang berperan sangat penting dalam mengontrol
perkembangan replikasi takisoit dalam kedua fase baik akut maupun kronis. IL-10
dan IL-12 berperan pada fase akut dan menjadi kurang berperan setelah fase kronis.
Pasien AIDS sistem imunitas yang berperan dalam merespon T.gondii yang reaktif
kembali adalah Th1 (CD4) yang mana akan memproduksi IFN-γ ( Karen, 2006).
2.5.2 Peranan Respon Imun Toksoplasmosis pada HIV/AIDS
Sel limfosit T CD4 merupakan target utama dalam infeksi HIV. Pada mulanya
sistem imun dapat mengendalikan infeksi HIV, namun dengan berjalannya waktu
secara kronis progresif HIV akan menimbulkan penurunan jumlah sel limfosit CD4
yang berdiferensiasi menjadi Th1, keadaan seperti ini akan menimbulkan gejala
berbagai penyakit secara luas. Sel T mempunyai peranan sentral dalam mengatur
sistem imunitas tubuh. Bila teraktivasi oleh antigen, sel T akan merangsang baik
respon imun seluler maupun respon imun humoral. Namun yang terutama sekali
mengalami kerusakan adalah respon imunitas seluler. Pada HIV akan terjadi
53
gangguan jumlah maupun fungsi Th1, yang menyebabkan hampir keseluruhan
respon imunitas tubuh tidak berlangsung normal (gambar 2.19) (Karnen, 2006).
Gambar 2.19
Kerjasama CD4+ dan CD8+ dalam Menyingkirkan
Parasit Intraseluler (Karnen, 2006).
Apabila kadar CD4 mulai turun ke level kritis ≤ 200 sel / mL maka mulai
timbul infeksi oportunistik dengan berbagai macam jenis penyakit, pada level CD4 ≤
100 sel /mL infeksi toksoplasmosis menjadi reaktif (gambar 2.20) (Pokdisus, 2005).
Perjalanan penyakit dan infeksi oportunistik pada penderita AIDS (gambar 2.21)
(Karnen, 2006).
54
Gambar 2.20
Hubungan Infeksi Oportunistik dan CD4 (Pokdisus, 2005).
Gambar 2.21
Perjalanan Klinis Penyakit AIDS (Karnen, 2006).
2.5.2.1 Abnormalitas pada Sistem Imunitas Seluler
Untuk mengatasi parasit intraseluler seperti pada infeksi toksoplasmosis
diperlukan adalah respon imunitas seluler atau CMI. Fungsi ini dilakukan oleh sel
makrofag dan CTLs (cytotoxic T lymphocyte atau Tc ) dan teraktivasi oleh sitokin
yang dilepaskan oleh limfosit CD4. Makrofag mencerna mikroba (takisoit) yang
55
dimakannya dalam vesikel (fagosom), namun beberapa takisoit dapat terlepas dan
masuk kedalam sitoplasma. Sel CD4 + akan mengenal antigen yang berasal dari
parasit vesikuler dan mengaktifkan makrofag untuk membunuh parasit dalam
vesikel. CD8 + mengenal parasit dalam sitoplasma dan memusnahkan parasit dengan
jalan membunuh sel yang terinfeksi (gambar 2.22) (Karnen, 2006).
Gambar 2.22
Interaksi CD4 dan CD8 dalam Imunitas Seluler (Karnen, 2006).
Sel CD8+ atau CTL mengenal peptida parasit dalam sel terinfeksi dalam
kompleks MHC-I. Molekul adhesi seperti integrin, menstabilkan ikatan CTL dengan
sel terinfeksi, CTL diaktifkan dan mengeksositosis isi granul dan menimbulkan
lethal hit sel sasaran. Isi granul berupa perforin membentuk lubang kecil di
membran sel sasaran dan granzim (enzim protease serin) yang ditemukan dalam
granul CTL dan sel NK masuk sel sasaran. CTL juga melepas TNF yang menekan
sintesis protein. Aktifitas CTL akan meningkatkan Fas ligan (FasL) pada permukaan
56
sel terinfeksi . Protein Fas pada membran CD8 + akan bereaksi dengan FasL pada
membaran sasaran yang menginisiasi apoptosis ( gambar 2.23) (Karnen, 2006).
Gambar 2.23.
Mekanisme CD8 + atau CTL Membunuh Sel Terinfeksi ( Karnen, 2006).
Namun mekanisme ini tidak dapat berjalan normal pada infeksi HIV oleh
karena terjadi penurunan fungsi sel Th, kemampuan makrofag untuk memfagositosis
dan kemoktasis menurun, kemampuan sel Tc (sitotoksik) untuk menghancurkan sel
terinfeksi menurun serta kerja NK untuk menghancurkan secara langsung antigen
asing juga menurun, keseluruhan mekanisme ini tidak dapat bekerja dengan optimal
sebagaimana fungsinya sehingga berperan sangat penting dalam reakivasi infeksi
laten T.gondii untuk menjadi toksoplasmosis serebri pada AIDS (Karnen, 2006).
57
2.5.2.2 Abnormalitas pada Sistem Imunitas Humoral.
Imunitas humoral adalah imunitas dengan pembentukan antibodi oleh sel
plasma yang berasal dari limfosit B, sebagai akibat sitokin yang dilepaskan oleh
limfosit CD4 yang teraktivasi. Sitokin IL-2, BCGF (B cell growth Factors) akan
merangsang limfosit B tumbuh dan berdiferensiasi menjadi sel plasma. Dengan
adanya antibodi diharapkan akan meningkatkan daya fagositosis dan daya bunuh sel
makrofag dan neutrofil melalui proses opsonisasi. Pada awal infeksi toksoplasmosis
Ig M muncul terlebih dahulu sebagai respon imun terhadap antigen yang diikuti
pengalihan ke produksi Ig G atau antibodi kelas lain (Ig A, Ig E). Keadaan ini
tergantung dari sinyal sel Th yang memerlukan ikatan dengan ligan CD40 (CD154)
di permukaan sel T, dan dengan CD40 pada sel B. Sitokin yang dihasilkan oleh sel T
juga berperan dalam pengalihan kelas Ig. Sel B dalam keadaan normal apabila
dirangsang oleh antigen atau atas pengaruh CD40L dan sitokin akan berdiferensiasi
menjadi sel yang mensekresi Ig M, dan sebagian akan berdiferensiasi menjadi sel Ig
yang berantai berat (Karnen, 2006).
Infeksi HIV menyebabkan terjadinya stimulasi limfosit B secara poliklonal
dan non spesifik, sehingga terjadi hipergammaglobulinemia terutama Ig A dan Ig G.
Disamping produksi imunoglobulin yang lebih banyak juga terjadi respon yang salah
pada limfosit B orang dengan HIV/AIDS. Pada HIV terjadi perubahan dari
pembentukan antibodi Ig M ke antibodi Ig A dan Ig G, sehingga infeksi laten
intraseluler seperti T.gondii menjadi masalah berat pada penderita HIV/AIDS, yang
akan menjadi aktif kembali oleh karena respon tidak tepat antibodi untuk membentuk
antibodi Ig M. Mekanisme ini terjadi oleh karena terjadinya pengalihan fenotip kelas
Ig yang salah diterjemahkan oleh sel akibat virus HIV. Peningkatan IgM tidak selalu
menunjukkan adanya infeksi baru karena antibodi Ig M antitoksoplasma secara
spesifik ditemukan pada pasien dengan reaktivasi toksoplasmosis serebri. Kadar Ig
58
M yang positif dan meningkat dapat diinterpretasikan sebagai infeksi akut dari
reaktivasi infeksi laten (recent infection) atau tes positif palsu (Karnen, 2006; Sonja
dkk., 2006)
2.6 Manifestasi klinis
Sindrom klinis dari infeksi toksoplasmosis serebri pada AIDS beragam
misalnya seperti ensefalitis, meningoensefalitis, lesi massa intrakranial. Ensefalitis
terjadi pada 80% kasus. Gejala klinis toksoplasmosis serebri dibagi atas gejala fokal
neurologi, gangguan otak global, gangguan neuropsikiatri dan gejala umum lainnya
seperti panas badan (35%) yang hilang timbul atau terus menerus, sakit kepala
memberat (hampir pada 50% kasus), singulus (hiccups). Tanda-tanda iritasi selaput
otak (5%), tekanan intrakranial meningkat (papil edema). Defisit fokal neurologis
akibat lesi massa intrakranial (70%) seperti hemiparesis, hemiplegia, disfasia, afasia,
disartria, gangguan visual, paresis nervus kranialis, ataksia, dismetri, gerakan
involunter (distonia, chorea, atetosis dan hemibalismus, parkinson). Gangguan otak
global seperti bangkitan kejang (38%), kesadaran menurun (40%), gangguan mood
dan memori dan gangguan kognitif global (menyerupai demensia AIDS). Gangguan
psikiatri seperti demensia, ansietas, psikosis, gangguan kepribadian. Defisit fokal
neurologis dapat terjadi secara perlahan atau mendadak menyerupai stroke. Selain
gangguan neurologis, juga perlu diketahui adanya tanda diluar neurologis misalnya,
limfadenopati, hepatosplenomegali (Joynson dan Wreghitt, 2007).
2.7 Diagnosis
Diagnosis untuk toksoplasmosis serebri dilakukan berdasarkan diagnosis
presumtif dan definitif. Diagnosis presumtif menurut kriteria CDC,1993 berdasarkan
gejala klinis, gambaran radiologis (sken kepala dengan kontras), pemeriksaan
59
imunologi darah tepi maupun CSS (Vidal dkk., 2004). Diagnosis definitif dengan
melakukan biopsi jaringan otak untuk mengetahui adanya parasit T.gondii yang
terisolasi (gambar 2.24) (Sara dkk, 2009).
Gambar 2.24
Biopsi Jaringan Otak pada Lobus Frontal , tampak Daerah Nekrosis yang dikelilingi
dengan Makrofag, Limfosit dan Banyak Kista Takisoit (Sara dkk, 2009).
2.7.1 Diagnosis presumtif berdasarkan kriteria CDC, (1993). Gejala klinis yang
berhubungan dengan adanya defisit neurologis dengan manifestasi klinis
ensefalitis, meningoensefalitis dan lesi desak ruang, serta tanda selain
neurologis misalnya, limfadenopati dan hepatosplenomegali.
1. Pemeriksaan imunologi untuk menentukan adanya antibodi dengan tes
serologi seperti tes warna Sabin Feldman (Sabin –Feldman dye test), tes
hemaglutinasi tidak langsung (IHA), untuk mendeteksi antibodi Ig G, tes zat
anti fluoresen tidak langsung (IFA), dan tes ELISA (Enzyme Linked
Immunosorbent Assay) untuk mendeteksi antibodi Ig G dan Ig M. Pada
penderita AIDS yang dicurigai dengan toksoplasmosis serebri, petanda
serologi yang lebih berperan yaitu IgG anti T.gondii, karena toksoplasmosis
60
serebri merupakan hasil reaktivasi infeksi T.gondii yang telah lama. Nilai Ig
G anti Toksoplasma akan bermakna bila titer antibodi lebih besar dari 150
IU/ml. Petanda Ig G ini lebih digunakan karena pada awal infeksi Ig M
muncul terlebih dahulu, meningkat dengan cepat dalam 2 minggu, kemudian
menurun dengan cepat dan menghilang setelah 2-3 bulan, hal ini
merupakan petanda infeksi akut. Namun bila pada beberapa kasus ada
keraguan untuk menarik kesimpulan apakah infeksi T.gondii terjadi akut
atau kronik karena Ig M masih menetap beberapa bulan hingga setahun,
maka perlu dilakukan suatu tes panel dengan memeriksa Ig A, dan Ig E.
Antibodi IgE (Anti-IgE immunosorbent agglutination assay) lebih akurat
untuk infeksi akut karena tidak pernah menetap lebih dari 4 bulan,
sedangkan IgA dapat menetap hanya 3 hingga 9 bulan infeksi dan tidak
pernah ditemukan pada fase kronis.
2. Pemeriksaan radiologi dengan sken kepala tanpa dan dengan kontras
menunjukkan gambaran lesi hipodens yang khas dapat berbentuk noduler
atau disertai kalsifikasi dengan penambahan kontras tampak penyagatan
kontras berbentuk cincin (ring enhancement) mengelilingi area hipoden
yang multipel pada 70-80 % kasus (Herdiman, 2006). Ukuran cincin
bervariasi, dengan ketebalan ireguler, tipis homogen, dengan edema
perifokal adanya suatu lesi desak ruang dengan terlihatnya pergeseran dari
garis tengah. Pada pasien AIDS dengan infeksi T.gondii, gambaran cincin
multipel menunjukkan 70-80% merupakan toksoplasmosis serebri.
Predileksi lesi pada basal ganglia 70-80% dan kortikomedular hemisfer.
Pemeriksaan MRI memberikan hasil lebih baik dan merupakan prosedur
61
baku, karena dapat mendeteksi lesi yang tidak terlihat pada CT sken
terutama bila pada sken menunjukkan lesi tunggal yang tidak patognomonik
untuk toksoplasmosis serebri (gambar 2.25) (Dubey, 2010).
Gambar 2.25
CT Sken Kepala dengan Penyangatan Kontras berbentuk
Cincin pada Basal Ganglia (Dubey, 2010).
Pemeriksaan radiologis yang lebih sensitif dari sken kepala adalah dengan
pemeriksaan Diffusion-Weighted MRI yang dapat membedakan secara baik dan
bermakna gambaran abses pada toksoplasmosis serebri dengan abses yang
disebabkan oleh piogenik dimana terdapat perbedaan gambaran penyengatan kontras
yang berbentuk cincin melalui intensitas signal, kemudian diukur berdasarkan nilai
apparent diffusion coefficient (ADC). Perbedaan terletak pada inti (core) abses pada
Diffusion-Weighted MRI intensitasnya akan tampak sama atau lebih rendah dari
jaringan otak sekitarnya yang normal, dengan nilai ADC core abses lebih besar dari
pada nilai jaringan otak sekitarnya yang sehat, gambaran ini didukung dengan
pemeriksaan histopatologi dimana pada core abses toksoplasmosis serebri terdiri dari
62
jaringan yang nekrotik dan bukan oleh cairan purulen yang biasanya terdapat pada
abses piogenik (gambar 26.A, B, C) (Crispina dkk, 2003).
A B C
Gambar 26.A, B, C. Wanita umur 54 tahun dengan Serebral Toksoplasmosis yang Merespon
Baik dengan Pengobatan Sulfametroksasol dan Trimetropin (Crispina dkk., 2003)
a. Penampang axial T1 Weighted MRI tampak gambaran massa dengan penyangatan
kontras di lobus parietal sinistra dengan eccentric sentral dan dengan penambahan kontras
terjadi enhancemen.
b. Axial diffusion –weighted MRI menunjukkan pada core abses isointens (asterisk) dan
dikelilingi dengan edema (tanda panah) yang hiperintens.
c. Analisa kuantitatif dengan apparent diffusion coefficient (ADC) tampak nilai ADC pada
core sedikit lebih tinggi (mean,1.10 x 10-3 mm2/sec) dibanding dengan jaringan sekitarnya
(mean, 0,85 x 10-3 mm2/sec) dengan nilai rerata ADC perifokal edema (1,64 x 10-3
mm2/sec) yang mendekati dua kali nilai pada jaringan normal.
Pemeriksaan radiologis Positron Emission Tomography (PET) dan Single
Photon Emission Computed Tomography (SPECT) memiliki arti diagnostik yang
sangat baik untuk membedakan gambaran ring enchancemen pada penderita
HIV/AIDS dengan gambaran suatu keganasan, toksoplasmosis serebri atau
merupakan suatu limpoma. Ketiga gambaran lesi ini masih sulit dibedakan dengan
CT sken ataupun MRI. Pemeriksaan PET dan SPECT merupakan suatu nuklear
imaging dapat memberikan gambaran biologis dari suatu jaringan hidup,
mempergunakan radiolabel molekul bertindak sebagai pemandu (radiotracers) yang
nantinya mampu mendeteksi adanya perubahan metabolisme jaringan hidup dan
63
fisiologi jaringannya. Positron Emission Tomography telah digunakan lebih dari 30
tahun untuk mengetahui perubahan karakteristik metabolisme suatu penyakit,
bagaimana perubahan yang dapat terjadi sebagai akibat proses suatu penyakit. Single
Photon Emission Computed Tomography dapat membedakan dengan jelas
toksoplasmosis serebri dan limpoma dengan mempergunakan Thallium-201 (201 TI)
dalam waktu kurang dari 72 jam, PET mempergunakan analog glukosa yang dapat
dengan jelas menggambarkan metabolisme dari karakteristik toksoplasma, namun
PET masih sangat jarang dan harganya yang masih sangat mahal sehingga tidak
memungkinkan alat ini dipergunakan sebagai prosedur baku dalam mendiagnosis
suatu toksoplasmosis serebri (Mordechai dkk, 1996; Pamela dkk, 2003).
Pemeriksaan pilihan untuk evaluasi awal penderita HIV/AIDS dengan gejala
intraserebral adalah dengan MRI dengan kontras sesuai dengan algoritme evaluasi
dari gejala klinis dan tanda sistem saraf pusat pada penderita HIV/AIDS dengan
mempergunakan MRI (gambar 27) (Weisberg dkk.,1988).
64
Gambar 2.27
Evaluasi dari Gejala Klinis dan Tanda Sistem Saraf Pusat pada Penderita
HIV/AIDS dengan mempergunakan MRI (Weisberg dkk.,1988).
2.7.2. Pemeriksaan Biologi Molekuler.
Pemeriksaan untuk menentukan suatu toksoplasmosis serebri melalui biopsi
masih sangat sulit dilakukan khususnya di negara berkembang seperti di Indonesia .
Selain karena biayanya yang relatif mahal, juga karena tindakan ini sangat
memerlukan ketrampilan khusus seorang ahli bedah saraf dan juga yang paling
AIDS patient with CNS symptoms/sign
HIV/Dementia
CMV
Encephalitis
Contrast-enchanced MRI
Perventicular
inflamation
Single or multiple local lesion Atrophy or diffuse
white matter diseases
MRI
Cryptocococsis PML
Toxoplasmosis or
CNS Lymfoma Cystic lesion in
bangsal ganglia
Focal lesion: no mass effect
in subcortical white matter
Enchancement No enchancement
Toxoplasma confirmed Biopsy
Improvement after 2 weeks No improvement
Empiric toxoplasmosis therapy
65
penting tindakan ini sangat invasif, sehubungan dengan letak predileksi
toksoplasmosis paling sering secara patognomonik terletak disubkortikal (basal
ganglia) sangat berisiko memperburuk keadaan umum penderita toksoplasmosis.
Berdasarkan alasan tersebut pemeriksaan mempergunakan tehnik PCR
menjadi alternatif pilihan yang lebih memuaskan karena memiliki beberapa
kelebihan yaitu pemeriksaan dapat lebih cepat, tidak memerlukan persiapan khusus,
relatif lebih murah dan tentu saja sangat mengurangi tindakan invasif (Vidal, 2004).
Penelitian yang memakai tehnik PCR dengan gen B1 sebagai primer untuk
mendeteksi toksoplasmosis serebri pada penderita AIDS di Brasil memiliki nilai
sensitifitas 92%, spesifisitas 100%, dengan nilai duga positif 100% dan nilai duga
negatif 97% maka dari temuan inilah sangat disarankan untuk mempergunakan
pemeriksaan PCR CSS untuk mendiagnosis suatu toksoplasmosis serebri (Joseph
dkk., 2002).
Tehnik PCR digunakan untuk mendiagnosis toksoplasmosis serebri, dimana
PCR merupakan suatu tehnik in vitro untuk memperbanyak DNA (amplifikasi)
secara enzimatis melalui proses sintesis DNA baru secara berulang dan dapat
mendeteksi 10 organisme atau kurang dalam 10 leukosit manusia serta bersifat
spesifik. Pengambilan sampel CSS sebelum pemberian obat anti toksoplasmosis atau
hingga tujuh hari selama pemberian obat anti toksoplasmosis nilai sensitifitas
meningkat hingga 50% apabila dibandingkan dengan setelah tujuh hari pengobatan.
Namun tidak adanya perbedaan yang bermakna secara statistik untuk dapat
meningkatkan hasil PCR pada pengambilan sampel CSS pada satu minggu pertama
pengobatan dibandingkan dengan pengambilan sampel yang terlambat (lebih dari
seminggu) odds ratio (OR) 7,0; 95% Conffident Interval (CI) : 0,46 – 218,2;
p=0,15). Sedangkan pengobatan profilaksis untuk toksoplasmosis tidak
66
mempengaruhi hasil PCR CSS. Pasien dengan respon pengobatan anti
toksoplasmosis yang rendah memiliki kemungkinan yang tinggi untuk dapat
terdeteksinya DNA T.gondii pada CSS (OR 5,0; 95% CI: 0,37 – 86,6) dan semua
pasien yang dengan kelainan neurologi akibat lain akan menunjukkan hasil PCR
yang negatif (spesifisitas 100%). Walaupun PCR memiliki nilai sensitifitas sedang
namun PCR CSS memiliki nilai spesifisitas tinggi dan nilai duga positif 100%
sehingga pemeriksaan penunjang ini sangat berguna sebagai alat untuk mendiagnosis
suatu toksoplasmosis serebri (Joseph dkk., 2002; Dubey,2010).
Target PCR ini adalah gen B1 dari T.gondii menurut metoda Chang dan Ho,
yang mempergunakan siklus 30, 35, 40, 45 tidak memberikan gambaran pita,
sedangkan penggunaan 50 siklus baru memberikan hasil pita spesifik untuk T.gondii
pada elektroforesis gel dan target gen B1 merupakan target gen paling sensitif dan
secara konsisten selalu ditemukan saat pengulangan (Lisawati dkk, 2002).
2.7.2.1 Ekstraksi DNA.
Ekstraksi DNA mempergunakan genom DNA, menggunakan DNA isolation
kit (invitrogen). PCR dikerjakan menggunakan SuperScriptTM III One-Step PCR
System with Platinum Taq DNA Polymerase (Invitrogen) sesuai dengan protokol
yang telah ditentukan.
Tehnik isolasi DNA dengan cara homogenkan jaringan dengan mikropastel,
kemudian tambahkan 180 µl digestion buffer dan homogenkan kembali dengan
mikropastel, kemudian tambahkan 20 µl prot K. Inkubasikan selama 1-4 jam dalam
suhu 55o C dan sesekali divorteks, sentrifuse dengan kecepatan maksimal selama 3
menit, kemudian supernatannya dituangkan ke tabung baru. Tambahkan 20 µl
RNAse A, kemudian vorteks dan inkubasikan selama 2 menit, tambahkan 200 µl
67
binding buffer kemudian vorteks, tambahkan 200 µl ethanol dan dipindahkan ke spin
collum. Sentrifuse 10.000 rpm selama 1 menit, buang flow kemudian pindahkan ke
spin collum baru, tambahkan 500 µl Wash buffer 1, sentrifuse 10.000 rpm selama 1
menit kemudian buang flow, tambahkan 500 µl Wash buffer 2 dan sentrifuse dengan
kecepatan maksimal selama 3 menit, buang flow kemudian pindahkan ke tabung 1,5
ml dan tambahkan 25 – 200 µl elution buffer, inkubasikan selama 1 menit dan
sentrifuse selama 1 menit. Simpan dalam suhu – 20o C sampai dipergunakan lebih
lanjut (Invitrogen Kit Manual Procedure, 2007).
2.7.2.2 PCR
PCR merupakan teknik amplifikasi DNA dengan menggunakan enzim dan
template yang komplementer dengan DNA target. Komponen uji ini terdiri dari 5 l
R-Mix (buffer, MgSo4, dan dNTP), 0,6 l foward primer, 0,6 l backward primer,
2,55 l aquabidest, 0,25 l enzim dan 1 l sampel DNA template. Setelah semua
komponen masuk ke dalam tabung eppendorf, selanjutnya dimasukkan ke dalam
mesin (Thermocycler). Di dalam Thermocycler (mesin penyiklus DNA) suhu sudah
diprogram dengan kondisi suhu 95C selama 7 menit merupakan proses pre
denaturasi yaitu suatu proses perubahan DNA dari serat ganda menjadi serat tunggal.
Kemudian dilanjutkan dengan suhu 94C selama 45 detik yaitu merupakan proses
denaturasi yaitu serat ganda yang pelepasannya belum sempurna dipecah lagi agar
menjadi serat tunggal. Pada suhu 55C selama 30 detik merupakan proses Annealing
yaitu proses penempelan primer dengan serat DNA sampel. Tahap akhir pada suhu
72 o C selama 1 menit yaitu proses extension yaitu suatu proses penyempurnaan
kerja enzim. Kemudian proses denaturasi, annealing dan extention diulang
sebanyak 35 siklus . Primer yang digunakan adalah primer forward LPSAGI (5’
CAC CTG TAG GAA GCT GTA GTC ACT G- 3’ dengan reverse RPSAGI (5’
68
TCA CTG TGA CCA TAC AAC TCT GTC 3’. Pada saat penggunaan primer
sebaiknya sekuens kedua primer tidak saling komplementer karena dapat
mengakibatkan terjadinya primer dimer. Jika panjang primernya cukup panjang
sebaiknya temperaturnya semakin tinggi. Proses elongasinya pada suhu 72 C selama
1,5 menit yaitu proses pemanjangan primer sehingga memperpanjang rantai DNA,
yang berperan disini adalah enzim polymerase (Taq Polymerase). Selanjutnya pada
suhu 72C selama 5 menit merupakan proses penyempurnaan aktivitas enzim.
Setelah semua proses ini selesai dilanjutkan dengan proses elektroforesis (Invitrogen
Kit Manual Procedure, 2007).
2.7.2.3 Elektroforesis
Elektroforesis dilakukan untuk mengetahui proses PCR antara DNA template
dan primer telah menyatu serta mengetahui panjang basa dari produk gen yang diuji
melalui markernya. Proses elektroforesis diawali dengan pembuatan gel 1 % yaitu
sebanyak 1 gram agarose powder ditambahkan dengan 100 ml TAE (Tris Acetat
EDTA) didihkan sambil diaduk sesekali setelah bubuk mencair dan agak mengental
tambahkan 2 l EtBr (Etidium Bromida) aduk dan dicetak dalam cetakan sisir.
Setelah gel mengeras angkat kemudian taruh pada mesin elektroforesis. Sepuluh
sampai duapuluh persen dari produk PCR ditambahkan sebanyak 1l loading dye
(Bromphenol-blue dan Cyline Cyanol) dimasukkan kedalam setiap sumur pada gel.
Setelah itu di running dengan cara mesin elektroforesis diprogram dalam tegangan
100 volt selama 30 menit. Setelah itu diangkat dan visualisasi DNA dilakukan
dengan transluminator ultraviolet (UV) dan hasilnya didokumentasikan dengan
kamera digital yang telah dimodifikas (InvitrogenKit Manual Procedure, 2007).
69
2.7.2.4 Hasil PCR T.gondii
Hasil PCR T.gondii dapat dibaca apabila hasilnya positif dalam agarose gel
elektroforesis (gambar 2.28).
Gambar 2.28
Hasil PCR dalam Gel Elektroforesis (Joseph dkk., 2002).
.
Hasil amplifikasi PCR yan tampak berdasarkan konsentrasi parasit yang
berbeda pada agarose gel elektroforesis, dengan jumlah DNA yang ditunjukkan
dibawah garis pada masing masing konsentrasi parasit dari 0,05 pg pada garis
pertama hingga konsentrasi 50 ng pada garis ke tujuh. Garis ke delapan terdiri dari
100 –bp tangga DNA dan garis kesembilan kontrol negatif (Joseph dkk., 2002).
70
B A B III
KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN
3.1 Kerangka Berpikir
Gambar 3.1
Bagan Kerangka Berpikir
Respon imunitas seluler terhadap toksoplasma sangat efektif namun pada
seseorang dengan imunokompremis (AIDS), sistem ini tidak mampu bekerja secara
optimal. Seiring dengan menurunnya kadar CD4 ≤ 100 sel/mL, kista yang pada
awalnya bersifat laten akan mengalami perubahan fase. Kista di jaringan otak yang
mengandung banyak bradisoit (kista jaringan otak dengan daya replikasi sangat
rendah), akan mengalami perubahan fase menjadi takisoit yang masih dalam kista
Infeksi akut T. gondii
Toksoplasmosis serebral
Reaktivasi infeksi
laten T. gondii
Infeksi HIV (AIDS) + Diagnosis Presumtif
toksoplasmosis :
1. Gejala klinis neurologis : kesadaran
menurun,defisit fokal neurologis, gerakan
involunter, kejang, ensefalitis .
2. Ab IgG anti T. gondii (+) IU/ml.
3. Gambaran radiologi (CT sken kepala)
Kadar CD4 ≤ 100sel/mL
Infeksi laten T. gondii
Validitas
54
71
(pseudokista) yang mempunyai aktivitas pembelahan yang sangat cepat, aktif dan
invasif . Perkembangan selanjutnya takisoit atau trophozoit akan mengalami replikasi
secara cepat sehingga mengisi seluruh sel glial otak (Black dan Boothroyd, 2000;
Viqar, 1997). Kista jaringan di sel glial pada pasien AIDS akan mengalami
degenerasi dan terjadi perkembangan fase, kista yang mengandung bradisoit berubah
menjadi bentuk takisoit yang aktif dan invasif. Perkembangan kista laten inilah yang
merupakan sumber infeksi baru toksoplasmosis pada pasien AIDS dan bertanggung
jawab untuk terjadinya toksoplasmosis serebri (Dubey, 2010).
Pada penderita AIDS yang dicurigai dengan toksoplasmosis serebri, petanda
serologi yang lebih berperan yaitu IgG anti T.gondii, karena toksoplasmosis serebri
merupakan hasil reaktivasi infeksi T.gondii yang telah lama. Nilai IgG anti
Toksoplasma akan bermakna bila titer antibodi lebih besar dari 150 IU/ml.
Pemeriksaan radiologi dengan sken kepala tanpa dan dengan kontras, dapat
menunjukkan gambaran lesi hipodens, noduler atau dapat disertai kalsifikasi, dan
atau dengan penambahan kontras akan tampak penyangatan kontras mengelilingi
area hipoden berbentuk seperti cincin (ring enhancement) yang multipel pada
70-80 % kasus.
Ukuran cincin bervariasi ketebalan ireguler yang homogen dengan edema
perifokal menandakan adanya suatu lesi desak ruang dengan terlihatnya pergeseran
dari garis tengah. Pada pasien AIDS dengan infeksi T.gondii, gambaran penyangatan
kontras berbentuk cincin di daerah predileksi lesi pada basal ganglia 70-80% dan
kortikomedular hemisfer (Sara dkk, 2009).
72
3.2. Konsep
Gambar 3.2
Bagan Kerangka Konsep
Keterangan :
X1 = Nilai sensitifitas kriteria kadar CD4 ≤ 100 sel/mL
X2 = Nilai spesifisitas kriteria kadar CD4 ≤ 100 sel/mL.
X3 = Nilai duga positif (NDP) kriteria kadar CD4 ≤ 100 sel/mL
X4 = Nilai duga negatif (NDN) kriteria kadar CD4 ≤ 100 sel/mL
X5 = Nilai rasio kemungkinan positif (RKP) kriteria kadar CD4 ≤ 100 sel/mL.
X6 = Nilai rasio kemungkinan negatif (RKN) kriteria kadar CD4 ≤ 100 sel/mL.
X7 = Akurasi kriteria kadar CD4 ≤ 100 sel/mL.
Validitas
Toksoplasmosis
cerebri (+)
Toksoplasmosis
cerebri (-)
CD4 ≤ 100
Toksoplasmosis
cerebri (+)
CD4 ≥ 100
Toksoplasmosis
cerebri (-)
X2
X3
X5
X7
CD4
(Uji Baru)
PCR CSS
(Baku Emas)
AIDS + Kriteria presumtif
toksoplasmosis:
1. Gejala klinis neurologis :
kesadaran menurun,defisit
fokal neurologis, gerakan
involunter, kejang, ensefalitis.
2. Ab IgG anti T. gondii (+).
3. Gambaran radiologi (CT sken
kepala).
X1
X6
X4
73
Hingga saat ini penelitian tentang uji diagnostik tentang toksoplasmosis
serebri masih sangat kurang dilakukan pada manusia di Bali. Sebelum era
pengobatan HAART pada penderita AIDS di Bali, kematian masih sangat tinggi oleh
infeksi oportunistik, terutama oleh toksoplasmosis serebri yang dapat timbul sebagai
akibat keadaan imunitas yang sangat rendah, kadar CD4 ≤ 100 sel/mL.. Pendekatan
melalui kriteria presumtif untuk mendiagnosis toksoplasmosis serebri sesuai kriteria
CDC memiliki pendekatan diagnosis hingga 80%.
Kadar CD4 berhubungan dengan kejadian toksoplasmosis serebri, semakin
rendah kadar CD4 ≤ 100 sel/mL , semakin tinggi insiden toksoplasmosis serebri. Bila
validitas kriteria kadar CD4 ≤ 100 sel/mL dapat meningkatkan pendekatan diagnosis
toksoplasmosis serebri secara bermakna, maka dapat mengurangi tindakan invasif
dan penatalaksanaan selanjutnya dapat lebih dipertanggung jawabkan.
74
B A B IV
METODE PENELITIAN
4.4 Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan rancangan studi uji diagnostik, pengambilan sampel
secara potong lintang, CD4 sebagai kriteria yang akan diujikan sebagai uji baru
untuk mendiagnosis toksoplasmosis serebri pada penderita AIDS yang telah
memenuhi kriteria presumtif toksoplasmosis serebri dan pemeriksaan PCR CSS
sebagai referensi standar baku emas.
Gambar 4.1
Skema Rancangan penelitian Uji Diagnostik
58
Dilakukan
pemeriksaan
pada satu kurun
waktu
Toksoplasmosis
cerebri (+)
Toksoplasmosis
cerebri (-)
CD4 ≤ 100
Toksoplasmosis
cerebri (+)
CD4 ≥ 100
Toksoplasmosis
cerebri (-)
CD4
(Uji Baru)
PCR CSS
(Baku
Emas) AIDS + Kriteria presumtif
toksoplasmosis:
1. Gejala klinis neurologis :
kesadaran menurun,defisit
fokal neurologis, gerakan
involunter, kejang,
ensefalitis .
2. Ab IgG anti T. gondii (+).
3. Gambaran radiologi (CT
sken kepala).
75
4.5 Lokasi dan Waktu Penelitian.
Tempat penelitian dilaksanakan di ruang rawat inap Rumah Sakit Sanglah.
Waktu Penelitian dilaksanakan mulai bulan Februari 2011 sampai dengan bulan Juli
2011 atau hingga jumlah sampel minimal terpenuhi.
4.6 Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi penelitian adalah semua penderita yang dicurigai menderita
toksoplasmosis serebri pada penderita AIDS yang datang ke Rumah Sakit Sanglah
dan bersedia mengikuti penelitian.
4.6.1 Populasi Target
Populasi target penelitian ini adalah laki-laki dan perempuan umur diatas 17
tahun yang menderita AIDS yang memenuhi kriteria presumtif toksoplasmosis
serebri.
4.3.2 Populasi Terjangkau
Populasi terjangkau adalah penderita AIDS laki-laki dan perempuan umur
diatas 17 tahun memenuhi kriteria presumtif toksoplasmosis serebri yang datang
berobat dan rawat inap di RS Sanglah Denpasar.
4.3.3 Sampel Penelitian
Sampel pada penelitian ini adalah bagian dari populasi terjangkau yang
memenuhi kriteria presumtif toksoplasmosis serebri yang datang berobat dan
mendapatkan perawatan di Rumah Sakit Sanglah Denpasar.
4.3.3.1 Kriteria Inklusi
1. Penderita AIDS yang belum mendapatkan terapi ARV
2. Berusia diatas 17 tahun berdasarkan KTP atau kartu identitas lain yang sah.
76
3. Memenuhi kriteria toksoplasmosis serebri sesuai dengan kriteria presumtif
(CDC).
4. Belum mendapat pengobatan anti toksoplasmosis serebri atau telah
mendapat pengobatan toksoplasmosis serebri ≤ 7 hari.
5. Bersedia ikut dalam penelitian ini yang dinyatakan dengan informed
consent.
6. Bersedia untuk dilakukan lumbal pungsi yang dinyatakan dengan informed
consent.
4.3.3.2 Kriteria Eksklusi
1. Ada kontra indikasi untuk dilakukan lumbal pungsi (LP) yaitu tanda
peningkatan tekanan intrakranial (muntah proyektil, papil edema), terdapat
luka atau penyakit kulit pada daerah LP.
2. Menderita tumor otak, stroke,tumor ganas dan mendapatkan terapi
kortikosteroid jangka panjang.
3. Kadar trombosit ≤ 50 mm/mL.
4.4 Besar Sampel Penelitian
Penelitian ini merupakan uji diagnostik, sehingga besarnya sampel ditentukan
dengan rumus :
a. Penghitungan besar sampel yang didiagnosis positif oleh baku emas dengan
rumus (Sopiyudin , 2009).
2
2
d
PQ)(Zαn
n = besar sampel yang didiagnosis positif oleh baku emas.
p = sensitifitas yang diinginkan dari indeks.
q = 1-p
d = presisi penelitian
77
Zλ = derivat baku dari tingkat kesalahan (ditetapkan peneliti).
pada penelitian ini tingkat kepercayaan ditetapkan 95% dengan Zα 1,96, presisi
penelitian (d)= 20 %, sensitifitas yang diinginkan dari indeks (p) = 90% .
Rumus untuk menghitung besar sampel total apabila prevalensi penyakit
diketahui : N = n / P
P = prevalensi penyakit
n = besar sampel yang didiagnosis positif oleh baku emas
N = besar sampel total
Dari kepustakaan didapatkan prevalensi toksoplasmosis serebri antara 30 -50%
(Pokdisus, 2005).
Penelitian ini menggunakan prevalensi 30 % .
Jumlah sampel keseluruhan pada penelitian ini adalah 28.8 dan dibulatkan
menjadi 29 orang, jadi N = 29 orang.
4.5 Variabel Penelitian
Variabel penelitian merupakan karakteristik sampel penelitian yang diukur
kategorikal. Variabel tersebut ditentukan dan disusun menurut rancangan penelitian
yang direncanakan (Sopiyudin, 2009).
Klasifikasi variabel :
a. Standar Baku Emas adalah pemeriksaan PCR CSS
b. Uji baru adalah pemeriksaan kadar CD4 darah
4.6 Definisi Operasional Variabel Penelitian
1. AIDS adalah sekumpulan gejala penyakit yang disebabkan oleh Human
Immunodeficiency Virus (HIV), dan sel limfosit T Cluster of Differentiation 4
(CD4) sebagai target utamanya (Zubairi-Djoerban dan Samsuridjal-Djauzi,
2006).
78
2. Toksoplasmosis serebri adalah suatu proses nekrosis dan trombosis pembuluh
darah dengan inflamasi perivaskular (vaskulitis) pada bagian sentral yang
tampak sebagai nodul mikroglia yang disebabkan oleh proses reaktivasi
infeksi laten T.gondii dan ditemukannya takisoit yang mengelilingi nodul,
seperti cincin pada daerah perbatasan nekrosis arteritis dan takisoit pada
dinding pembuluh darah dan dinyatakan positif melalui pemeriksaan PCR
CSS menggunakan gen SAG1 sesuai protokol (Portegies dan Berger, 2007).
3. CD4 adalah sel limfosit T Cluster of Differentiation 4 (CD4) permikroliter
darah (Depkes, 2004).
4. Kriteria presumtif adalah kriteria untuk mendiagnosis toksoplasmosis serebri
yang berhubungan dengan AIDS sesuai dengan Guidelines The Centers for
Disease Control (CDC) criteria for AIDS-related cerebral toxoplasmosis,
(1993). Terdiri dari 3 kriteria: 1) adanya gejala fokal neurologis yang
mengarah pada disfungsi sistem saraf pusat (SSP) atau penurunan kesadaran,
2) ada lesi khas dalam otak yang dapat dideteksi dengan CT sken kepala
dengan kontras, adanya lesi desak ruang pada gambaran imaging sken kepala
dan atau adanya penyangatan kontras berbentuk cincin (ring enchancement),
3) adanya serologis positif untuk Ab IgG anti T.gondii atau adanya respon
yang baik setelah diberikan terapi empiris.
5. Pemeriksaan PCR adalah pemeriksaan biologi molekuler menggunakan
tehnik polimerase chain reaction (PCR) untuk amplifikasi DNA. Pada
penelitian ini menggunakan PCR cairan serebrospinalis dan kemudian
dilakukan pemeriksaan PCR dengan target gen sesuai dengan primer,
kemudian hasil positif dapat dibaca dalam bentuk band pada agarose gel
elektroforesis ( Joseph, 2002).
79
4.7 Bahan Penelitian
Bahan atau materi penelitian yang dipakai dalam penelitian ini pemeriksaan
laboratorium, yaitu darah (serum), pemeriksaan PCR (CSS ).
4.8. Instrumen dan Prosedur Pengambilan Bahan Penelitian
4.8.1 Penderita datang ke RS Sanglah dengan gejala toksoplasmosis serebri,
dilakukan pemeriksaan sesuai penegakan diagnosis kriteria presumtif.
4.8.2 Mendapatkan inform consent pada penderita atau keluarga tentang
penelitian dan menandatangani surat persetujuan, bila bersedia ikut
dalam penelitian.
4.8.3 Pengambilan darah serum untuk pemeriksaan CD4.
4.8.4 Pengambilan CSS melalui pungsi lumbal untuk PCR T.gondii .
4.9 Analisis Data
Analisis data dilakukan setelah evaluasi ulang data yang terkumpul, dan
melengkapi data-data yang belum terisi lengkap (Sopiyudin-Dahlan, 2009)
a. Menilai validitas kriteria kadar CD4 terhadap hasil PCR CSS digunakan
perhitungan tabel 2x2, kemudian diolah mempergunakan SPSS dengan rumus
sebagai berikut:
Sensitifitas : True Positif (TP) / (TP + False Negatif (FN) x 100%.
Spesifisitas : True Negatif (TN)/ ( TN + FN ) x 100%.
NDP : TP/ (TP + FP) x 100%.
NDN : TN/ (TN + FN) x 100%
RKP dan RKN : Sensitifitas / 1- Spesifisitas
Akurasi : (Tp + FN)/ TP+FP+TN+FN.
80
4.10 Alur Penelitian
Gambar 4.2
Bagan Alur Penelitian
PCR CSS
Analisa data
Hasil
Penderita AIDS berobat ke RSUP Sanglah
Memenuhi kriteria presumtif untuk toksoplasmosis serebri sesuai dengan CDC
Penjelasan tentang inform consent, tanda tangan inform consent
Pemeriksaan CD4 darah
Kriteria Eksklusi Kriteria Inklusi
81
BAB V
HASIL PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Februari 2011 sampai dengan
Oktober 2011 di RSUP Sanglah Denpasar. Penelitian ini melibatkan 29 subyek
penelitian yaitu pasien HIV yang diduga menderita toksoplasmosis sesuai kriteria
presumtif.
Variabel yang diperiksa pada penelitian ini meliputi anamnesis, pemeriksaan
fisik, pemeriksaan darah rutin, pemeriksaan CD4, serologis IgG dan IgM
antitoksoplasmosis, pemeriksaan CT sken kepala dengan kontras dan dilakukan
pengambilan CSS melalui tindakan pungsi lumbal untuk pemeriksaan PCR CSS.
Hasil pemeriksaan CD4 serum darah dan PCR CSS kemudian dilakukan suatu uji
diagnostik berdasarkan statistik dengan menggunakan tabel silang 2x2.
5.1 Karakteristik Demografi Subyek
Karakteristik demografi subyek dalam penelitian ini didapatkan nilai rerata
umur 34 tahun. Jenis kelamin pria 25 orang (86,2%) dan wanita 4 orang (13,8%).
Latar belakang pendidikan terbanyak yaitu tamat SMA 21 orang (72,4%) dengan
jenis pekerjaan terbanyak swasta yaitu 26 orang (89,7%). Subyek sebagian besar
dengan status perkawinan menikah sebanyak 20 orang (69,0%). Karakteristik
demografi subyek selengkapnya terlihat pada tabel 5.1.
65
82
Tabel 5.1
Karakteristik Demografi Subyek (n=29)
Karakteristik Rerata ± SB
Umur (tahun) 34 ± 9
Jenis Kelamin n (%)
Laki-laki
Wanita
25(86,2)
4(13,8)
Pendidikan n (%)
Tamat SD/Sedrajat
Tamat SMP
Tamat SMA
1(3,4)
7(24,1)
21(72,5)
Pekerjaan n (%)
Swasta
Petani
PNS
Wirausaha
26(89,7)
1(3,4)
1(3,4)
1(3,4)
Status Perkawinan n(%)
Menikah
Tidak Menikah
20(69,0)
9(31,0)
5.2 Karakteristik Tanda Vital
Karakteristik tanda vital meliputi pemeriksaan tekanan darah sistolik didapatkan
rerata 116 mmHg dengan kisaran 90-150 mmHg, rerata tekanan darah diastolik
73 mmHg dengan kisaran 60-90mmHg, rerata denyut nadi 84 kali permenit dengan
kisaran 60-100 kali permenit, rerata temperatur aksila 37 0C, rerata frekuensi
respirasi 20 kali permenit dengan kisaran 18-32 kali permenit, rerata tekanan
intrakranial 108 mmHg dengan kisaran 85-135 mmHg dan pemeriksaan derajat
kesadaran berdasarkan Glascow Koma Scale (GCS) adalah 13. Karakteristik tanda
vital subyek selengkapnya disajikan pada tabel 5.2.
83
Tabel 5.2
Karakteristik Tanda Vital Subyek (n=29)
Karakteristik Rerata±SB Kisaran
Tekanan sistolik (mmHg) 116±13 90 – 150
Tekanan diastolik (mmHg) 73±7 60 – 90
Denyut nadi (permenit) 84±7 60 -100
Temperatur aksila (0C) 37±0,9 35,6 – 39,5
Frekuensi respirasi (permenit) 20±3 18 – 32
Tekanan intrakranial (mmHg) 108±13 85 – 135
Glascow Coma Scale ( E V M) 13±14 7-15
5.3 Karakteristik Gejala Dan Tanda Neurologi
Karakteristik gejala dan tanda neurologi berupa keluhan utama yaitu kejang
3 orang (10,3%), kesadaran menurun 8 orang (27,6%), lemah separuh tubuh 7 orang
(24,1%), muntah hebat 1 orang (3,4%), nyeri kepala 8 orang (27,6%), nyeri kepala
disertai batuk 1 orang (3,4%), keluhan tidak seimbang 1 orang (3,4 %). Karakteristik
penderita selengkapnya dapat dilihat pada tabel 5.3.
84
Tabel 5.3
Karakteristik Gejala Dan Tanda Neurologi (n=29)
Karakteristik Frekuensi %
Keluhan Utama
Kejang
Kesadaran menurun
Lemah separuh tubuh
Muntah hebat
Nyeri kepala
Nyeri kepala, batuk
Tidak seimbang
3
8
7
1
8
1
1
10,3
27,6
24,1
3,4
27,6
3,4
3,4
Total 29 100,0
5.4 Karakteristik Gambaran CT sken
Hasil pemeriksaan CT sken kepala dengan dan tanpa adanya
gambaran penyangatan kontras yang membentuk cincin terdiri dari 16 orang (55,2%)
(gambar 5.1. A,B,C,D). Karakteristik selengkapnya disajikan pada Tabel 5.4.
Tabel 5.4
Gambaran CT sken (n=29)
Karakteristik Frekuensi %
Gambaran CT sken
Menyangat kontras yang membentuk cincin
Tidak menyangat kontras dan tidak membentuk
cincin
16
13
55,2
44,8
Total 29 100,0
85
Gambar.5.1. CT Sken Kepala tanpa Kontras (kode nomor.13), Tampak Fokal
Hipoden Multipel daerah Basal Ganglia Kiri, Temporooksipital Kanan dengan
Perifokal Edema disekitarnya (A,B), tampak Penyangatan pada Pemberian Kontras
Berbentuk Cincin Ireguler yang Tipis, Kesan Suatu Toksoplasmosis Serebri (C,D).
A B
C D
86
5.5 Karakteristik Parameter Limfosit dan CD4
Hasil pemeriksaan kadar limfosit darah rerata 1,01 103/L dengan
kisaran 0,15 - 4,84 103/L, nilai tengah (median) 0,63 103/L, nilai terbanyak (modus)
0,55 103/L. Jumlah CD4 rerata 88 sel/mL dengan kisaran 1-367 sel/mL. Hasil
karakteristik disajikan pada tabel 5.5.
Tabel 5.5
Karakteristik Parameter Limfosit dan CD4 Subyek (n=29)
Karakteristik Rerata±SB Kisaran Nilai Tengah
(Median)
Nilai
Terbanyak
(Modus)
Jumlah limfosit
darah (103/L)
1,10±1,12
0,15-4,84
0,63
0,55
Jumlah CD4
(sel/mL) 88±104 1-367 44 1
5.6 Karakteristik Parameter Serologi Subyek
Hasil pemeriksaan kadar IgG anti toksoplasma dengan rerata 169 IU, kisaran
4-1.200 IU dan rerata kadar IgM anti toksoplasma 0,18 COI dengan kisaran 0-1,10
COI.. Hasil karakteristik selengkapnya disajikan pada tabel 5.6.
Tabel 5.6
Karakteristik Parameter Serologi Subyek (n = 29)
Karakteristik Rerata±SB Kisaran
IgG anti toksoplasmosis (IU) 169±229 4 - 1.200
IgM anti toksoplasmosis (COI) 0,18±0,26 0 - 1,10
87
5.7 Uji Diagnostik antara CD4 dan PCR CSS
Untuk mengetahui hubungan CD4 dengan hasil PCR CSS dipakai uji dignostik
menggunakan tabel silang 2x2. Hasil analisis disajikan pada Tabel 5.6
Tabel 5.7
Uji Diagnostik antara CD4 dan PCR CSS
Kelompok PCR CSS
Jumlah Positif Negatif
CD4 ≤100 9 11 20
>100 1 8 9
Jumlah 10 19 29
Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan tabel silang 2 x 2 didapatkan
sensitifitas 90,0%, spesifisitas 47,37%, nilai duga positif 45,37%, nilai duga negatif
88,9%, rasio kemungkinan positif 1,71, rasio kemungkinan negatif 0,21, dan akurasi
62,07%.
Pada penelitian ini juga dapat diketahui nilai pre probability dan nilai post
probability yang artinya kemungkinan untuk terdiagnosis positif suatu
toksoplasmosis sebelum ditambahkan kriteria CD4 sebesar 34,5% dan setelah
ditambahkan kriteria CD4 ≤ 100 sel/mL dapat meningkat menjadi 45,0%.
Kemungkinan untuk negatif atau tidak menderita toksoplasmosis serebri sebelum
penambahan kriteria CD4 >100 sel/mL sebesar 65,5% dan setelah penambahan kadar
CD4 meningkat 88,9%.
Hasil PCR dalam gel elektroforesis dengan memakai primer SAG 1
(gambar 5.2.A,B).
88
Gambar 5.2. (A) Hasil PCR Kode nomor 13, Positif Pita Tebal Dalam Gel
Elektroforesis Primer Target Gen SAG-1, (B) Hasil PCR Kode nomor 18,
Positif Dengan Pita tipis Dalam Gel Elektroforesis KP (Kontrol Positif),
KN (Kontrol Negatif) .
A
B
PCR +
PCR +
KP
KN
KP
KN
89
BAB VI
PEMBAHASAN
6.1 Karakteristik Demografi Subyek
Karakteristik demografi subyek pada penelitian ini berdasarkan umur
didapatkan nilai rerata umur 34 tahun yaitu pada usia pertengahan. Hal ini sesuai
dengan penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Nasional Kenyatta Nairobi,,
Kenya- Afrika. Mengenai profil dan karakteristik laboratorium pasien HIV dengan
toksoplasmosis serebri didapatkan rasioberdasarkan jenis kelamin laki-laki dan
wanita 1,3; 1, rerata umur usia pertengahan 38,84 tahun dan tidak ada perbedaan
status pernikahan ataupun pekerjaan . Hal ini dimungkinkan oleh karena pada usia
pertengahan merupakan usia seksual aktif yang produktif.
6.2 Karakteristik Tanda Vital
Karakteristik tanda vital meliputi tekanan darah sistolik dan distolik , denyut
nadi, temperatur aksila rerata dengan nilai 37 ±0,9 oC, kisaran 35,5-39,5 oC, tekanan
intrakranial dan derajat kesadaran penelitian ini tidak berbeda jauh dengan penelitian
lain. Pada penelitian lain disebutkan kenaikan temperatur >37,5 oC bervariasi
antara7-56% kasus (Renold, dkk., 1992).
6.3 Karakteristik Gejala dan Tanda Neurologi
Gejala dan tanda yang menjadi keluhan utama seperti kesadaran menurun
dan nyeri kepala merupakan keluhan yang paling banyak berdasarkan data demografi
subyek sebesar sebesar 27,6% dan tanda kedua terbanyak yaitu lemah separuh
tubuh sebesar 24,1% .Secara garis besar gejala dan tanda pada karakteristik
penelitian ini tidak berbeda jauh dengan penelitian lain. Penelitian lain juga
73
90
mendapatkan gejala kesadaran yang menurun merupakan keluhan yang terbanyak
sebesar 63,3% kemudian diurutan selanjutnya keluhan nyeri kepala sebesar 45,5%
dan kelemahan separuh tubuh sebesar 45,5%. Gejala dan tanda neurologi tersebut
disebabkan oleh karena adanya suatu efek massa yang mendesak di ruang intra
kranial sehingga menimbulkan gejala baik defisit neurologis fokal maupun
menyeluruh (Fabio, dkk., 2008).
6.4 Karakteristik Gambaran CT Sken.
Gambaran CT sken subyek penelitian ini adalah adanya penyangatan kontras
dan berbentuk cincin ireguler yang tipis sebesar 55,2% dan tidak adanya
penyangatan kontras sebesar 44,8%. Hal ini sesuai dengan penelitian lain yang
bertujuan untuk mendiagnosis toksoplasmosis serebri berdasarkan klinis dan
radiologis didapatkan penyangatan kontras dan berbentuk cincin pada CT sken
kepala sebesar 58,3% (Holliman, 1991).
Gambaran CT sken kepala dan MRI merupakan penunjang yang disarankan
untuk mendiagnosis toksoplasmosis serebri sebagai salah satu kriteria presumtif.
Namun MRI lebih sensitif daripada CT sken, oleh karena lesi yang tidak terdeksi
oleh CT sken dapat terdeteksi oleh MRI (Ramsey and Gean, 1997).
Gambaran CT sken dengan penyangatan kontras berbentuk cincin
berhubungan dengan proses proliferasi dan inflamasi pembuluh darah otak (Luft dan
Sivadas, 2002).
CT sken/MRI gambaran khas menyangat kontras berbentuk cincin memiliki
nilai HR 18 (p-value < 0.001), yang artinya adanya penyangatan kontras pada CT
sken sangat bermakna dalam menegakan diagnosis suatu toksoplasmosis serebri
(Raffi, dkk., 1997).
91
Penderita dengan toksoplasmosis serebri sebesar 75% ditemukan lesi
multipel pada gambaran CT sken kepalanya. Lesi fokal pada toksoplasmosis serebri
dapat digolongan dalam tiga besar yaitu abses yang nekrosis, abses yang sedang
terbentuk atau fase dini, dan abses kronis atau fase lambat. Gambaran lesi kistik
sering terjadi pada pasien dengan sistem imunitas tubuh yang sangat rendah sehingga
penyangatan kontras berbentuk cincin tidak akan terjadi (Ramsey dan Gean, 1997).
6.5 Karakteristik Parameter Limfosit dan CD4 Subyek
Hasil pemeriksaan kadar limfosit darah rerata 1,01 103/L, dengan kisaran
0,15-4,84 103/L, pada subyek kadar limfosit 0,55 103/L paling banyak ditemukan
dengan nilai tengah 0,63 103/L. Pada beberapa penelitian lain mengatakan adanya
hubungan yang baik antara total lymphocyte count(TLC) dengan kadar CD4 darah,
sehingga pemeriksaan kadar total limfosit dapat dijadikan alternatif lain untuk
mengetahui gambaran kadar CD4 darah, apabila pada daerah tertentu fasilitas
pemeriksaan CD4 tidak tersedia. Namun nilai total limfosit memiliki banyak cut off
untuk memperkirakan jumlah CD4 < 200 sel/µL, misalnya rentang kadar total
limfosit dengan cut off mulai dari kadar limfosit 1000 103/L , memiliki nilai
sensitifitas 53%, sensitifitas 98% hingga kadar total limfosit 1400 103/L nilai
sensitifitas 73%, spesifisitas 88% (Amburi, dkk., 2005).
Penelitian lain yang mengevaluasi kadar total limfosit sebagai alternatif
pengganti kadar CD4 mendapatkan hasil yang kurang konsisten ,berdasarkan cut off
kadar total limfosit terhadap kadar CD4 absolut. Kadar total limfosit ≤ 1000 sel/mm3
sebagai alternatif untuk memperkirakan kadar CD4 absolut ≤ 200 sel/ mm3, nilai
sensitifitasnya 29%, spesifisitas 98,3%, NDP 77,8%, NDN 87,1% sedangkan
92
memperkirakan kadar CD4 absolut ≤ 350 sel/ mm3, berdasarkan cut off kadar total
limfosit ≤ 1000 sel/mm3, memiliki nilai sensitifitas 9,4%, sppesifisitas 98,5%, NDP
75%, NDN 69,1% (Angelo, dkk., 2007).
Hasil kadar CD4 yang rendah pada penelitian ini dengan rerata 88 sel/mL
sesuai dengan hasil total kadar limfosit total rerata yang rendah 1,01 103/L. Kadar
CD4 yang rendah pada penelitian ini sesuai dengan penelitian lain dimana
didapatkan hasil CD4 rendah dengan nilai HR 2,3 (p-value < 0.001), yang artinya
CD4 rendah secara bermakna mampu mendiagnosis toksoplasmosis serebri (Raffi
dkk., 1997).
Peranan sel limfosit T CD4 memiliki peranan yang sangat penting untuk
menekan aktivasi dari T.gondii oleh karena lebih dari 95% toksoplasmosis serebri
terjadi oleh karena aktivasi dari infeksi laten khususnya pada individu imunosupresi
yang paling sering terjadi ketika kadar CD4 ≤ 0,1 x 109 /L (Dannemann dkk.,1992).
Toksoplasmosis serebri sangat jarang terjadi pada kadar CD4 ≥ 0,2 x 109 /L (Renold
dkk., 1992).
Hasil CD4 pada penelitian lain didapatkan penderita AIDS dengan
toksoplasmosis (84 ± 31,9 CD4 cells/µL darah) secara bermakna lebih rendah
dibandingkan penderita AIDS dengan infeksi oportunistik yang lain (180 ± 174 CD4
cells/µL darah) (Joseph dkk., 2002).
Penelitian lain pada penderita HIV/AIDS dengan seropositif
antitoksoplasma apabila kadar CD4 mulai turun ke level kritis ≤ 200 sel/mL maka
mulai timbul infeksi oportunistik dengan berbagai macam jenis penyakit. Pada level
CD4 ≤ 100 sel/mL infeksi toksoplasmosis menjadi reaktif berkisar 30-50% menjadi
toksoplasmosis serebri (Grant dkk.,1990).
93
Toksoplasmosis cenderung terjadi pada kadar CD4 ≤ 100 sel/mL dengan
kadar serologis IgG antitoksoplasmosis ≥ 150 IU/ml (Derouin dkk.,1996).
Berbeda dengan hasil penelitian tentang profil imunoblot sebagai prediktor
toksoplasmosis serebri pada penderita HIV dengan kadar CD4 ≤ 50/mm3 dan kadar
IgG antitoksoplasmosis positif lebih akurat dan lebih penting dibandingkan jumlah
kadar IgG antitoksoplasmosis untuk memprediksi suatu toksoplasmosis serebri
(Leport dkk., 2001).
Hasil dari nilai CD4 pada data demografi dapat menerangkan infeksi
toksoplasmosis pada penderita HIV/AIDS khususnya dengan kadar CD4 ≤ 100
sel/mL menyebabkan kematian oleh karena reaktivasi kista toksoplasmosis yang
awalnya bersifat laten menjadi aktif yang invasif (Joynson dan Wreghitt, 2001;
Marra dkk., 2008).
Hal tersebut didukung oleh penelitian eksperimental yang dilakukan pada
tikus yang diinfeksi dengan transgenik T.gondii dan diberikan obat anti sel T CD4
untuk menurunkan fungsi dan kadar CD4. Tikus terinfeksi tersebut akan dianalisis
fungsi kerja dari sel T CD4 untuk meregulasi parasit yang spesifik sel TCD8 saat
terinfeksi akut, kronis dan reinfeksi yang akan mengekspresikan sel T CD8 antigen ß
–galactosidase (ß –Gal). Hasilnya tikus yang terinfeksi fase akut dan selama
terinfeksi kronis tidak didapatkan frekuensi penurunan jumlah ß –Gal spesifik sel T
CD8 namun didapatkan penurunan yang bermakna ß –Gal spesifik gamma interferon
(IFN-γ) untuk memproduksi sitolitik sel T CD8 intraserebral. Setelah pengobatan
anti CD4 dihentikan dan terjadi peningkatan kadar CD4 mencapai normal kembali,
namun terjadi kegagalan secara bermakna kerja IFN-γ di intrasebral untuk
memproduksi ß –Gal –spesifik-sitolitik sel T CD8 (Sonja dkk., 2006).
94
Penelitian lain yang mendukung adalah penelitian pada sukarelawan
manusia dewasa sehat di Lousiana negara bagian Amerika. Subyek dilakukan
pengambilan darah vena untuk pengukuran serum antibodi spesifik toksoplasmosis,
hasil yang seropositif dan seronegatif antitoksoplamosis dimasukkan dalam uji
eksperimental ini. Keseluruhan subyek diinjeksikan takisoit strain RH (Tipe I) pada
sel fibroblast kulit kemudian dilakukan penelitian secara invivo pada sel epitelial
tikus. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui respon sel dendritik myeloid pada
manusia yang terinfeksi T.gondii. Hasil yang didapat bahwa infeksi T.gondii pada sel
myeloid dendritik dapat menyebabkan disfungsi limfosit T dan merangsang
serangkaian reaksi apoptosis. Sel dendritik dapat diinisiasi menghasilkan suatu
imunitas tubuh oleh T naive limfosit . Sel dendritik ini disebut Monocyte-derived
dendritic cells (MDDCs) yang telah terinfeksi T.gondii dapat merangsang
terbentuknya IFN-γ dan menghasilkan imunitas antitoksoplasmosis yang spesifik.
Namun pada penelitian ini tampak MDDCs yang telah terinfeksi toksoplasmosis
kemampuannya untuk mengaktifkan sel limfosit sangat rendah dan tidak mampu
untuk menghasilkan imunitas yang spesifik terhadap toksoplasmosis dan kegagalan
untuk mengaktifkan serangkaian sel limfosit lainnya termasuk CD4, CD8, CD28,
CD69. Pada keadaan imunosupresi dan tidak bereaksinya sel limfosit T serta
apoptosis terjadi pada infeksi akut toksoplasmosis. Sel MDDCs yang telah terinfeksi
toksoplasmosis akan terjadi penurunan fungsi apoptosis karena sel host menjadi
resisten untuk melakukan perangsangan terhadap sistem imun yang multipel dan
intra sel apoptosis. Hal ini dapat menjelaskan mengapa parasit dapat tidak terdeteksi
oleh sistem imun tubuh pada saat keadaan imun baik, dan terjadi perubahan fase
parasit menjadi reaktifasi dengan sangat cepat pada saat terjadinya imunosupresan
dan imunodefisiensi (Wei Shuang dkk., 2002).
95
Penelitian eksperimental lain yang mendukung mempergunakan tikus, yang
telah diinfeksikan T.gondii melalui peroral maupun diinjeksi, nampak pada hari ke -
7 respon sel T di berbagai organ (usus halus, hati, otak). Tubuh mengadakan reaksi
terhadap antigen T.gondii, subset sel T yang paling berperan adalah sel CD4, yang
bekerja menginduksi CD8 untuk bekerja di tingkat seluler melawan T.gondii.
Penelitian ini menggunakan kadar CD40, untuk mengevaluasi aktivasi sel T, dari
hasil histopatologi menunjukkan sel villi ileum tikus hancur dan nekrosis serta
adanya infiltrasi limfosit ke dalam lamina propria, hasil patologi sel hati tikus pada
hari ke -7 tampak perubahan bentuk sel hati dengan degenerasi lemak yang sedikit
namun tampak adanya fokal nodul limfosit hal ini membuktikan adanya reaksi akut
infeksi T.gondii, hasil patologi sel otak tikus pada hari ke-7 tampak sel mikroglia
mengalami nekrosis dan infiltrasi limfosit hampir pada seluruh sel otak dan terdapat
takisoit keseluruhan tikus sebagai binatang coba didapatkan tingginya respon imun
Th1 untuk T.gondii ( Lori dkk., 2002).
Selanjutnya melalui kerja makrofag (sel glial) di otak akan mengaktifkan
sitokin (IFN-γ dan TNFα) yang berperan sangat penting dalam mengontrol
perkembangan replikasi takisoit dalam kedua fase baik akut maupun kronis. Pasien
AIDS sistem imunitas yang berperan dalam merespon T.gondii yang reaktif kembali
adalah Th1 (CD4) yang mana akan memproduksi IFN-γ ( Karen, 2006).
Sel limfosit T CD4 merupakan target utama dalam infeksi HIV. Pada
mulanya sistem imun dapat mengendalikan infeksi HIV, namun dengan berjalannya
waktu secara kronis progresif HIV akan menimbulkan penurunan jumlah sel limfosit
CD4 yang berdiferensiasi menjadi Th1, keadaan seperti ini akan menimbulkan gejala
berbagai penyakit secara luas. Sel T mempunyai peranan sentral dalam mengatur
96
sistem imunitas tubuh. Bila teraktivasi oleh antigen, sel T akan merangsang baik
respon imun seluler maupun respon imun humoral. Namun yang terutama sekali
mengalami kerusakan adalah respon imunitas seluler. Pada HIV akan terjadi
gangguan jumlah maupun fungsi Th1, yang menyebabkan hampir keseluruhan
respon imunitas tubuh tidak berlangsung normal (Karnen, 2006).
6.6 Karakteristik Parameter Serologi Subyek
Hasil pemeriksaan kadar IgG anti toksoplasma dengan rerata 169 IU,
kisaran 4-1.200 IU dan rerata kadar IgM anti toksoplasma 0,18 COI . Penelitian ini
sesuai dengan penelitian lain tentang profil imunoblot sebagai prediktor
toksoplasmosis serebri pada penderita HIV dengan kadar CD4 ≤ 50/mm3 dan kadar
IgG antitoksoplasmosis positif lebih akurat dan lebih penting dibandingkan jumlah
kadar IgG antitoksoplasmosis untuk memprediksi suatu toksoplasmosis serebri
(Leport dkk., 2001). Diketahui faktor risiko toksoplasmosis serebri berdasarkan
serologis positif memiliki nilai hazard ratio (HR) 15,0 (p-value < 0.001) , yang
artinya adanya serologis yang positif secara bermakna untuk mendiagnosis suatu
toksoplasmosis serebri (Raffi, dkk., 1997).
Pada HIV dengan toksoplasmosis serebri peningkatan IgM tidak selalu
menunjukkan adanya infeksi baru karena antibodi Ig M antitoksoplasma secara
spesifik ditemukan pada pasien dengan reaktivasi toksoplasmosis serebri. Kadar Ig
M yang positif dan meningkat dapat diinterpretasikan sebagai infeksi akut dari
reaktivasi infeksi laten (recent infection) atau tes positif palsu (Sonja dkk., 2006).
97
6.7 Uji Diagnostik antara CD4 dan PCR CSS
Teknik biologi dan molekuler (biomol) untuk mendiagnosis penyakit infeksi,
menggunakan PCR mengurangi tindakan agresif yang invasif dalam pengambilan
spesimen melalui biopsi jaringan otak, sangat berhubungan dengan angka mortalitas
pasien dengan kecurigaan toksoplasmosis serebri pada AIDS (Portegies dan Berger,
2007).
Primer SAG 1 adalah primer yang dipakai dalam penelitian ini, dengan nilai
sensitifitas 30-88% dengan spesifisitas 100% (Lamoril J dkk., 1996).
Gen SAG 1 adalah primer dengan ekspresi gen takisoit atau pada fase
invasif yang dapat dideteksi, sedangkan gen B1 menyangkut pada fase takisoit dan
bradisoit mempergunakan metoda PCR menggunakan gen B1 didapatkan sensitifitas
yang bervariasi 11.5 % - 100% dan spesifisitas 96%-100% (Colombo dkk., 2005).
Hasil dari uji validitas kadar CD4 dan PCR CSS pada penelitian ini dengan
menggunakan cut-off CD4 ≤ 100 didapatkan hasil sensitifitas 90%, spesifisitas
47,37 %, nilai duga positif 45,37 %, nilai duga negatif 88.9%, rasio kemungkinan
positif 1.71%, rasio kemungkinan negatif 0.21%, akurasi 62.07%.
Nilai sensitifitas dalam penelitian ini adalah 90% yang artinya adalah
kemampuan kriteria kadar CD4 ≤ 100 sel/mL untuk positif mendiagnosis positif
toksoplasmosis serebri pada AIDS yang memenuhi kriteria presumtif toksoplasmosis
serebri sebesar 90% dari 29 subyek penelitian.
Nilai spesifisitas dalam penelitian ini adalah 47.37% yang artinya
kemampuan kriteria kadar CD4 ≤ 100 sel/mL untuk mendiagnosis negatif
toksoplasmosis serebri pada AIDS yang memenuhi kriteria presumtif
toksoplasmosis serebri sebesar 47,37% dari 29 subyek penelitian.
98
Nilai duga positif dalam penelitian ini adalah 45,37% artinya proporsi
jumlah yang positif terdiagnosis toksoplasmosis serebri terhadap semua hasil positif
terdiagnosis toksoplasmosis serebri sebesar 45,37% dari 29 subyek penelitian.
Nilai duga negatif dalam penelitian ini adalah 88,9% artinya proporsi
jumlah yang negatif terdiagnosis toksoplasmosis serebri terhadap semua hasil negatif
diagnosis toksoplasmosis serebri sebesar 88,9% dari 29 subyek penelitian.
Nilai ratio kemungkinan positif (RKP) adalah 1,71 % adalah perbandingan
antara hasil positif terdiagnosis toksoplasmosis serebri pada kelompok yang memang
positif dibandingkan dengan hasil positif pada kelompok negatif yang terdiagnosis
toksoplasmosis serebri sebesar 1,71%.
Nilai ratio kemungkinan negatif (RKN) adalah 0,21% artinya adalah
perbandingan antara hasil negatif yang terdiagnosis toksoplasmosis serebri pada
kelompok yang positif dibandingkan dengan hasil negatif pada kelompok yang
negatif sebesar 0,21.
Nilai akurasi kriteria kadar CD4 ≤ 100 sel/mL menegakkan diagnosis
toksoplasmosis serebri pada AIDS yang memenuhi kriteria presumtif toksoplasmosis
serebri sebesar 62,07%.
Nilai NDP dan NDN dipengaruhi oleh prevalensi penyakit, kedua nilai ini
akan berbeda jika dilakukan pada populasi dengan prevalensi penyakit yang berbeda.
Parameter yang tidak dipengaruhi oleh prevalensi penyakit adalah RKP dan RKN.
Penelitian uji validitas ini kriteria kadar CD4 ≤ 100 sel/mL mempunyai
kelebihan dimana nilai diagnostiknya baik secara statistik , karena memiliki arti yang
penting bagi seorang klinisi dalam menyingkirkan diagnosis dengan nilai sensitifitas
90% (highly sensitive, negative result role out) , yang artinya bahwa nilai sensitifitas
99
kriteria kadar CD4 ≤ 100 sel/mL yang tinggi sangat baik digunakan sebagai suatu
alat diagnostik awal untuk menyingkirkan adanya suatu toksoplasmosis serebri
sensitifitas sebesar 90%. Begitu pula dengan nilai NDN yang tinggi dapat
menjelaskan bahwa kriteria kadar CD4 sangat baik untuk menyingkirkan diagnosis
toksoplasmosis serebri sebesar 88,9% , yang artinya bahwa memang benar diagnosis
toksoplasmosis serebri kemungkinan besar negatif sebesar 88,9% apabila kadar CD4
>100 sel/mL .
Kelebihan lain pada penelitian ini dapat diketahui nilai pre probability dan
nilai post probability kriteria kadar CD4 yang artinya kemungkinan untuk
terdiagnosis positif suatu toksoplasmosis sebelum ditambahkan kriteria CD4 sebesar
34,5% dan setelah ditambahkan kriteria CD4 ≤ 100 sel/mL dapat meningkat menjadi
45,0%. Kemungkinan untuk negatif atau tidak menderita toksoplasmosis serebri
sebelum penambahan kriteria CD4>100 sel/mL sebesar 65,5% dan setelah
penambahan kadar CD4 meningkat 88,9%. Hal tersebut sangat penting sebagai
bahan pemikiran klinisi dalam memberikan terapi empiris antitoksoplasmosis serebri
apabila CD4 >100 se/mL.
Kelemahan penelitian ini pada primer SAG 1 yang digunakan kurang
sensitif karena hanya mampu mendeteksi DNA gen fase takisoit, yang mungkin saja
belum cukup banyak beredar karena masih dalam bentuk bradisoit. Hal ini sesuai
dengan penelitian mengenai primer oligonukleotida spesifik untuk mendeteksi
toksoplasmosis serebri sesuai fase perkembangannya secara biomolekuler pada
penderita AIDS. Subyek penelitian ini terdiri dari 46 penderita AIDS, yang terdiri
dari 16 subyek terinfeksi baru dan 11 subyek dengan reaktivasi infeksi lama dan
sisanya penderita AIDS dengan lesi fokal selain toksoplasmosis serebri. Hasil pada
100
penelitian ini dapat membedakan suatu toksoplasmosis yang baru terinfeksi ataupun
yang reaktivasi dari infeksi laten dimana target sequensing primer dibentuk untuk
dapat mengekspresikan saat fase bradisoit mempergunakan gen (Surfice Antigen 4)
SAG4 dan (Merozoite Antigen1)MAG1, fase takisoit gen SAG1 dan pada kedua fase
gen B1 kemudian dilakukan nested (nPCR) dimana tiap hasil gen yang positif
diperpendek lagi pita gennya sehingga akan lebih sensitif dan spesifik PCR, nilai
sensitifitas 99-100% dengan spesifisitas 100%.
Penelitian lain yang mendukung rendahnya sensitifitas adalah waktu saat
dilakukannya lumbal pungsi untuk pengambilan CSS, kadar terendah T.gondii yang
masih dapat dideteksi dengan PCR pada penderita HIV dimana pada penelitian ini
dijelaskan pemberian pengobatan antitoksoplasmosis sebelum hari ke-7 memberikan
sensitifitas PCR 25% dengan spesifisitas 100% dan menjadi semuanya negatif
sehingga sensitifitas PCR 0% setelah hari ke-7 hingga setelah hari ke-10 pengobatan
antitoksoplasmosis (Franzen dkk., 1997).
Pemberian obat antitoksoplasmosis dapat menyebabkan takisoit yang
beredar menjadi sedikit dan cenderung bersih dalam CSS sehingga menyebabkan
hasil PCR menjadi negatif hingga 50-70% (Contini dkk,.2002).
Nilai sensitifitas dan spesifisitas dapat rendah karena tidak terdeteksinya
lagi DNA toksoplasmosis serebri oleh karena pemberian obat antitoksoplasmosis
sebelum dilakukan lumbal pungsi atau keterlambatan dilakukan pungsi lumbal oleh
berbagai sebab sehingga DNA toksoplasmosis pada serum darah dan CSS menjadi
bersih lebih dari 30%-70% sesuai dengan waktu mulainya pengobatan (Cazenave
dkk,.1991; Vershoftstede dkk,. 1993).
101
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan
Uji validitas kriteria CD4 memiliki arti penting bagi klinisi dalam diagnosis
toksoplasmosis serebri karena kriteria kadar CD4 sebagai kriteria yang ditambahkan
pada kriteria presumtif, mampu menyingkirkan diagnosis toksoplasmosis serebri
dengan sensitifitas 90% dan NDN sebesar 88,9%.
Pada penelitian ini juga dapat diketahui nilai pre probability dan nilai post
probability yang artinya kriteria CD4 dapat meningkatkan nilai diagnosis
toksoplasmosis serebri yang sebelum ditambah dengan kriteria CD4 ≤ 100 sel/mL
sebesar 34,5% menjadi sebesar 45,0%. Kriteria CD4 ≤ 100 sel/mL dapat
meningkatkan diagnosis toksoplasmosis serebri dengan cara meningkatkan
kemungkinan negatif artinya kriteria CD4 menyingkirkan diagnosis toksoplasmosis
serebri sebelum penambahan kriteria CD4 > 100 sel/mL sebesar 65,5% dan setelah
penambahan kadar CD4 meningkat menjadi 88,9%. Hal tersebut sangat penting
sebagai bahan pemikiran klinisi dalam memberikan terapi empiris
antitoksoplasmosis apabila CD4 >100 sel/mL.
Penambahan kriteria CD4 ≤ 100 sel/mL dalam kriteria presumtif
toksoplasmosis serebri dapat menghindarkan tindakan invasif melalui lumbal pungsi
untuk pemeriksaan PCR CSS, lebih murah dan juga lebih praktis karena tidak
diperlukan ketrampilan dan persiapan khusus untuk pengambilan sampel darah.
85
102
7.2 Saran
Kriteria presumtif yang ditambah dengan kriteria CD4 ≤ 100 sel/mL dapat
dijadikan pemeriksaan rutin untuk mendiagnosis toksoplasmosis serebri khususnya
pada penderita imunokompremis bagi tenaga medis yang bekerja di pelayanan
kesehatan dengan fasilitas penunjang terbatas dan belum tersedia fasilitas
pemeriksaan biomolekuler PCR .
Diperlukan penggunaan metoda PCR dalam segala fase takisoit dengan
mempergunakan primer SAG1, SAG4, MAG1, dan gen B1 secara bersamaan
dan dilakukan nested PCR (nPCR) untuk lebih meningkatkan sensitifitas dan
spesifisitas PCR.
103
DAFTAR PUSTAKA
Antonellla, C., De-Luca, A., Ammassari, A., Murri, R.,Linzalone, A., Grillo, R.,
Antinori, A. 1996. PCR detection of Toxoplasma gondii DNA in CSF for the
differential diagnosis of AIDS-related focal brain lesions. J Med Mirobiol;
45: 472-476.
Amburi, MW.D.Mkaya. Predicting CD4 Count Using Total Lymphocyte Count: A
Sustainable Tool For Clinical Decisions During HAART
use.Am.J.Trop.Med.Hyg; 73(1): 58-62.
Angelo, D.L.A., 2007. Evaluating Total Lymphocyte Counts as a Substitute for CD4
Counts in The Follow Up of AIDS Patients; The Brazillian Journal of
Infectius Diseases; 11(5):466-470.
Bahia-Oliveira, L.M., Jones, J.L., Azevedo-Silva,J., Alves,C.C., Orefice,F.,
Addiss,D.G. 2003. Highly endemic, waterborne toxoplasmosis in north Rio
de Janeiro state, Brazil. Emerging Infect Dis; 9:55-62.
Black, M.W., Boothroyd,J.C. 2000. Lytic Cycle of Toxoplasma gondii. Microbiology
and Molecular Biology Reviews; 64(3):607-623.
Bohne, W., Gross, U., Heeseman, J. 1993. Differention between mouse-virulent and
avirulent strains of Toxoplasma gondii by a monoclonal antibody recognizing
a 27-kilodalton antigen. Journal of Clinical Microbiology; 31: 1641-1643.
Burg, J.L.,Grover, C.M., Poletty, P., Boothroyd, J.C. 1989. Direct and sensitive
detection of a pathogenic protozoan, Toxoplasma gondii, by polymerase
chain reaction. Journal of Clinical Microbiology; 27: 1787-1792.
Carruthers,V.B.,Suzuki,Y.2007.Effects of Toxoplasma gondii Infection on the
Brain.Schizophrenia Bulletin.Virginia,33:745-751.
Cazenave, J., Cheyrou, A.,Blouin, P., Johnson, A.M., Begueret, J.,dkk. 1991. Use of
polymerase chain reaction to detect toxoplasma. J Clin Pathol;44: 1037.
Centers for Disease Control and Prevention.1993.Revised classification system for
HIV infection and expanded surveillance case definition for AIDS among
adolescents and adults. JAMA;10:729-730.
104
Cheyrou,A.,Fischer,I.,Leng,B.,Jean-Yves,L.,1995.Detection of Toxoplasma gondii by
PCR and Tissue Culture in Cerebrospinal Fluid and Blood of Human
Immunodeficiency Virus-Seropositive Patiens. Journal of Clinical
Microbiology; 33(9):2421-2426.
Chirch, L., Luft, B. 2007. Cerebral Toxoplasmosis in AIDS. In: Portegies,P., Berger,
J.R.Handbook of Clinical Neurology.85 th.ed.3rd.Ed.Elsevier, B.V.p.147-155.
Cingolani,A.,DeLuca,A.,Ammassari,A.,Murri,R.,Linzalone,A.,Grillo,R.,Antinori,A.1
996. PCR detection of Toxoplasma gondii DNA in CSF for the differential
diagnosis of AIDS-related focal brain lesions.J med Microbiol;45: 472-476.
Clarke,M.D.,Cross,J.H.,Gunning,J.J.,Reynolds,R.D.,Oemijati,S.,Partono,F.,Hudoyo.,
Hadi.1973. Human malaria and intestinal parasites in Kresek,West
Java,Indonesia with a cursory serological survey for toxoplasmosis and
amoebiasis. Southeast Asian J.Trop.Med.Pub.Health; 4(1):32-36.
Claudia, R., Martinez, R., Figueiredo, R.T., Bozza, T.M., Lima, F.R.S., Pires, L.A.,
Bonomo, A., Vieira, L.J., De Souza, W., Neto, V.M. 2003. Soluble Factors
Released by Toxoplasma gondii-Infected Astrocytes Down-Modulate Nitric
Oxide Production by Gamma Interferon-Activated Microglia and Prevent
Neuronal Degeneration. Infection and Immunity Journal; 71(4):2047-2057.
Clifford, D.B.2006. Treatment of opportunistic infections associated with HIV
infection. In : Gendelman, E.H., Grant, I., Everall, I.P., Lipton, S.A.,
Swindells, S. The Neurology of AIDS. 2rd. New York: Oxford University
Press.p.721-727
Colombo, F.A., Jose, E.V., Augusto,C.P., Andrian,V.H., Bonasser-Filho,F.,
Nogueira,R.S., Focaccia,R., Pereira-Chioccola,V.L.2005. Diagnosis of
Cerebral Toxoplasmosis in AIDS Patients in Brazil:Importance of Molecular
and Immunological Methods Using Peripheral Blood Samples. Journal of
Clinical Microbiology;43(10):5044-5047.
Contini, C., Cultrera, R., Seraceni, S., Segala, D., Roberto, R.,dkk.2002. The role of
stage-spesifik oligonucleotide primers in providing effective laboratory
support for the molecular diagnosis of reactivated toxoplasma gondii
encephalitis in patients with AIDS.J.Med.Microbiol;51:879-890.
105
Correia, C.C., Melo,H.R.L.,Costa,V.M.A. 2009. Influence of neurotoxoplasmosis
characteristics on real-time PCR sensitivity among AIDS patients in Brazil.
Royal Society of Tropical Medicine and Hygiene; 104(2010):24-28.
Crispina, H.C., Selina, C.C., Glenn, A.T.2003. Diffusion-Weighted MRI of Cerebral
Toxoplasma abscess. AJR; 181:1711-1714.
Dannemann, B., McCutchan, J.A., Israelski, D.M., Antoniskis, D., Leport, C.,
Luft,B., dkk.1992. Treatment of toxoplasmic encephalitis in patients with
AIDS. A randomized trial comparing pyrimitamine plus clindamycin to
pyrimethamine plus sulfadiazine. Annals of Internal Medicine;116:33-43.
Denkers, E.Y., Gazzinelli, R.T. 1998. Regulation and Fuction of T-Cell-Mediated
Immunity during Toxoplasma gondii Infection. Clinical Microbiology
Reviews; 11 (4): 569-588.
Depkes (Departemen Kesehatan RI) Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit
Menular dan Penyehatan Lingkungan. 2004. Pemantauan Klinis dan
Laboratorium. Dalam: Pulungsih, S.P., editors. Pedoman Pengobatan
Antiretroviral (ART) di Indonesia. Jakarta: Direktur Jenderal PPM&PL.hal.
22-24.
Derouin, F., Leport, C., Pueyo, S., Morlat, P., Letrillart, B., Chene, G.,Vilde, J, L.,
Salamon, R., ANRS 005-ACTG 154 Trial Group.1996. Predictive value of
Toxoplasma gondii antibody titres on the accurrence of toxoplasmic
encephalitis in HIV infected patients. AIDS,10:1521-1527.
Dubey, J.P. 2010. Toxoplasmosis of Animals and Humans. Second Edition. New
York: CRC Press.
Dubey, J.P. 1996. Toxoplasmosis gondii. In: Baron,S., Peake,R.C., James,D.A.,
Susman,M., Kennedy,C.A., Singleton,M.J.D., Schuenke,S., editors. Medical
Microbiology.5th.Ed.Austin: University of Texas.p.84.
Dupon,M.,Cazenave,J.,Jean-Luc,P.,Jean-Marie,R., Cheyrou,A., Fischer,I., Leng,B.,
Jean-Yves,L.1995. Detection of Toxoplasma gondii by PCR and Tissue
culture in Cerebrospinal Fluid and Blood of Human Immunodeficiency Virus-
Seropositive Patients.Journal of Clinical Microbiology;33(9):2421-2426.
106
Dupon, M., Cazenave, J., Pellegrin,J.L., Jean-Marie,R.,Hall,S., Ryan,M., Buxton, D.
2001. The Epidemiology of toxoplasma infection. In : Joynson,D.H.M.,
Wreghitt,T.G., editors. Toxoplasmosis a Comprehensive Clinical Guide.
1st.Ed. New York: Cambridge University Press.p.58-124.
Ferguson, D.J.P., Hutchison, W.M., Pettersen, E. 1989. Tissue cyst rupture in mice
chronically infected with Toxoplasma gondii: an immunocytochemical and
ultrastructural study. Parasitologi Research; 75: 599-603.
Franzen, C., Altfeld, M., Hegener, P., Hartmann, P. 1997. Limited Value of PCR for
Detection of Toxoplasma gondii in Blood from Human Immunodeficiency
Virus-Infected Patients.Journal of Clinical Microbiology; 35(10): 2639-2641.
Grant, I.H., Gold, M., Rosenblum, D., Niedzwiecki, dkk,.1990. Toxoplasma gondii
serology in HIV-infected patients : the development of central nervous system
toxoplasmosis in AIDS;4: 519-521.
Gross, U., Muller, W.A., Knapp, S., Heesemann, J. 1991. Identification of a
virulence-associated antigen of Toxoplasma gondii by use a mouse
monoclonal antibody. Infection and Immunity;59: 4511-4516.
Guo, Z.G., Gross, U., Johnson, A. M. 1997. Toxoplasma gondii virulence markers
identified by random amplified polymorphic DNA polymerase chain reaction.
Parasitology Research; 83: 458-463.
Hall, S., Ryan, M., Buxton, D. 2001. The epidemiology of toxoplasma infection. In:
Joynson, H.D., Wreghitt, T.G., editors. Toxoplasmosis a comprehensive
clinical guide. Ed. New York: Cambridge University Press.p.85-113.
Hill,D.,Dubey J.P. 2002. Toxoplasma gondii: transmission,diagnosis and prevention.
J Clin Microbiol Infect; 8:634-640.
Holliman, R.E.,1991. Clinical and diagnostic findings in 20 patients with
toxoplasmosis and the Acquired Immune Deficiency
Syndrome;J.Med.Microbiol: 35:1-4.
Indah-Elyani,Susila,U.,Agus,S.,Merati, T.P.2008.“Profil toksoplasmosis serebri pada
pasien Human Acquired Immunodeficiency Virus / Acqured
Immunodeficiency Syndrome (HIV/AIDS) di Rumah Sakit Sanglah
Denpasar”(penelitian kecil).Denpasar: Tropical and Infectious Disease Divisi
on Departement of Internal Medicine Udayana University / Sanglah Hospital.
Jenun,P.A.,Holberg-Petersoen,M.,Melby,K.K.,Stray-Pedersoen,B.1998. Diagnosis of
congenital Toxoplasma gondii infection by polymerase chain reaction (PCR)
in amniotic fluid samples. APMIS;106:680-686.
107
Jorge, C., Tato, C., Cai, G., Villegas, E.N., Speirs, K., Craig, L., Alexander,
J.,Hunter, C.A. 2000. Identification of a Role for NF-kappa B2 in the
Regulation of Apoptosis and in Maintenance of T Cell-Mediated Immunity to
Toxoplasma gondii. J. Immunol: 165: 5720-5728.
Joseph,P., Calderon,M.M., Gilman,H.R., Quispe,M.L., Cok,J., Ticona,E., Chavez,V.,
Jiminez,J.A., Chang,M.C., Lopez,M.J., Evans,C.A. 2002. Optimization and
Evaluation of a PCR Assay for Detecting Toxoplasmic in Patients with AIDS.
Journal of Clinical Microbiology;40(12):4499-4503.
Joynson, D.H.M., Wreghitt, T. G. 2001. Toxoplasma infection in HIV-infected
patients. In: Mariuz, P., Steigbigel, R. T. Handbook Toxoplasmosis A
comprehensive clinical guide.Ed. Cambridge: 163-180.
Kasper, L.H., Ware, P.L. 1989. Identification of stage specific antigens of
Toxoplasma gondi. Infection and Immunity; 57: 668-672.
Karnen, G.B. 2006. Imunologi Dasar . Edisi ke-7.Jakarta: Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
Khalifa,E.S.K., Roth,A., Roth,B., Arasteh,K.N., Janitschke,K. 1994. Value of PCR
for Evaluating Occurrence of Parasitemi in Immunocompromised Patients
with Cerebraland Extracerebral Toxoplasmosis. Journal of Clinical
Microbiology;32(11):2813-2819.
Kure, K., Harris, C., Morin, L.S., Dickson, D.W.,(1991). Human Immunodeficiency
virus-1 infection of the nervous system: an autopsy study 268 adult pediatric
and fetal brains. Hum Pathol;22:700-710.
Leport,C.,Franck,J.,Chene,G.,Derouin,F.,Jean-Luc,E., Pueyo,S., Miro,M.J., Luft,B.J.,
Morlat,P.,Dumon,H.2001.Immunoblot Profile as Predictor of Toxoplasmic
Encephalitis in Patients Infected with Human Immunodeficiency
Virus.Clinical and Diagnostic laboratory Immunology;8(3):579-584.
Lisawati, S., Supali,T.,Gandahusada,S. 2002.Penentuan Konsentrasi Minimal Gen
B1 dan Gen P30 Toxoplasmosis Gondii yang masih Terdeteksi dengan
Reaksi Rantai Polimerase.Makara Kesehatan;6(2):
Lion A.W., Strub, R.L., Garcia, C.A.1988. Decision Making In Adult
Neurology.Philadelphia: Manygraphic Publishers .p.234.
Lori, C., Ely, K.H., Williams, M.E., Khan, I.A.2001. CD-8-T-Cell Immunity against
Toxoplasmosis gondii can be Induced but Not Maintained in Mice Lacking
Conventional CD4 T Cells. Infection and Immunity Journal; 70(2):434-443.
108
Luft, B.J., Sivadas, R. 2002. Toxoplasmosis. In: Scheld, W.M., Whitley, R.J., Marra,
C.M. Infection of the Central Nervous System. Ed.Lippincott,Philadelphia,
PA;755-776.
Merati, T. P., Samsuridjal-Djauzi.2006. Respon Imun Infeksi HIV. Dalam:
Sudoyo,A.W., Setiyohadi, B.,Alwi,I., Simadibrata,M.K., Setiati,S., editors.
Ilmu Penyakit Dalam.Edisi ke-4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.hal.274-286.
Murdoch, M.D., Ventar, W.D.F., Van Rie, A., Feldman, C. 2007. Immune
reconstitution inflammatory syndrome (IRIS): review of common infectious
manifestations and treatment options. Bio Med AIDS Research and Therapy;
4: (9): 1-10.
Mordechai, L., Estok, L., Machac, J., Germano, I., Sacher, M., Feldman,
R.,Wallach,F., Dorfman,D. 1996. Rapid Differential Diagnosis of Cerebral
Toxoplasmosis and Primary Central Nervous System Lymphoma by Thallium-
201 SPECT. The Journal of Nuclear Medicine; 37(7):1150-1153.
Ossorio, P.N., Sibley, L.D., Boothroyd, J.C. 1991. Mitochondrial –like DNA
sequences flanked by direct and inverted repeats in the nuclear genome of
Toxoplasma gondii. Journal of Molecular Biology; 222: 525-536.
Pamela, B., Johnson, B., VanMetter, J.W.2003. Positron Emission Tomography
(PET) and Single Photon Emission Computed Tomography (SPECT):
Clinical Applications. J Neuro-Ophthalmol;23:34-41.
Pohan, H.T. 2006. Toksoplasmosis. Dalam: Sudoyo,A.W., Setiyohadi,B., Alwi,I.,
Simadibrata,M.K., Setiati,S., editors. Ilmu Penyakit Dalam. 4th.Ed. Jakarta:
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.hal.1780-1788.
Pokdisus (Kelompok Studi Khusus) AIDS Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia ., Perhimpunan Dokter Peduli AIDS Indonesia (PDPAI).2005.
Toksoplasmosis. Dalam: Yunihastuti, E., Djauzi, S., Djoerban, Z., editors.
Infeksi Oportunistik pada AIDS.Ed.Jakarta: Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.hal.33-38.
109
Portegies, P., Berger, J.R. 2007. HIV/AIDS and The Nervous System. In : Aminoff,
M.J., Boller, F., Swaab, F.D. Hand Book of Clinical Neurology.85th. Ed.
Elsevier.p.147-158.
Ramsey, R.G., Gean, A.D., 1997. Central nervous system toxoplasmosis. Neuroimag
Clin North Am; 35:1127-1166.
Raffi, F., Aboulker, J.K., Michelet., dkk.1997. A prospective study of criteria for the
diagnosis of toxoplasmic encephalitis in 186 AIDS patients. The BIOTOXO
Study Group.AIDS; 11(2):177-184.
Remington, J.H., Desmonts, G.,1983. Toxoplasmosis. In: Remington, J.H., Klein,
J.O., editors. Infectious Diseases of the Fetus and Newborn Infant. Ed.
London : Saunders Co.
Renold, C., Sugar, A., Chause, J.P., Perrin, L. Delavelle, J., Pizzolato, G. 1992.
Toxoplasma encephalitis in patients with the acquired immunodeficiency
syndrome. Medicine (Baltimore);71:224-39.
Roullet,E.1999. Opportunistic infections of the central nervous system during HIV-1
infections (emphasis on cytomegalovirus disease). J Neurol;246:237-243.
Samil, R.S. 1988. Toksoplasmosis pada ibu hamil dan bayi. Seminar sehari penyakit-
penyakit manusia yang ditularkan oleh hewan piaraan. Jakarta.
Sara, M.G., Malik,A.K.,Al-Hilli, F.2009.Cerebral Toxoplasmosis in an HIV Positive
Patient: A Case Report and Review of Pathogenesis and Laboratory
Diagnosis.Brain Med Bull;31(2):
Sayogo, Gandahusada, S. 1980. Survei titer zat anti Toxoplasma gondii pada wanita
hamil trimester terakhir di RSCM. Maj. Kedok. Indon. 30:237-241.
Sibley, L. D., Boothroyd, J.C. 1992. Construction of a molecular karyotype for
Toxoplasma gondii. Molecular and Biochemical Parasitology; 92: 496-5000.
Sonja, L., Soltek, S.,Virna,S.,Deckert,M.,Schluter, D. 2006. Organ-and Disease-
Stage-Specific CD8-T-Cell Responses by CD4 T Cells.Infection and Immunity
J; 74(10):5790-5801.
Sopiyudin-Dahlan, M. 2009. Penelitian Diagnostik. Edisi ke-5. Jakarta: Penerbit
Salemba Medika.
110
Surya-Sanjaya,Susila,U.,Agus,S.,Merati,T.P.2008. “Karakteristik toksoplasmosis
pada pasien Human Acquired Immunodeficiency Virus (HIV) di Rumah Sakit
Sanglah Denpasar”(penelitian kecil).Denpasar: Tropical and Infectious
Disease Divisi on Departement of Internal Medicine Udayana University /
Sanglah Hospital.
Verhofstede, C., Reniers, S., Colebunders, R.,Van Wanzeele, F.,dkk.1993.
Polymerase chain reaction in the diagnosis of Toxoplasma
encephalitis.AIDS;11: 1888-1890.
Vidal,E.J.,Colombo,A.F.,Augusto,C.,Oliveira,P.,Focaccia,R.,Pereira-Chioccola,L.V.
2004. PCR Assay Using Cerebrospinal Fluid for Diagnosis of Cerebral
Toxoplasmosis in Brazilian AIDS patients.Journal of Clinical Microbiology;
42(10):4765-4768.
Viqar, Z. 1997. Toksoplasma gondii. Dalam: Anwar ,C., editors. Atlas Parasitologi
Kedokteran. Kedua.Ed.Jakarta: Penerbit Hipokrates.hal.86-101.
Ware, P.L., Kasper, L.H. 1987. Strain-spesific antigens of Toxoplasma gondii.
Infectin and Immunity; 55: 778-783.
Wei, S., Marches, F., Borvak, J., Zou, W., Channon, J., White, M.,Radke,J., Marie-
France,C., Curiel, T.J. 2002. Toxoplasma gondii-Infected Human Myeloid
Dendritic Cells Induce T-Lymphocyte Dysfuction and Contact-Dependent
Apoptosis. Infection and Immunity J; 70(4): 1750-1760.
Yamamoto, M., Tokuchi, M., Hatta, S. 1970. A Survey of anti toxoplasma
hemagglutinating antibodies in sera from residents and certain species of
animals in Surabaya, Indonesia. Kobe J Med Sci; 16:273-280.
Zangerle, R., Allerberger,F., Pohl,P. 1991.High risk of develophing toxoplasmic
encephalitis in AIDS patients seropositive to Toxoplasma gondii.Med
Microbiol Immunol;180:56-66.
Zubairi-Djoerban., Samsuridjal-Djauzi. 2006. HIV/AIDS di Indonesia. Dalam:
Sudoyo, A.W., Setiyohadi,B., Alwi,I., Simadibrata,M.K., Setiati,S., editors.
Ilmu Penyakit Dalam.Edisi ke-4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.hal.1825-1830.
111
112
Lampiran 1
Denpasar, 2010
INFORMASI PASIEN
(Inform consent)
Dengan ini kami mengharapkan partisipasi Bapak/Ibu/saudara dalam
penelitian ilmiah yang dilaksanakan oleh dr. I A Sri Indrayani.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui validitas kriteria kadar CD4 ≤ 100
sel/mL, dalam menegakkan diagnosis toksoplasmosis serebri pada penderita AIDS
yang memenuhi kriteria presumtif untuk mendiagnosis toksoplasmosis serebri di
Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar
Secara keseluruhan jumlah pasien yang akan dilakukan penelitian berjumlah
minimal 29 orang pasien AIDS dan memenuhi kriteria presumtif toksoplasmosis
serebri yang rawat inap di RSUP Sanglah Denpasar, termasuk Bapak/ibu/saudara
yang akan berperan serta dalam penelitian ini. Hendaknya Bapak/ibu/saudara
mendengarkan an membaca secara seksama informasi ini sebelum memutuskan
untuk turut berpartisipasi, jangan ragu untuk bertanya jika ada hal yang belum
dimengerti. Pada awal pemeriksaan Bapak/Ibu/saudara akan dilakukan wawancara
kemudian pemeriksaan fisik / klinis secara umum dan neurologi, serta pemeriksaan
laboratorium berupa tes darah vena untuk diperiksakan kadar CD4(kadar imunitas/
zat antibodi/ zat kekebalan tubuh), pemeriksaan darah vena ini mempergunakan spuit
3cc dan diambil darah sebanyak ± 3cc atau kira kira ± 52-60 tetes dan lumbal pungsi
untuk pemeriksaan cairan tubuh yang berada diantara sumsum tulang belakang.
Lumbal pungsi dilakukan memakai jarum spinal G.20, merk Terumo yang akan
disuntikkan pada daerah punggung bagian bawah, tepatnya ditengah garis imajinasi
yang ditarik tepat pada sumsum tulang belakang setinggi pertemuan antara batas
kedua tulang pinggul. Saat penyuntikan akan terasa sakit seperti ditusuk jarum,
setelah cairan serebro spinal keluar akan ditampung mempergunakan tabung Hank
dengan volume 1 cc atau kira kira 18-20 tetes, setelah dilakukan penyuntikkan
Bapak/Ibu/saudara tidur terlentang atau miring tanpa mempergunakan bantal, jangan
terlebih dahulu bangun atau duduk selama ± 3-6 jam, perbanyak minum air putih ± 2
113
liter/hari, keluhan yang mungkin dapat muncul setelah dilakukan lumbal pungsi
adalah merasakan sakit kepala, dan apabila keluhan ini muncul dapat segera
melaporkan ke petugas medis untuk segera diberikan obat penghilang nyeri
kemudian dilakukan pemantauan ketat hingga keluhan nyeri berkurang bahkan
hilang atau tidak dirasakan lagi.
Darah vena yang diambil kemudian diperiksakan di laboratorium RSUP dan
pengambilan cairan tubuh melalui lumbal pungsi seperti tersebut diatas kemudian
akan diperiksa di laboratorium biologi dan molekuler (biomol) FK Udayana. Selama
penelitian Bapak/ibu/saudara tidak dikenai biaya dan kami sangat menghargai dalam
bentuk ucapan terimakasih yang sebesar besarnya kami haturkan atas jasa dan
partisipasi Bapak/Ibu/saudara dalam penelitian ini yang teramat penting bagi
kemajuan dibidang ilmu pengetahuan, khususnya dibidang dunia kedokteran. Besar
harapan kami atas berkat jasa Bapak/Ibu/saudara dapat membantu saudara saudara
kita lainnya yang menderita AIDS yang dicurigai menderita toksoplasmosis serebri
sehingga lebih mendapatkan kemudahan dalam penegakkan diagnosis menjadi lebih
akurat.
Data-data dalam penelitian ini akan dikumpulkan dan disimpan dalam data
komputer tanpa nama Bapak/ibu/saudara. Hanya peneliti yang mengetahui data-data
bapak/ibu/saudara. Hasil penelitian ini akan dipublikasikan diforum ilmiah terbatas
tanpa menampilkan identitas Bapak/ibu/saudara.Sehubungan denngan penelitian ini,
bila timbul pertanyaan mengenai penelitian ini harap menghubungi :
dr. I A Indrayani, no telp HP : 087 860 605 915 Tlp. 221558
114
Lampiran 2
Denpasar, 2010
SURAT PERSETUJUAN MENGIKUTI PENELITIAN
(Inform consent)
Yang bertandatangan dibawah ini :
Nama : Hubungan dengan pasien
Jenis Kelamin : (ayah/ibu/anak kandung/
Umur : saudara kandung)
Pekerjaan :
Alamat :
Setelah mendapatkan penjelasan secara terperinci dan jelas mengenai
validitas kadar CD4 ≤ 100 sel/mL, dalam menegakkan diagnosis toksoplasmosis
serebriyang telah memenuhi kriteria presumtif toksoplasmosis serebri di Rumah
Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar dan telah mendapatkan kesempatan
mengajukan pertanyaan mengenai penelitian tersebut, maka secara sukarela dengan
penuh kesadaran dan tanpa paksaan menyatakan kesediaan untuk ikut dalam
penelitian ini.
Nama Tanda tangan
Pasien :…………………………… ………………………..
Saksi :…………………………… …………………………
Peneliti :………………………… … ……………………….
115
Lampiran 3
LEMBAR PENGUMPULAN DATA
Tanggal pemeriksaan :
Pemeriksa :
No Urut :
No rekam medis :
Nama :
Jenis Kelamin : Laki / perempuan
Umur :
Suku bangsa :
Agama :
Pendidikan :
a. Tidak Sekolah
b. SD
c. SMP
d. SMA
e. Universitas
Status perkawinan :
Pekerjaan :
Alamat :
Telp/HP :
Kota / Kabupaten :
Tanggal positif I :
Tanggal negatif terakhir :
I. Fakor risiko :
IVDU tato
Heteroseksual transfusi / cangkok
Biseksual Kucing rumah
Pasangan multi risk Higine kurang
116
II. Keluhan
BB Menurun batuk herpes zoster infeksi aru non TB
Diare gatal pada kulit ISPA berulang kesadaran menurun
Badan panas kelainan kulit nyeri kepala keluhan lain
Jamur di mulut ganguan visus TB paru sulit menelan
Herpes simplex IMS keluhan lain mual muntah
III. Anamnesis :
IV. AIDS Defining Illness
V. Pemeriksaan Fisik :
Kesadaran (GCS) :
Tekanan darah : mmHg ; Temperatur Axilla:
Nadi : X/menit
Respirasi : X/menit
VI. Pemeriksaan Neurologi
Tanda perangsangan meningeal :
Nervus kranialis :
Funduscopy :
Sistem motorik :
Sistem sensorik :
Reflek fisiologis :
Reflek patologis :
117
Sindrom neurologis fokal akut
Delirium / gelisah 1. Ya 2. Tidak
Hemiparesis 1. Ya 2. Tidak
Afasia 1. Ya 2. Tidak
Kejang fokal 1. Ya 2. Tidak
Ataksia 1. Ya 2. Tidak
Dismetri 1. Ya 2. Tidak
Gerakan involunter :
Distonia 1. Ya 2. Tidak
Korea 1. Ya 2. Tidak
Atetosis 1. Ya 2. Tidak
Hemibalisus 1. Ya 2. Tidak
Parkinson 1. Ya 2. Tidak
Gejala gangguan behavior 1. Ya 2. Tidak
Dimensia 1. Ya 2. Tidak
Lesi nervus cranialis 1. Ya 2. Tidak
Lain - lain 1. Ya 2. Tidak
Pemeriksaan penunjang
Limposit : Hemoglobin : SGOT /AST :
CD 4 : CD 8 : IgG anti tokso :
Hasil lab lainnya : IgM anti tokso :
Hasil gambaran Radiologis Tanggal / Bulan / Tahun CT sken kepala ulang
CT sken kepala tanpa dan dengan kontras:
PCR :
118
Terapi infeksi oportunstik
OAT :
Anti toksoplasmosis :
Terapi PCP :
Anti jamur :
Terapi lain :
Tanggal / Bulan /
Tahun
Respon terapi :
Obat propilaksis infeksi oportunstik :
Terapi antiretropiral :
ARV :
AZT/3TC/NVP
AZT/3TC/EFV
d4T/3TC/NVP
d4T/3TC/EVV
Alasan ARV dihentikan :
1. Gagal terapi
2. Perburukan klinis
3. keingninan klien
4. tidak teratur berobat
5. Interaksi berobat
6. Efek samping
7. lain-lain
119
Out Come (Keluaran) : Respon obat antitoksoplasmosis (baik/buruk)
Dokter pemeriksa ( Nama Jelas ) dan tanda tangan :
120
Lampiran 4
RESUME PEMERIKSAAN
Tanggal pemeriksaan :
Pemeriksa :
No Urut :
No rekam medis :
Nama :
Jenis Kelamin : Laki / perempuan
Umur :
Suku bangsa :
Pendidikan :
a. Tidak Sekolah
b. SD
c. SMP
d. SMA
e. Universitas
Status perkawinan :
Pekerjaan :
Alamat :
Telp/HP :
a Sindrom neurologis fokal akut :
b Hasil serologis :
IgG anti tokso :
IgM anti tokso :
c Hasil CD4 :
d Hasil CT sken Kepala tanpa dan dengan kontras:
e Respon obat anti toksoplasmosis :
121
Lampiran 5
PROTOKOL PENGAMBILAN SAMPEL PENDERITA CURIGA
TOKSOPLASMOSIS SEREBRI**
Penderita toksoplasmosis serebri yang
didiagnosis berdasarkan criteria CDC
Semua penderita toksoplasmosis serebri
yang dirawat di RSUP Sanglah di
diberikan informed consent tentang
penelitian ini.
Setelah mengerti dan menyetujui untuk
ikut dalam penelitian ini dilakukan
pengambilan sampel darah dan CSS
Sampel darah diperiksa di Lab RSUP
Sanglah
Sampel CSS dikirim ke Lab. Biomol
Rumah Sakit Hewan. Bila pengambilan
dikerjakan diluar jam kerja bahan
disimpan terlebih dahulu di biomol
RSUP Sanglah yang selanjutnya akan
dikirim ke Biomol Rumah Sakit Hewan
pada hari kerja.
Bahan:
CSS ½ - 1 cc (6 -18 tetes) yang
disimpan dalam media Hank periksa
PCR
Sampel darah tanpa EDTA 3 cc akan di
sentrifuge dalam 3.000 upm, dan serum
periksakan kadar CD4
** Diadopsi dari Protokol Pengambilan Sampel Penderita Curiga Rabies Study of
virology feature of rabies outbreak in Bali. Presented in the Biotechnology
for a Sustainable Future Conference at Udayana University on 15-16
September 2009.
Penderita curiga
toksoplasmosis serebri
Informed consent
Pengambilan sampel CSS
Penyimpanan
CSS
Hasil
Analisa data
Pemeriksaan
darah CD4
Pemeriksaan PCR CSS
Lab Biomol
Analisa data
Hasil
122
Fig.1 Lumbar puncture
Fig. 2 Spinal needle G20.
123
Specimen Collection:Cerebrospinal fluid (CSF) collection by Lumbal puncture.
Material and Equipment
1. Disposable latex gloves, gown, mask and goggle
2. Spinal needle
3. Isoprophyl alcohol
4. Povidone iodine
5. Gauze or lint free tissues
6. Safety transfers device
7. CSF specimen collection tubes
Safety
1. Wear disposable latex gloves, lab coat and goggle at all the times during the
procedure
2. Wash your hand before you put on your gloves and again after you remove
and discard your gloves.
3. Place sharps container close to the collection site.
4. Change gloves between patients
Patient Preparation
1. Correctly identify and reassure the patient
2. Obtain informed consent
Procedure 1. The patient is usually placed in a left(or right) lateral position with his/her
neck bent forwards on to the chest
2. The area around the neck back is prepared using antiseptic technique
3. The puncture is made in the midline in the space between the lower edge of
the foramen magnum and the upper edge of the atlas.
4. The spine of the axis may palpated and the needle inserta little above
5. The direction of the puncture is in a line passing through the external auditory
meatus and the nasion or root of nose
6. The stylet from the spinal needle is then withdrawn and drops of CSF are
collected
7. The procedure is ended by withdrawing the needle while placing pressure on
the puncture site
8. Immediately following CSF collection, properly label the blood tubes with
patient’s name, date and time
124
Reference
DeMyer, W. 2004. Technique of The Neurologic Examination. Fifth Edition. The
McGraw- Hill Company.p.631- 654
Sri Budayanti, N., Mahardika, I.G.N.K., Raka Sudewi, A.A., Susilawathi, N.M..
2009. Protokol Pengambilan Sampel Penderita Curiga Rabies Study of
virology feature of rabies outbreak in Bali. Presented in the Biotechnology
for a Sustainable Future Conference at Udayana University on 15-16
September 2009.
125
Lampiran 6
126
Lampiran 7
127
Lampiran 8
128
Lampiran 9
Karakteristik Demografi
Descriptive Statistics
29 23 55 34.45 8.621
29
umur
Valid N (listwise)
N Minimum Maximum Mean Std. Deviation
jenis kelamin pasien
25 86.2 86.2 86.2
4 13.8 13.8 100.0
29 100.0 100.0
laki-laki
perempuan
Total
Valid
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
agama responden
24 82.8 82.8 82.8
3 10.3 10.3 93.1
2 6.9 6.9 100.0
29 100.0 100.0
hindu
islam
protestan
Total
Valid
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
pendidikan responden
1 3.4 3.4 3.4
7 24.1 24.1 27.6
21 72.4 72.4 100.0
29 100.0 100.0
Tamat SD/sederajat
tamat SLTP
tamat SLTA
Total
Valid
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
pekerjaan responden
26 89.7 89.7 89.7
1 3.4 3.4 93.1
1 3.4 3.4 96.6
1 3.4 3.4 100.0
29 100.0 100.0
karyawan swasta
petani
PNS
wirausaha
Total
Valid
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
status perkawinan responden
20 69.0 69.0 69.0
9 31.0 31.0 100.0
29 100.0 100.0
menikah
tidak menikah
Total
Valid
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
129
Descriptive Statistics
29 90 150 116.90 12.565
29 60 90 75.52 7.361
29 60 100 84.24 7.100
29 18 32 20.83 2.536
29 35.6 39.5 37.003 .9560
29 1.00 1.00 1.0000 .00000
29 7 15 13.79 2.320
29
tekanan darah sistolik
tekanan darah diastolik
frek denyut nadi
frek respirasi
temperatur aksila
tekanan dalam mmHg
glascow coma scale
Valid N (listwise)
N Minimum Maximum Mean Std. Deviation
keluhan_utama
3 10.3 10.3 10.3
8 27.6 27.6 37.9
7 24.1 24.1 62.1
1 3.4 3.4 65.5
8 27.6 27.6 93.1
1 3.4 3.4 96.6
1 3.4 3.4 100.0
29 100.0 100.0
kejang
kesadaran menurun
lemah separuh tubuh
muntah hebat
nyeri kepala
nyeri kepala,batuk
tidak seimbang
Total
Valid
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
wasting_syndrom
23 79.3 79.3 79.3
6 20.7 20.7 100.0
29 100.0 100.0
ya
tidak
Total
Valid
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
esofageal_candidiasis
25 86.2 86.2 86.2
4 13.8 13.8 100.0
29 100.0 100.0
ya
tidak
Total
Valid
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
130
tb_paru
7 24.1 24.1 24.1
22 75.9 75.9 100.0
29 100.0 100.0
ya
tidak
Total
Valid
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
toxoplasmosis_crbrl
29 100.0 100.0 100.0yaValid
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
keluhan_penyerta
17 58.6 58.6 58.6
2 6.9 6.9 65.5
2 6.9 6.9 72.4
2 6.9 6.9 79.3
5 17.2 17.2 96.6
1 3.4 3.4 100.0
29 100.0 100.0
sakit kepala
kejang fokal /
status konvulsi
mual / muntah
mata kabur
kelemahan umum
lemah separuh
tubuh kanan/kiri
Total
Valid
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
delirium_gelisah
14 48.3 48.3 48.3
15 51.7 51.7 100.0
29 100.0 100.0
ya
tidak
Total
Valid
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
hemiparesis
15 51.7 51.7 51.7
14 48.3 48.3 100.0
29 100.0 100.0
ya
tidak
Total
Valid
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
131
afasia
29 100.0 100.0 100.0tidakValid
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
kejang_fokal
5 17.2 17.2 17.2
24 82.8 82.8 100.0
29 100.0 100.0
ya
tidak
Total
Valid
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
ataksia
29 100.0 100.0 100.0tidakValid
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
dismetri
1 3.4 3.4 3.4
28 96.6 96.6 100.0
29 100.0 100.0
ya
tidak
Total
Valid
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
distonia
29 100.0 100.0 100.0tidakValid
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
korea
29 100.0 100.0 100.0tidakValid
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
atetosis
29 100.0 100.0 100.0tidakValid
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
132
hemibalisus
29 100.0 100.0 100.0tidakValid
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
parkinson
29 100.0 100.0 100.0tidakValid
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
gguan_behavior
29 100.0 100.0 100.0tidakValid
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
demensia
29 100.0 100.0 100.0tidakValid
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
lesi_nerv_cranialis
10 34.5 34.5 34.5
19 65.5 65.5 100.0
29 100.0 100.0
ya
tidak
Total
Valid
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Gambaran CT Sken
16 55.2 55.2 55.2
13 44.8 44.8 100.0
29 100.0 100.0
menyerap kontras +
berbentuk cincin
tidak menyerap kontras
+ tidak berbentuk cincin
Total
Valid
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
133
Statistics
jumlah limfosit darah x 1000
29
0
1.0066
.6300
.55
4.69
Valid
Missing
N
Mean
Median
Mode
Range
jumlah limfosit darah x 1000
1 3.4 3.4 3.4
1 3.4 3.4 6.9
2 6.9 6.9 13.8
2 6.9 6.9 20.7
1 3.4 3.4 24.1
1 3.4 3.4 27.6
1 3.4 3.4 31.0
1 3.4 3.4 34.5
1 3.4 3.4 37.9
3 10.3 10.3 48.3
1 3.4 3.4 51.7
1 3.4 3.4 55.2
2 6.9 6.9 62.1
2 6.9 6.9 69.0
1 3.4 3.4 72.4
1 3.4 3.4 75.9
1 3.4 3.4 79.3
1 3.4 3.4 82.8
1 3.4 3.4 86.2
1 3.4 3.4 89.7
1 3.4 3.4 93.1
1 3.4 3.4 96.6
1 3.4 3.4 100.0
29 100.0 100.0
.15
.33
.35
.40
.43
.47
.51
.52
.53
.55
.63
.67
.69
.70
.80
1.00
1.03
1.30
1.40
1.92
2.20
4.53
4.84
Total
Valid
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Descriptive Statistics
29 .15 4.84 1.0066 1.11870
29 4.00 1200.00 169.1824 229.08584
29 .00 1.10 .1771 .26343
29 1 367 88.76 104.307
29
jumlah limfosit
darah x 1000
IgG anti tokso
IgM anti tokso
jumlah cd4
Valid N (listwise)
N Minimum Maximum Mean Std. Deviation
134
jumlah CD4 * PRC liqur_toksoplasma Crosstabulation
9 11 20
6.9 13.1 20.0
45.0% 55.0% 100.0%
90.0% 57.9% 69.0%
1 8 9
3.1 5.9 9.0
11.1% 88.9% 100.0%
10.0% 42.1% 31.0%
10 19 29
10.0 19.0 29.0
34.5% 65.5% 100.0%
100.0% 100.0% 100.0%
Count
Expected Count
% within jumlah CD4
% within PRC liqur_
toksoplasma
Count
Expected Count
% within jumlah CD4
% within PRC liqur_
toksoplasma
Count
Expected Count
% within jumlah CD4
% within PRC liqur_
toksoplasma
<=100
>100
jumlah
CD4
Total
positif negatif
PRC liqur_
toksoplasma
Total
Lampiran 10
Foto Laboratorium
135
136
137
Lampiran 11
Data Dasar Penelitian