195
Film Fiksi.: Antara Identitas Film Nasional dan SinemaPasca-Orde Baru
FITRIA SIS NARISWARIFakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesiae-mail: [email protected]
ABSTRACT The term ‘national film’ has a long history, and in some circles is a subject of debate, going to the terms “Third Cinema” and “First Cinema”. The basic question with what is called ‘national film’ will be discussed in this paper, by analyzing the film Fiksi. (2008). The choice of this movie is based on its director, who is a woman, and was produced after the New Order. This paper discusses how a post-New Order women-directed film tries to create a ‘national film’ identity. Furthermore, the writer tries to analyze the question of women representation in the Fiksi. film or a sharp distinction between the New Order film discourse and Fiksi. This film shows a cautious approach towards the ‘national film’ identity, even though it is filled with various gender and social issues. As a post-New Order cinema, this film is lucky in that it did not have to face censorship on its critique.
ABSTRAK Istilah film nasional ini pun memiliki sejarah panjang dan menjadi perdebatan di beberapa kalangan dengan mengacu pada istilah “Sinema Ketiga” dan “Sinema Pertama”. Pertanyaan mendasar dengan apa yang disebut dengan film nasional akan dibahas dalam tulisan ini dengan menganalisis film Fiksi. (2008). Pemilihan film ini juga didasari atas film yang bersutradara perempuan dan yang diproduksi pasca-Orde Baru. Tulisan ini membahas bagaimana sebuah film pasca-Orde Baru yang disutradarai perempuan berupaya untuk memiliki identitas sebagai film nasional. Selain itu, pertanyaan tentang bagaimana representasi perempuan pada film Fiksi. atau adakah perbedaan yang mencolok antara wacana film Orde Baru dan film Fiksi., terutama dalam hal representasi perempuan juga akan muncul. Film ini kemudian menunjukkan identitas sebagai film nasional yang masih gamang meskipun di dalamnya sarat isu gender dan isu-isu sosial. Sebagai sinema pasca-Orde Baru, film ini beruntung karena tidak perlu terkena sensor atas kritiknya.
Keywords Fiksi., ‘national film’, gender, women, post-New Order cinemaKata Kunci: film Fiksi., film nasional, gender, perempuan, sinema pasca-Orde Baru
Persoal Film ‘Nasional’
Film merupakan media bercerita kepada
khalayak umum yang populer. Menurut
Monaco (1977:128), film merupakan
media representasi yang sangat kompleks.
Sebagai seni ketujuh, film menggabungkan
unsur-unsur dari berbagai seni lainnya:
film memanfaatkan unsur teknologi
lingkungan, gambar, dramatik, naratif, dan
musik sebagai media representatif. Dengan
demikian, berbicara tentang film harus
mempertimbangkan aspek audiovisual yang
ada di dalamnya. Hal ini tidak terlepas dari
peranan film sebagai media ekspresi yang
strategis untuk menyampaikan suatu pesan
dan mampu mengarahkan perhatian dan
mampu membentuk opini masyarakat.
Berbicara tentang sejarah film
Indonesia atau katakan film ‘nasional’
tidak dapat dilepaskan dengan perusahaan
film pertama yang dimiliki pribumi dan
didirikan oleh Usmar Ismail, yaitu Perfini
(Perusahaan Film Nasional) pada tahun
1950. Pemutaran film perdana adalah film
Darah dan Doa karya Usmar Ismail yang
diputar di Istana Negara dan disaksikan
oleh Presiden Sukarno pada tanggal 30
Fitria Sis Nariswari, Film Fiksi.: Antara Identitas Film Nasional dan Sinema ...
Jurnal Urban Vol 1, No.2, Januari - Juni 2018 :115- 215
196
Maret 1950. Oleh karena itu, setiap tanggal
30 Maret diperingati Hari Film Nasional.
Akan tetapi, menurut Sen (2009:34),
Hiburan Mataram Stichting yang didirikan
di Yogyakarta pada 1948 sebagai film
yang pertama. Terlepas dari film apa
yang sebenarnya pertama, penentuan film
‘nasional’ ini tidak dapat dilepaskan dari
kepentingan pada saat itu.
Istilah film nasional ini pun
memiliki sejarah panjang dan menjadi
perdebatan di beberapa kalangan. Tidak
dapat dimungkiri bahwa penyebutan ‘film
nasional’ juga tidak dapat terlepas dari
penyebutan ‘sinema ketiga’ oleh para
kritikus untuk membedakan dari ‘sinema
pertama’ atau Hollywood. Gabriel (yang
dikutip oleh Sen, 2009:2) menyebutkan
bahwa perbedaan utama sinema Hollywood
dan ‘sinema ketiga’ terletak pada eksplisitnya
pesan-pesan sosio-kultural ‘sinema ketiga’
yang berlawanan dengan kerja-kerja
ideologis yang tersembunyi dalam teks-
teks Hollywood. Teori film Barat bertujuan
untuk menemukan makna imanen dalam
karya-karya yang makna terdalamnya
tersamarkan ternyata sama sekali tidak
bisa digunakan untuk menganalisis film-
film yang tidak berusaha menutupi makna
sesungguhnya. Pertanyaan ini mengacu
bahwa ‘sinema ketiga’ harus dianalisis
secara sadar atas perbedaannya dengan
film Hollywood.
Dengan demikian, menurut
Ajidarma (2014), film nasional merupakan
film-film yang terlepas dari hegemoni cara
bertutur Hollywood dan memungkinkan
adanya keterhubungan dengan sebuah
identitas nasional. Dalam hal ini, film
nasional tidak ada hubungannya dengan
teritorial—misalnya pembuat film haruslah
memiliki KTP Indonesia atau semua
pemainnya adalah orang Indonesia.
Hubungan yang terjalin berdasarkan atas
pertimbangan fungsional, yakni jelas tidak
meminjam bahasa Hollywood, dan juga
pertimbangan relasional, yakni bahwa
film dengan identitas yang baru ini ini—
betapa pun kontemporer dan revolusioner
pemberontakannya— secara tekstual
tetap dapat dipertanggungjawabkan
hubungannya dengan kebangsaan dan
kebudayaan Indonesia.
Masih mengacu pada tulisan
Ajidarma bahwa tentunya ciri-ciri itu dari
film nasional yang satu ke film nasional
yang lain bervariasi, tetapi ke dalamnya
dapat dimasukkan cara produksi (termasuk
distribusi dan eksibisi), gaya film, struktur
naratif atau tema, dan genre film. Barangkali,
film nasional juga dapat dikaitkan dengan
film yang mandiri. Namun, pertanyaannya,
mandiri terhadap apa? Menurut Lent
(2012:13), kemandirian film dapat terlihat
dari tiga hal, yaitu mandiri dari regulasi
pemerintahan dan penyensoran, mandiri
dari studi arus utama yang besar, dan
metode dalam pembuatan film.
Melihat kesejarahan film ‘nasional’
memang panjang, terlebih film ‘nasional’
yang bersutradara perempuan. Film
bersutradara perempuan memang menarik
untuk dibahas karena film bersutradara
perempuan belum sebanyak film yang
bersutradara laki-laki. Selain itu, ideologi
di balik film bersutradara perempuan juga
cukup menarik jika dikupas secara lebih
mendalam. Michalik (2013:16) mencatat
bahwa sutradara perempuan pertama di
Indonesia adalah Ratna Asmara dengan
197
film Sedap Malam yang diputar pada tahun
1950.
Akan tetapi, perkembangan film di
Indonesia pada masa Orde Baru mengalami
penyensoran yang sangat ketat. Tidak ada
film yang lolos sensor jika menyangkut
kekurangan negara atau mengkritik
pemerintahan. Namun, Reformasi
memberikan angin segar bagi perfilman
Indonesia. Bukan berarti tanpa sensor,
melainkan sudah ada kebebasan dalam
berekspresi. Kemudian, pasca-1998, muncul
beberapa nama sutradara perempuan
yang menggarap film ‘nasional’, salah
satunya adalah Mouly Surya. Dia baru
menyutradarai dua film panjang, yaitu
Fiksi. (2008) dan What They don’t Talk
about When They Talk About Love (2013).
Tulisan ini akan membahas lebih
lanjut film Fiksi. Film yang dirilis pada
tahun 2008 oleh Cinesurya Production ini
bertokoh utama seorang gadis psikopat
yang berjuang mendapat cintanya.
Identitas film nasional dalam Fiksi. dibahas
lebih dalam untuk menjawab pertanyaan
apakah film Fiksi. termasuk film nasional
jika alur hampir mirip dengan alur film
Hollywood—yang salah satu unsurnya
adalah happy ending—tetapi film ini
masih bisa dihubungkan dengan identitas
kebudayaan Indonesia. Lantas, bagaimana
kita menyebut film Fiksi. ini? Selain itu,
bahasan juga berlanjut pada perbandingan
film Fiksi. sebagai sinema pasca-Orde Baru
dengan wacana film Orde Baru. Bagaimana
representasi perempuan pada film Fiksi.?
Adakah perbedaan yang mencolok antara
wacana film Orde Baru dan film Fiksi.,
terutama dalam hal representasi perempuan.
Mengapa Film Fiksi.?
Film Fiksi. adalah film yang bergenre
drama-thriller yang disutradarai oleh Mouly
Surya dan dirilis dalam bentuk DVD oleh
Cinesurya Production Film pada 2 Desember
2008. Film ini mengikuti alur cerita Alice
in Wonderland karya penulis Lewis Carroll
dari Britania Raya. Meskipun film Fiksi.
bukan merupakan film yang bercerita
tentang perempuan psikopat, film ini cukup
menarik perhatian beberapa festival film.
Meskipun hanya meraih 23.883 penonton,
film ini masuk ke dalam nominasi untuk
sepuluh penghargaan dalam Festival Film
Indonesia 2008 dan memenangkan empat
penghargaan, antara lain Film Terbaik,
Sutradara Terbaik, Skenario Asli Terbaik
(Joko Anwar), dan Musik Pengiring Terbaik
(Zeke Khaseli). Film ini juga mendapatkan
penghargaan film terbaik dalam Jakarta
Internasional Film Festival 2008 untuk
Sutradara Terbaik (Mouly Surya).
Jika dilihat dari penulisan judul
dengan adanya tanda titik di belakang
judul, film ini ingin menunjukkan bahwa
selalu ada akhir dalam kisah fiksi. Selain
itu, Fiksi. adalah film yang bersutradara
perempuan. Menurut Michalik (2013:23),
ada subjek dan pertanyaan yang jarang
didiskusikan oleh sutradara laki-laki. Dalam
hal ini, sutradara perempuan melakukan
hal yang lebih daripada sutradara laki-
laki untuk menstimulus wacana publik
yang berfokus pada hak-hak perempuan
untuk perjuangan yang lebih adil dan
setara. Isu yang dibahas dalam Fiksi.
memang tidak terlihat tentang perjuangan
seorang perempuan yang nyata, tetapi
cerita bergulir dari sudut pandang seorang
Fitria Sis Nariswari, Film Fiksi.: Antara Identitas Film Nasional dan Sinema ...
Jurnal Urban Vol 1, No.2, Januari - Juni 2018 :115- 215
198
perempuan dalam menyikapi kesepian dan
rasa traumanya yang diakibatkan oleh
ayahnya. Kehidupan perempuan yang
dihegemoni oleh kekuasaan laki-laki masih
bisa ditemui sepanjang zaman. Oleh karena
itu, film Fiksi. masih relevan dan penting
untuk dibahas pada masa sekarang.
Deskripsi Film Fiksi.
Film ini dibuka dengan suara denting piano
yang lambat dan semakin cepat, kemudian
menampilkan close up deretan boneka
berwarna-warni sebagai dekor dan sebuah
tangan yang mengambil salah satu boneka.
Setelah itu, kamera bergerak ke arah
wajah dingin tokoh Alisha (close up), yang
sedang melihat kedatangan mobil mewah
memasuki halaman rumahnya sebelum
akhirnya ia masuk kembali ke rumah dan
berjalan menaiki tangga dengan posisi
kamera dari atas ke bawah (bird eye) hingga
makin memperlihatkan ruang yang cukup
luas. Setelah itu, Alisha memainkan cello di
kamarnya. Kamera menyorot Alisha yang
bermain cello dengan long shot sehingga
kamarnya terlihat sangat luas tetapi kosong.
Suara cello menegaskan bahwa tidak ada
orang lain di ruangan itu, sunyi.
Alisha hidup di rumah ayahnya
yang sangat besar, tetapi hubungan dengan
ayahnya tidak baik. Hal itu diperlihatkan
ketika mereka makan bersama. Adegan
dihadirkan dalam ruang makan. Ketegangan
antara bapak dan anak di tengah
kemewahan ruang makan Alisha dibangun
oleh sonor berupa dialog, keheningan,
serta suara garpu, pisau, dan piring yang
beradu. Pun dengan jarak antara Alisha
dan bapaknya yang ujung ke ujung. Karena
diambil dengan jarak yang jauh (long shot),
penonton dapat melihat detail dekor yang
dipilih untuk menghadirkan kemewahan ke
ruang tersebut, serta jarak yang terbentang
antara ayah dan anak tersebut. Ketegangan
ditambah dengan percakapan Alisha
dan ayahnya yang diambil secara close
up kepada siapa yang sedang berbicara
sehingga terlihat ekspresi dari masing-
masing tokoh.
Alisha : Saya mau cari kerja
Bapak :Kamu perlu uang tambahan
berapa? (terdengar suara
pisau dan garpu yang
beradu/mengiris makanan)
Alisha :Saya cuma ingin cari
kesibukan, kalau cuma di
rumah saja nunggu Bapak
datang sekali-kali, saya
bisa mati bosan. Atau
izinin saya keluar ikut
dengan Bapak dong.
Bapak :Saya ini kan kerja
(terdengar suara pisau dan
garpu yang beradu)
Alisha : Kan saya bisa di hotel, atau
jalan-jalan sendiri. Kecuali
memang perempuan itu
sudah minta ikut duluan.
(hening)
Alisha :Saya cuma bercanda,
nggak perlu jadi drama.
(Menit ke 3:29 s.d. 4:14)
Ibu Alisha mati bunuh diri gara-
gara ayahnya memiliki perempuan lain.
Sejak kematian ibunya, Alisha menjadi gadis
yang tertutup dan penuh trauma. Setiap
malam dia bermimpi ditemui oleh ibunya.
199
“Semua kejadian ada tujuannya,” kalimat
ibunya selalu terngiang di benaknya.
Suatu ketika, Alisha jatuh cinta dengan
Bary (Donny Alamsyah)—seseorang yang
membersihkan kolam renang rumahnya.
Sayangnya, Bary hanya pegawai pengganti
sehingga ia tidak bekerja lagi. Adegan
Alisha jatuh cinta diambil dengan kamera
long shot sehingga bisa menampilkan posisi
Alisha yang sedang mengawasi Bary, tetapi
Bary tidak menyadari bahwa dia sedang
diawasi.
Alisha mencari cara untuk bertemu
dengan Bary kembali—meskipun sebenarnya
Bary tidak menyadari kehadiran Alisha di
rumah tempatnya bekerja. Akhirnya, Alisha
menemukan Bary di daerah Blok S. Setelah
mengelabuhi sopir dan pengasuhnya,
Alisha berhasil kabur dari rumah mewah
itu, lalu menyewa kamar di rumah susun
tepat di samping kamar Bary. Bary tinggal
dengan kekasihnya, Renta (Kinaryosih).
Perkenalan antara Alisha—di rumah susun
Alisha mengaku bernama Mia, Bary, dan
Renta terjadi begitu saja. Setelah merasa
cukup akrab, Bary mengajak Alisha keliling
rumah susun untuk mengetahui kondisi
rumah susun tersebut. Kamera mengikuti
jalannya Alisha dan Bary menyusuri
rumah susun dengan kamera pada posisi
low angle dan gerak kamera dari bawah
ke atas, perlahan menyoroti sudut-sudut
rumah susun. Selain tidak menampakkan
keseluruhan rumah susun, sudut-sudut
rumah susun yang dipilih tampak hening
sehingga kesan yang ada di rumah mewah
Alisha pun masih terasa di rumah susun:
sepi, seperti hidup Alisha.
Sambil berkeliling, Bary pun
bercerita tentang cerita-cerita yang sedang
ditulisnya. Ia menulis tentang orang-orang
yang ada di rumah susun tersebut, namun
sampai sekarang belum menemukan akhir
yang tepat untuk ceritanya. Dari cerita
Bary, Alisha berniat membantu Bary
untuk menyelesaikan ceritanya. Dimulai
dari cerita pertama yang berkisah tentang
pasangan gay, yaitu Rudi dan Dhani—
yang ternyata adalah ayah tiri dan anak
tiri. Cerita kedua adalah kisah seorang
perempuan tua bernama Ibu Dira yang tidak
pernah keluar kamar, kecuali membuang
sampah, dan sangat sayang pada kucing-
kucingnya karena menganggap kucing-
kucingnya adalah jelmaan tunangannya
yang meninggal. Sementara cerita ketiga
adalah kisah tentang seorang lansia yang
tidak pernah masuk ke dalam unit rumah
susunnya semenjak rumah susun ini
dibangun sebab ia menganggap ia akan
kalah jika masuk ke dalam rumah susun
tersebut. Sementara, lansia itu bersikukuh
tidak mau kalah karena dulu rumahnya
dibakar oleh pengembang dari rumah susun
tersebut.
Alisha punya cara sendiri untuk
mengakhiri cerita Bary meskipun ia tidak
secara langsung membunuh tokoh-tokoh
nyata dalam cerita Bary tersebut. Misalnya
saja pada cerita Dhani-Rudi. Alisha seolah
menolong Dhani mengerjakan tugas
kuliah, tetapi diam-diam dia mencatat
nomor telepon ibu Dhani yang juga suami
Rudi. Lalu, pada suatu pesta gay, ibu
Dhani datang dan menembak Rudi hingga
meninggal. Alisha pun menjadi penyebab
kematian Ibu Dira yang meloncat dari lantai
7. Alisha membuang semua kucing Ibu
Dira sehingga Ibu Dira merasa tidak punya
nyawa lagi. Alisha pun mendorong lansia
Fitria Sis Nariswari, Film Fiksi.: Antara Identitas Film Nasional dan Sinema ...
Jurnal Urban Vol 1, No.2, Januari - Juni 2018 :115- 215
200
itu hingga jatuh dari lantai 7 ketika lansia
itu duduk di pembatas dinding. Terakhir,
Alisha menyingkirkan Renta dengan cara
menyekapnya di lantai 9. Dalam film ini,
dari awal sudah diperlihatkan bahwa
Alisha adalah orang yang menyebabkan
kekacauan di rumah susun tersebut.
Sebelum Renta disekap, hubungan
Alisha dan Bary sebenarnya lebih dari
tetangga kamar. Alisha memaksa Bary
untuk berhubungan intim dengannya.
Setelah itu, mereka pun berhubungan intim
beberapa kali. Namun, pada dasarnya,
Bary mengetahui siapa yang menyebabkan
orang-orang di rumah susunnya mendadak
meninggal. Bary hanya menceritakan fiksi-
fiksinya kepada Alisha. Semua peristiwa
itu terjadi setelah Bary menceritakannya
kepada Alisha. Cerita berakhir ketika Alisha
pun melompat dari lantai 9 tepat setelah
Bary menemukan Renta yang disekap oleh
Alisha. Sebelum Alisha bunuh diri, kamera
mengambil gambar secara medium shot
sehingga menampilkan wajah Alisha yang
pucat dan matanya penuh air mata, juga
masih memperlihatkan keributan yang
terjadi di belakang Alisha, yaitu sekumpulan
orang sedang ricuh membopong Renta.
Identitas Film Nasional dalam Film Fiksi.
Tidak dapat dimungkiri bahwa film Fiksi.
memiliki hubungan yang erat dengan film
Alice in Wonderland. Nama tokoh utama
pun terdiri atas susunan huruf yang hampir
sama. Jika Alice berpetualang ke negeri
ajaib karena jatuh ke dalam lubang kelinci,
Alisha pun dapat dikatakan demikian.
Ketika bekerja di rumah Alisha, Bary
beberapa kali mencuri beberapa patung
kelinci untuk diberikan kepada Renta
karena Renta suka dengan kelinci. Alisha
pun mengikuti ke mana arah kelinci itu
pergi, bahkan, ia pun menggunakan patung
kelinci untuk bertemu Bary. Hal ini dapat
dilihat dari gambar di bawah ini.
Selain itu, platform cerita Fiksi.
ini mengambil alur utama cerita Alice in
Wonderland, yaitu seorang anak perempuan
berusia 19—20 tahun, digerakkan oleh sosok
kelinci, hidup di dunia yang sama sekali
berbeda dengan dunianya sebelumnya,
menemui petualangan-petualangan seru
di dunia barunya, lalu cerita berakhir. Jika
dalam Alice in Wonderland, tokoh Alice
kembali ke dunia sebelumnya, dalam Fiksi.,
Gambar 1.Alisha menyerahkan patung kelinci kepada Renta
201
tokoh Alisha menemui dunia baru lagi
yaitu kematian. Akan tetapi, petualangan
yang dijalani Alice dan Alisha tentu saja
petualangan yang sama sekali berbeda.
Alur film Fiksi. mengadaptasi alur
dari sebuah cerita yang berasal dari Eropa,
jika demikian apakah masih bisa disebut
sebagai film nasional? Rasanya, bukan
menjadi masalah. Sebab pada dasarnya,
tidak ada alur yang murni dari penulis
mana pun. Hal ini dapat ditinjau lebih
lanjut dari plot secara mendetail daripada
alur secara garis besar. Perdebatan atas
permasalahan film nasional masih terus
dibahas hingga saat ini. Ada sejarah dan
perkara panjang di balik pembahasan film
nasional, misalnya saja dari segi genre,
gerakan, dan gelombang.
Jika salah satu pembeda atas
film nasional dan film Hollywood adalah
adanya perlawanan terhadap wacana
dominan, dapat dikatakan film Fiksi.
adalah perlawanan yang masih tiga
perempat. Lantas, pertanyaan yang segera
muncul adalah mengapa masih tiga
perempat? Mengacu pada tulisan Ajidarma
dalam “Kibul Hollywood dan Ekonomi
Budaya” bahwa ada beberapa ‘kibul’ film
Hollywood yang menjadi semacam formula
dari seluruh film Hollywood. Kibul-kibul
tersebut terdiri atas kibul tritunggal (urutan
kehidupan yang tersusun atas kehidupan
harmonis—kekacauan—kembali harmonis),
kibul sejarah (faktor mengapa dari sebuah
kejadian tidak dijelaskan karena cerita
berpusat pada tokoh), kibul simpulan (akhir
cerita selalu happy ending), dan kibul efek
realitas (segalanya harus seperti “realitas”
yang ada).
Dalam film Fiksi., kibul tritunggal
tidak terjadi karena dari awal kehidupan
kehidupan Alisha sudah kacau, lalu
semakin kacau hingga akhir cerita. Akan
tetapi, barangkali kehidupan Bary dan
Renta, pada mulanya sedikit harmonis.
Kemudian, karena kedatangan Alisha,
kehidupan mereka sedikit kacau, tetapi
mereka pun bahagia di akhir. Hal itu dapat
terlihat dari kutipan percakapan antara
Alisha, Bary, dan Renta di bawah ini. Bary
dan Renta adalah sepasang kekasih yang
tinggal bersama tanpa menikah.
Alisha :Kalian temenan atau
saudara?
Bary :We’re partners in crime!
(sambil mencium mesra
Renta)
Renta :Ihh. Apa. (tersipu malu)
(menit ke 35:44)
Gambar 2.Bary mencium Renta dengan mesra
Jika ditinjau dari kibul sejarah pun,
film Fiksi. masih memberikan reason of
being mengapa Alisha menjadi perempuan
psikopat. Segala sesuatu tidak dapat hadir
dalam ruang kosong karena selalu ada
motif di balik sesuatu tersebut. Alisha
menyaksikan dengan mata kepalanya
ketika ibunya bunuh diri karena tidak
mau anak yang masih dikandungnya
Fitria Sis Nariswari, Film Fiksi.: Antara Identitas Film Nasional dan Sinema ...
Jurnal Urban Vol 1, No.2, Januari - Juni 2018 :115- 215
202
akan dimiliki perempuan lain. Alisha
belum bisa mencerna apa pun pada saat
itu sehingga kejadian itu merasuk dalam
benaknya begitu saja. Barangkali, ketika
mulai dewasa, Alisha menganggap bahwa
kematian adalah sebuah pilihan untuk
menyelesaikan masalah sehingga ia pun
memilih untuk mati karena cintanya tidak
kesampaian. Kematian baginya adalah
sebuah perayaan setelah semua sakit hati
yang ada, sebagaimana yang dilakukan
oleh ibu Alisha. Terlebih, ibunya masih
sering datang ke dalam mimpinya. Ibunya
semacam memberi bisikan bahwa semua
kejadian selalu ada tujuannya.
Untuk kibul efek-realitas, film
Fiksi. juga sebenarnya tidak terlalu
menampilkan realitas. Bagaimana mungkin
ketika seseorang ditampilkan tidak pernah
keluar kamar dan hanya keluar kamar
ketika membuang sampah, sebagaimana
yang ditampilkan pada Ibu Dira. Hidup
yang ditampilkan di sini pun tidak selalu
tokohnya harus memiliki hidup yang
progresif. Misalnya saja pada tokoh Alisha,
ia bahkan tidak tahu hidupnya untuk apa,
selain untuk mengejar cintanya pada Bary.
Akan tetapi, jika ditinjau dari kibul
simpulan, film Fiksi. masih mengikuti
formula Hollywood bahwa yang jahat dan
berbuat salah akan kalah pada akhirnya.
Dalam hal ini, Alisha adalah tokoh utama,
sekaligus tokoh antagonis sehingga pada
akhir cerita dia ‘dijadikan’ bunuh diri.
Sementara itu, tokoh Bary dan Renta yang
semula adalah pasangan bahagia juga
menjadi bahagia kembali pada akhir cerita.
Hal tersebut dapat terlihat dari gambar
berikut.
Akan tetapi, film Fiksi. masih
menampilkan cerita tentang Indonesia
yang dapat ditarik kepada kondisi negeri
ini, misalnya saja tentang rumah susun.
Cerita ini pun tidak melulu cerita kehidupan
di awang-awang tentang kelas menengah,
atau tentang perempuan miskin yang
menunggu pangerannya. Mouly Surya
menggambarkan rumah susun dengan
mengambil eye level Alisha sehingga yang
terlihat dari rumah susun tersebut adalah
apa yang dapat dilihat Alisha. Misalnya
saja pada saat menit 01:04 ketika Alisha
bermain cello di kamar rumah susunnya,
suara cello-nya terdengar hingga lantai
paling bawah. Alisha berada di lantai 6.
Ketika memperlihatkan anak-anak bermain
sepak bola di lantai bawah, kamera diputar
dengan high angle, begitu pun ketika
ada seseorang di lantai tiga atau empat
mendengar suara cello Alisha. Karena
Alisha berada di lantai 6, pemandangan
rumah susun itu diperlihatkan dari sudut
pandang Alisha—Alisha seolah melihatnya
dari lantai 6. Hal tersebut dapat terlihat dari
gambar berikut ini.
Gambar 3.Bary dan Renta bahagia di akhir cerita
203
Eye level merupakan salah satu
cara seorang sutradara untuk menampilkan
ideologinya. Dalam hal ini, Mouly Surya
ingin menampilkan bahwa segala sesuatunya
dipandang dari kacamata Alisha. Dengan
demikian, Mouly mengharapkan bahwa
segala adegan menjadi masuk akal untuk
dilakukan, misalnya saja mengapa Alisha
harus membantu Bary menyelesaikan cerita-
ceritanya dengan cara membuat mati tokoh-
tokoh dalam cerita Bary. Sebagaimana
kalimat yang sering diulang-ulang dalam
filmnya, “Setiap kejadian mempunyai
tujuan”, pun Mouly Surya memiliki tujuan
dalam menghadirkan keseluruhan film ini,
entah dari cara kamera memandang tokoh
dan lingkungannya, tata cahaya, dan tata
musik.
Secara keseluruhan, tata cahaya
dalam film Fiksi. didominasi oleh cahaya
yang muram atau low key, dan juga
warna-warna yang pucat. Hal ini bukan
tanpa tujuan, film ini bergenre drama
thriller sehingga aura menegangkan dan
menyeramkan harus selalu ada, bahkan
ketika Alisha berada di rumah mewah
ayahnya. Suasana singup atau muram
langsung terlihat di sana, tanpa dikatakan
pun dapat terlihat bahwa rumah mewah itu
kosong, mungkin juga sedang menampilkan
kekosongan hati Alisha. Pun demikian
penggambarannya di rumah susun. Jika
film Mengejar Matahari (2004) garapan
Rudi Soedjarwo dibuka dengan gambar
rumah susun berwarna kelabu, dengan
jendela kecil, atap rumah yang penuh
antena televisi, serta jemuran yang menjadi
ciri khas rumah susun dan ditampilkan
dengan sudut kamera high angle dan bird
eye, dari atas ke bawah sehingga seluruh
penampang horizontal rumah susun terlihat
jelas, tidak dengan penggambaran dengan
rumah susun dalam Fiksi. Dalam film ini,
rumah susun terlihat sepi, sedikit gelap,
Gambar 4.Eye level Alisha ketika bermain Cello
Fitria Sis Nariswari, Film Fiksi.: Antara Identitas Film Nasional dan Sinema ...
Jurnal Urban Vol 1, No.2, Januari - Juni 2018 :115- 215
204
pucat, dan sudut pandangnya terbatas dari
mata Alisha.
Lantas, kembali lagi pada
permasalahan keidentitasan film nasional
dalam film Fiksi. Jika ditinjau dari
teritorial, film Mouly Surya ini dapat
dikatakan sebagai film Indonesia asli
karena segala macamnya berasal dan
asli Indonesia. Namun, pembahasan film
nasional dan teritorial masih banyak
menimbulkan pertanyaan. Jika ditinjau
dari segi fungsional dan relasional, film ini
pun dapat dikatakan sebagai film nasional
meskipun ada beberapa formula yang
mengacu pada Hollywood sebagaimana
yang telah disebutkan. Secara keseluruhan,
film ini pun sebenarnya tidak menampilkan
tatanan kehidupan yang harmonis—
kekacauan—kembali harmonis. Akan
tetapi, kekacauan dalam kehidupan Alisha
dipertunjukkan dari awal hingga akhir.
Bagaimanapun, keterhubungan antara film
Fiksi. dan identitas nasional dapat dilihat
dari adanya keterikatan dimensi ruang
dalam Indonesia.
Sinema Pasca-Orde Baru: Representasi Perempuan dalam Film Fiksi.
Dengan film, permasalahan apa pun dapat
diangkat menjadi sebuah cerita, termasuk
permasalahan yang sensitif, seperti suku,
agama, ras, atau seksualitas. Akan tetapi,
permasalahan sensitif tersebut tidak dapat
serta-merta diangkat dalam film Indonesia
sebelum Reformasi. Menurut Paramadhita
(2012:70—71), rezim Soeharto mengontrol
penuh aspek politik, ekonomi, sosial,
dan budaya di bawah kontrol tekanan
militer dan penyensoran. Dalam Undang-
Undang Nomor 8 tentang Perfilman/1992,
dikemukakan bahwa film adalah media
komunikasi massa yang memainkan peranan
penting dalam pengembangan budaya
nasional dan meningkatkan keamanan
untuk mendukung pembangunan nasional.
Dari hal tersebut, dapat dilihat bahwa
Orde Baru percaya terhadap kekuatan film
untuk memengaruhi opini publik sehingga
kontrol terhadap film Indonesia pada masa
Orde Baru sangat ketat.
Barangkali, ketika Orde Baru, film
dari sutradara perempuan bisa saja tidak
menjadi masalah, misalnya saja film Ratna
Asmara, selama cerita yang ditampilkan
bukan hal yang melawan negara karena
bukan itu masalah yang dihadapi oleh
Orde Baru karena tidak dianggap sebagai
ancaman. Selama citra perempuan yang
ditampilkan masih mengacu pada konsep
‘ibuisme’, film-film pada masa Orde Baru
masih dapat diputar tanpa masalah. Akan
tetapi, pertanyaannya adalah bagaimana
citra perempuan dalam film-film selama
Orde Baru? Beberapa kritikus film sudah
menuliskan pendapatnya tentang film
Indonesia yang bertokoh perempuan
meskipun tidak melulu bersutradara
perempuan.
Dalam tulisannya, Aripurnami
(1990) menganalisis film Tjoet Nyak Dien,
Selamat Tinggal Jeanette, Bayi Tabung,
Suami, Arini II, dan Pacar Ketinggalan
Kereta. Dalam analisisnya, Aripurnami
mencoba menguraikan peranan perempuan
dalam keenam film tersebut. Mayoritas,
perempuan digambarkan hanya sebagai
seseorang yang melengkapi kehadiran laki-
laki, bukan sebagai tokoh sentral. Selain
205
itu, dia juga membagi fokus corak cerita,
yaitu relasi interpersonal dan persoalan
yang muncul dari perempuan yang
tidak menikah, relasi interpersonal dan
persoalan yang muncul dari perempuan
yang menikah, dan otonomi perempuan.
Jika perempuan itu menikah, permasalahan
yang muncul adalah cinta segitiga. Selain
itu, penggambaran tentang perempuan
adalah istri yang harus tunduk pada suami
dan apa yang diharapkan masyarakat.
Sebagaimana yang dia katakan berikut ini:
Tampak bahwa potret sosok
perempuan dalam film kita masih
ada dalam taraf malu-malu. Dalam
arti, masih ragu-ragu atau tidak
konsisten dalam memunculkan
sosok perempuan yang berkarakter
kuat. Di awal cerita hampir setiap
film, seolah-olah akan menampilkan
sosok perempuan yang mandiri dan
berkarakter kuat. Tetapi, di akhir
cerita terperosok ke dalam harapan-
harapan mayoritas masyarakat.
Ibarat kaki yang sebelah sudah siap
melangkah, sementara kaki yang
satunya masih tertinggal di belakang.
(Aripurnami, 1990:60)
Dari penggambaran yang
dikemukakan oleh Aripurnami, terlihat
bahwa perempuan dalam film masih terikat
norma yang ada di dalam masyarakat.
Terlebih, tulisan tersebut ditulis pada tahun
1990 dan film yang dianalisis pun film
tahun 1980-an. Tidak dapat dimungkiri
bahwa penggambaran perempuan yang
pada awalnya seolah-olah kuat, tetapi
pada akhirnya harus mengikuti norma
adalah harapan dari masyarakat, terutama
pemerintah atau lebih tepatnya lembaga
sensor film yang pada saat itu berkuasa
penuh atas film Indonesia.
Sen (2009:239) mengemukakan hal
senada. Sen menganalisis film Halimun yang
dibuat pada tahun 1982 dan disutradarai
oleh W.D. Sofia. Kali ini, Sen mengambil
film bersutradara perempuan pada masa
Orde Baru. Ia mengungkapkan bahwa
perempuan juga ada sebagai pendamping
laki-laki. Menurutnya, sulit menghindari
kritik klasik Mulvey atas sinema naratif
Hollywood, kamera bertindak sebagai
perpanjangan tangan (gaze) laki-laki.
Baik secara visual maupun psikologis,
para perempuan dalam film Halimun
dikonstruksi dari perspektif tokoh utama
laki-laki dan dari sudut pandangnya. Apa
yang digembar-gemborkan reklame tentang
film Halimun adalah film perempuan,
ternyata hanya dilihat dari mata laki-laki
dan berbicara tentang laki-laki.
Sudut pandang laki-laki tidak dapat
dilepaskan meskipun pada kenyataannya
film Halimun bersutradara perempuan. Hal
itu diperkuat oleh pernyataan Heider (yang
dikutip oleh Sen, 2009:245) bahwa imaji
perempuan dimanfaatkan untuk menjual
film dan bahwa perempuan dipandang
pasif—tidak meyakinkan dan tidak pula
mengejutkan. Penggambaran seperti itu
sangat umum terjadi pada semua sinema
(Hollywood) dan hanya akan mengejutkan
jika itu tidak terjadi di Indonesia.
Penyalinan formula dari Hollywood
ke dalam sinema-sinema Orde Baru
pun bukan tanpa tujuan. Dalam sebuah
wawancara dengan Tilman Baumgartel, Nia
Dinata mengungkapkan bahwa pada masa
Fitria Sis Nariswari, Film Fiksi.: Antara Identitas Film Nasional dan Sinema ...
Jurnal Urban Vol 1, No.2, Januari - Juni 2018 :115- 215
206
Orde Baru semua sinema dikuasai oleh
Group21. “Bagaimanapun, ini sungguh sulit
untuk membuat film yang layak karena
harus selalu ada kesepakatan dengan
Group21 jika ingin orang menonton film
Anda. Tidak ada pusat kesenian pusat
pertunjukan yang mempertunjukkan film,
selain Group21 pada saat itu,” tutur Nia
Dinata pada Tilman Baumgartel (yang
dihimpun dalam buku Southeast Asian
Independent Cinema). Oleh karena itu, setiap
pembuat film harus mempertimbangkan sisi
‘balik modal’ jika ingin membuat film. Tak
ayal, film yang dibuat pun harus mengikuti
selera penguasa pada saat itu. Wacana
dominan dalam film adalah wacana
Hollywood sehingga yang menjadi patokan
film pada saat itu adalah film Hollywood.
Sebagaimana juga seperti yang
disampaikan oleh Baumgartel (2012:9)
bahwa hampir semua negara di Asia
Tenggara memiliki memori kolektif dengan
masa kolonial dan periode kediktatoran
pemimpin, termasuk juga Soeharto di
Indonesia. Oleh karena itu, topik-topik yang
kontroversial harus disapu bersih di bawah
kekuasaan untuk waktu yang sangat lama.
Hal ini juga tidak terlepas dari peranan film
yang dianggap dapat membentuk opini
publik.
Akan tetapi, lagi-lagi Reformasi
membawa sedikit angin segar untuk
beberapa hal, termasuk dalam industri
film. Film Fiksi. adalah film pasca-Orde
Baru yang dirilis pada tahun 2008. Citra
perempuan dalam film tersebut berubah
meskipun tidak keseluruhan. Dalam
film Fiksi., Alisha digambarkan sebagai
perempuan yang psikopat yang bisa
membunuh dengan mudahnya siapa pun
yang ia inginkan. Selain itu, harapan laki-
laki terhadap Alisha pun tidak terwujud,
misalnya saja harapan ayahnya yang
menginginkan Alisha tetap di rumah.
Alisha :Saya mau cari kerja.
Bapak :Kamu perlu uang
tambahan, berapa?
(terdengar suara pisau
dan garpu yang beradu/
mengiris makanan)
Alisha :Saya cuma ingin cari
kesibukan, kalau cuma di
rumah saja nunggu Bapak
datang sekali-kali, saya
bisa mati bosan. Atau
izinin saya keluar ikut
dengan Bapak dong.
(Menit ke 3:29 s.d. 4:14)
Tokoh Bapak tidak menginginkan
Alisha keluar rumah. Dia akan mencukupi
kebutuhan Alisha berapa pun yang Alisha
mau, tetapi Alisha hanya ingin kebebasan.
Namun, pada akhirnya Alisha pergi dari
rumah, pergi ke rumah susun yang sama
sekali berbeda dengan rumahnya. Pun
ketika Sopir Alisha juga memarahi Alisha
karena Alisha pergi tanpa bilang-bilang.
Dalam percakapan di bawah ini, Sopir
pun tidak menginginkan Alisha memiliki
kegiatan di luar rumah. Ia mendapat
mandat dari Bapak Alisha untuk menjaga
Alisha agar tidak keluar rumah sendirian.
Sopir :Lain kali mau pergi ke
mana pun tinggal bilang,
saya pasti antar!
Alisha :Saya bosan pergi sama
Bapak.
207
Sopir :Bosan enggak bosan, itu
sudah menjadi tugas saya!
Alisha :Kok, Bapak, jadi marah-
marah. Yang majikan
siapa?
(menit 26:00)
Perempuan dalam film Fiksi.
digambarkan sebagai seseorang yang
tertutup dan memiliki banyak rencana di
balik diamnya. Kamera tidak bergerak dari
sudut pandang laki-laki, tetapi dari sudut
pandang Alisha. Bagaimana mata Alisha
mewakili mata sutradara yang juga seorang
perempuan, misalnya saja ketika Alisha
melihat Bary di kolam renang. Alisha
mengagumi fisik Bary dengan menggambar
wajahnya di kaca jendela. Selain itu,
kamera juga menyusuri tubuh Bary dengan
cara close up dari wajah hingga ke dada. Itu
sudut pandang Alisha. Hal itu dapat terlihat
dalam gambar di bawah ini.
Tubuh Alisha tidak pernah
dipandang oleh kamera karena kamera
berjalan mengikuti sudut pandang Alisha.
Pembalikan sudut pandang dan pusat
dari mata kamera adalah laki-laki, yang
mungkin tidak akan dilakukan oleh
sutradara laki-laki. Barangkali, Mouly Surya
juga ingin menunjukkan bahwa perempuan
bisa saja memandang laki-laki secara fisik
sebagaimana yang sering dilakukan oleh
laki-laki. Selain itu, Alisha mengajak Bary
untuk berhubungan intim terlebih dulu. Hal
ini menunjukkan ada kekuasaan Alisha atas
diri Bary, entah karena apa. Barangkali, ini
yang dimaksud oleh Michalik (2013:23)
bahwa ada hal-hal yang tidak terlihat dan
tidak dipertontonkan ketika film tersebut
disutradarai oleh laki-laki.
Film dengan tokoh perempuan
yang tidak seperti penggambaran dalam
benak masyarakat seperti ini, barangkali
tidak akan lolos dalam sensor film pada
Gambar 5.Eye level Alisha ketika memandang Barry
Fitria Sis Nariswari, Film Fiksi.: Antara Identitas Film Nasional dan Sinema ...
Jurnal Urban Vol 1, No.2, Januari - Juni 2018 :115- 215
208
masa Orde Baru. Tidak hanya Alisha yang
tidak mau tunduk dalam perintah laki-
laki, dalam hal ini ayahnya, pun ibunya
yang mengajarkan Alisha untuk melawan
ayahnya. Ibu Alisha menembak kepalanya
sendiri karena tidak ingin melihat anak yang
dikandungnya menjadi milik perempuan
lain. Selain itu, film ini juga mengandung
kritik sosial pada sosok bapak dan seorang
lansia dalam cerita Bary.
Hal ini dapat diperlihatkan dari
sosok Alisha yang anak dari orang zaman
orde yang lama—dalam hal ini mengacu
pada Orde Baru. Sosok bapak dapat
menggambarkan seseorang yang kaya raya,
tetapi mendapatkan uangnya dari korupsi
dan nepotisme yang sudah mendominasi
negeri ini selama entah kapan. Hal
ini dapat terlihat dari perintah bapak
pada sopir ketika Alisha melamar kerja.
Alisha melamar kerja pada perusahaan
Multimediazone. Pada mulanya, Sang HRD
terlihat tidak tertarik dengan portofolio
Alisha, tetapi setelah menerima telepon,
HRD tersebut menyatakan menerima Alisha
sebagai pegawai. Namun, Alisha tahu
perubahan sikap HRD tersebut disebabkan
oleh telepon—yang pastinya dari orang
suruhan bapaknya.
Alasan dari trauma dan
keterasingannya berlipat ganda karena
masa lalunya yang buruk. Alisha semacam
teralienasi dari kehidupan kelas menengah
atas yang tidak dapat merasakan
kehangatan dari siapa pun dan juga ingatan
masa lalunya ketika ibunya bunuh diri.
Oleh karena itu, pada dasarnya, perilakunya
pun dibentuk oleh lingkungan tempat ia
bertumbuh. Jika bapaknya adalah orang
yang bisa menghalalkan segala cara untuk
mendapatkan sesuatu, Alisha pun demikian.
Ia mencintai Bary. Apa pun caranya akan
ia lakukan untuk mendapatkan cintanya,
termasuk pindah ke rumah susun kumuh
dan membunuh beberapa orang. Segala
perilakunya itu ia lakukan tanpa perasaan
bersalah. Barangkali, penggambaran sosok
Alisha dan bapaknya adalah gambaran
orang-orang yang berada di rezim
sebelumnya: diktator.
Film ini tidak akan mungkin
dibuat, terlebih diputar pada masa Orde
Baru. Cerita terakhir Bary seolah mengkritik
keras pemerintah yang berkuasa terhadap
ruang, tentu saja karena ada kapital di
belakangnya. Cerita terakhir Bary berkisah
tentang seorang lansia yang tidak ingin
masuk ke dalam unit rumah susunnya
karena ia merasa itu bukan miliknya.
Selama lima tahun—semenjak rumah susun
itu dibangun—lelaki tua itu hanya duduk
di atas tikar depan unit rumah susunnya.
Kamera mengambil close up wajah Alisha
yang membaca cerita terakhir Bary, lalu
berpindah medium shot untuk mengambil
gambar lelaki tua yang sedang duduk di
atas tikar. Kutipan ceritanya dapat dilihat
sebagai berikut:
Aku duduk di atas tikar. Tikar
yang sama yang aku duduki selama
lima tahun. Di sini, di depan kamar
rumah susunku. Bukan, bukan kamar
rumah susunku. Kalau aku mengakui
bahwa ini rumah susunku, berarti aku
kalah dan mereka menang. Mereka
membakar rumahku lima tahun yang
lalu. Mereka mengambil tanah kami
untuk membangun rumah susun ini.
Mereka tidak memberi ganti rugi.
209
Mereka hanya memberikan sebuah
rumah di lantai 7 yang tidak akan
pernah bisa menggantikan rumahku
yang aman. Bukan karena rumahku
adalah rumah yang besar, tapi aku
membangunnya dengan tanganku
sendiri. Adikaryaku. Satu-satunya
adikarya yang pernah aku punya.
(menit 01:22 s.d. 01:23)
Dari kutipan tersebut, dapat
diketahui bahwa itu adalah rintihan
rakyat tentang pembangunan yang
seringkali merugikan rakyat kecil. Lelaki
tua itu bertahan pada apa yang menjadi
miliknya: rumah yang dibakar. Pada
praktiknya, beberapa berita menyiarkan
bahwa beberapa perkampungan kumuh
terbakar, tetapi nyatanya dibakar. Dalam
esai Hartiningsih (2011) disebutkan bahwa
ruang yang dimiliki rakyat miskin pun
masih dirampok. Tentu saja hal ini menjadi
sebuah ironi. Ketika rakyat miskin berjuang
untuk mempertahankan ‘ruang’-nya, para
kapitalisme dan pemerintah juga sedang
berjuang mewujudkan megacity di atas
ruang rakyat miskin tersebut.
Penutup
Film ini memaparkan banyak isu,
misalnya tentang isu gender, kemiskinan,
dan kesakitan mental. Film ini dikemas
dalam drama thriller, tetapi kritik sosial
pun disisipkan di sana-sini. Tidak dapat
dimungkiri, ideologi seorang sutradara pun
terlihat meskipun samar bahwa Mouly Surya
menginginkan adanya tokoh perempuan
yang bisa menjadi counter dari film-film
yang bersudut pandang laki-laki. Secara
tidak langsung, film ini menunjukkan
bahwa sang sutradara juga seorang yang
peduli terhadap masalah perempuan—
meskipun tidak secara langsung harus
disebut sebagai feminis. Isu yang diangkat
pun menyangkut homoseksual meskipun
tidak menjadi cerita sentral. Menurut
Gayatri (dalam Kurnia, 2013:43), fenomena
feminisme di Indonesia juga merupakan
fenomena Asia yang memiliki karakteristik
khusus. Ini tidak memiliki gelombang
sebagaimana feminisme di dunia Barat.
Bagaimanapun, film ini sudah bisa sedikit
melepaskan diri dari wacana dominan film
(baca: Hollywood) untuk membentuk sebuah
identitas film nasional. Beruntungnya, film
Fiksi. lahir dalam rezim Reformasi sehingga
tidak harus mengalami nasib buruk tidak
lulus sensor.
DAFTAR PUSTAKA
Ajidarma, Seno Gumira. 2014. “Film
Indonesia dan Identitas Nasional
dalam Kondisi Pascanasional. www.
filmindonesia.or.id/film-indonesia-
dan-identitas-nasional-dalam-
kondisi-pascanasional diakses pada
20 Mei 2014 pukul 14.23 WIB
Ajidarma, Seno Gumira. Tanpa tahun.
“Kibul Hollywood dan Ekonomi
Budaya” dalam Seri Sinema Kajian
Budaya (7)
Aripurnami, Sita. 1990. “Sosok Perempuan
dalam Film Indonesia: Gambaran
Beberapa Persoalan” dalam Prisma
(Majalah Pemikiran Sosial dan
Ekonomi) No. 5, Tahun XIX 1990
Fitria Sis Nariswari, Film Fiksi.: Antara Identitas Film Nasional dan Sinema ...
Jurnal Urban Vol 1, No.2, Januari - Juni 2018 :115- 215
210
Baumgartel, Tilman (ed.). 2012. Southeast
Asian Independent Cinema.
Singapore: National University of
Singapore Press
Gabriel, Thesome. 1982. Third Cinema in
the World. Ann Arbor: Research Press
Hartiningsih, Maria. 2011. “The Fragmented
Face of the City: Our Face” dalam
Jurnal Inter-Asia Cultural Studies,
Volume 12, Nomor 4 2011
Heider, Karl G. 1991. Indonesia Cinema:
National Culture on Screen. Honolulu:
University of Hawaii Press
Lent, Joh, A. 2012. “Southeast Asian
Independent Cinema: Independent
of What?” dalam Southeast Asian
Independent Cinema. Singapore:
National University of Singapore
Press
Michalik, Yvonne. 2013. Indonesian Women
Filmmakers. Berlin: Regiospectra
Verlag
Monaco, James. 1977. How to Read a Film.
Edisi Revisi. New York: Oxford
University Press
Paramadhita, Intan. 2012. “Cinema,
Sexuality and Censorship in Post-
Soeharto Indonesia” dalam Southeast
Asian Independent Cinema.
Singapore: National University of
Singapore Press
Sen, Krishna. 2009. Kuasa dalam Sinema:
Negara, Masyarakat dan Sinema
Orde Baru. Yogyakarta: Penerbit
Ombak
FilmografiSoedjarwo, Rudi, 2004, Mengejar Matahari,
SinemArt Kipass Communication
Surya, Mouly, 2008, Fiksi., Cinesurya
Production