14
59 RITUAL MIMMALA MATAMBA BULUNG MASYARAKAT PATTAE’ KECAMATAN BINUANG, KABUPATEN POLEWALI MANDAR THE RITUAL OF MIMMALA MATAMBA BULUNG FOR PATTAE’ COMMUNITY SUBDISTRICT OF BINUANG, POLEWALI MANDAR REGENCY Nurhaeva Alim, Abdul Rahman, Nurlela Universitas Negeri Makassar Program Studi Pendidikan Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial, Jl. Andi Pangerang Pettarani, Gunungsari, Makassar Email:[email protected] Diterima: 29 Maret 2020; Direvisi: 18 April 2020; Disetujui: 01 Juni 2020 ABSTRACT This article discusses the ritual of Mimmala Matamba Bulung for Pattae’ community in Polewali Mandar Regency. The purpose of this research is to explain the process, values, functions and inheriting of the ritual. This is a qualitative research that seeks to understand and interpret the meaning of an event in a particular situation from the researcher’s perspective. Data collection techniques are observation, interviews, and documentation involving eight informants. The result shown that this ritual is the ritual of farmers’ ancestors of Pattae’ community which aims to ask for plant safety and fertility, is carried out every March or April every year when entering the harvest period. This ritual has a socio-economic function and as a manifestation of the mutual cooperation value for the community in order to always maintain harmony with nature. This ritual is passed down from generation to generation by the community with an important role from Tomatua. Keywords: ritual, religious function, socio-economic function. ABSTRAK Artikel ini membahas tentang ritual mimmala matamba bulung bagi masyarakat Pattae’ di Kabupaten Polewali Mandar. Tujuan penelitian adalah menjelaskan proses, nilai, fungsi, dan pewarisan ritual tersebut. Ini termasuk penelitian kualitatif yang berusaha memahami dan menafsirkan makna suatu peristiwa dalam situasi tertentu menurut perspektif peneliti. Teknik pengumpulan data melalui observasi, wawancara, dan dokumentasi dengan melibatkan delapan informan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ritual ini adalah ritual petani nenek moyang masyarakat Pattae’ yang bertujuan untuk meminta keselamatan dan kesuburan tanaman, dilakukan setiap bulan Maret atau April setiap tahun ketika memasuki masa panen. Ritual ini memiliki fungsi sosial-ekonomi dan sebagai wujud nilai gotong royong masyarakat agar senantiasa menjaga keharmonisan dengan alam. Ritual ini diwariskan secara turun-temurun oleh masyarakat dengan peran penting dari Tomatua. Kata kunci: ritual, fungsi religi, fungsi sosial-ekonomi PENDAHULUAN Masyarakat Indonesia memiliki struktur yang bercorak majemuk. Dalam pandangan Kusumohamidjojo (2000: 45), masyarakat Indonesia beserta kebudayaannya merupakan sesuatu yang kompleks dalam arti bersifat jamak sekaligus beraneka ragam (heterogenitas). Heterogenitas merupakan suatu kualitas dari keadaan yang menyimpan perbedaan dalam unsur-unsurnya. Artinya, masing-masing subkelompok masyarakat itu berserta kebudayaannya benar-benar berbeda satu dari yang lainnya (Handoyo, 2015: 7). Keanekaragaman masyarakat dan budaya Indonesia merupakan modal dasar dalam pengembangan Bangsa Indonesia dalam berbagai dimensinya sebagai upaya dalam mewujudkan pembangunan yang

WALASUJI Volume 11, No. 1, uni 2020 - Kemdikbud

  • Upload
    others

  • View
    0

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: WALASUJI Volume 11, No. 1, uni 2020 - Kemdikbud

59

WALASUJI Volume 11, No. 1, Juni 2020:

RITUAL MIMMALA MATAMBA BULUNG MASYARAKAT PATTAE’ KECAMATAN BINUANG, KABUPATEN POLEWALI MANDAR

THE RITUAL OF MIMMALA MATAMBA BULUNG FOR PATTAE’ COMMUNITY SUBDISTRICT OF BINUANG, POLEWALI MANDAR REGENCY

Nurhaeva Alim, Abdul Rahman, NurlelaUniversitas Negeri Makassar

Program Studi Pendidikan Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial,Jl. Andi Pangerang Pettarani, Gunungsari, Makassar

Email:[email protected]: 29 Maret 2020; Direvisi: 18 April 2020; Disetujui: 01 Juni 2020

ABSTRACT

This article discusses the ritual of Mimmala Matamba Bulung for Pattae’ community in Polewali Mandar Regency. The purpose of this research is to explain the process, values, functions and inheriting of the ritual. This is a qualitative research that seeks to understand and interpret the meaning of an event in a particular situation from the researcher’s perspective. Data collection techniques are observation, interviews, and documentation involving eight informants. The result shown that this ritual is the ritual of farmers’ ancestors of Pattae’ community which aims to ask for plant safety and fertility, is carried out every March or April every year when entering the harvest period. This ritual has a socio-economic function and as a manifestation of the mutual cooperation value for the community in order to always maintain harmony with nature. This ritual is passed down from generation to generation by the community with an important role from Tomatua.

Keywords: ritual, religious function, socio-economic function.

ABSTRAKArtikel ini membahas tentang ritual mimmala matamba bulung bagi masyarakat Pattae’ di Kabupaten Polewali Mandar. Tujuan penelitian adalah menjelaskan proses, nilai, fungsi, dan pewarisan ritual tersebut. Ini termasuk penelitian kualitatif yang berusaha memahami dan menafsirkan makna suatu peristiwa dalam situasi tertentu menurut perspektif peneliti. Teknik pengumpulan data melalui observasi, wawancara, dan dokumentasi dengan melibatkan delapan informan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ritual ini adalah ritual petani nenek moyang masyarakat Pattae’ yang bertujuan untuk meminta keselamatan dan kesuburan tanaman, dilakukan setiap bulan Maret atau April setiap tahun ketika memasuki masa panen. Ritual ini memiliki fungsi sosial-ekonomi dan sebagai wujud nilai gotong royong masyarakat agar senantiasa menjaga keharmonisan dengan alam. Ritual ini diwariskan secara turun-temurun oleh masyarakat dengan peran penting dari Tomatua.

Kata kunci: ritual, fungsi religi, fungsi sosial-ekonomi

PENDAHULUAN

Masyarakat Indonesia memiliki struktur yang bercorak majemuk. Dalam pandangan Kusumohamidjojo (2000: 45), masyarakat Indonesia beserta kebudayaannya merupakan sesuatu yang kompleks dalam arti bersifat jamak sekaligus beraneka ragam (heterogenitas). Heterogenitas merupakan suatu kualitas dari keadaan yang menyimpan

perbedaan dalam unsur-unsurnya. Artinya, masing-masing subkelompok masyarakat itu berserta kebudayaannya benar-benar berbeda satu dari yang lainnya (Handoyo, 2015: 7).

Keanekaragaman masyarakat dan budaya Indonesia merupakan modal dasar dalam pengembangan Bangsa Indonesia dalam berbagai dimensinya sebagai upaya dalam mewujudkan pembangunan yang

Page 2: WALASUJI Volume 11, No. 1, uni 2020 - Kemdikbud

60

WALASUJI Volume 11, No. 1, Juni 2020:

berpengaruh pada ranah ekonomi dan tatanan sosial kemasyarakatan yang dituangkan dalam ritual mimimala matamba bulung yang merupakan ritual untuk memohon keselamatan dan terhindar dari gagal panen.

Ritual mimmala matamba bulung dilaksanakan oleh Masyarakat Pattae’ yang mendiami Desa Kaleok, Kecamatan Binuang Kabupaten Polewali Mandar. Ritual ini merupakan sisa-sisa jejak animisme dan dinamisme yang memiliki makna tersendiri bagi Masyarakat Pattae’ (Mulyadi, 2015: 3). Ritual sebagai sebuah peristiwa sosial budaya merupakan salah satu gejala yang paling banyak diamati, dideskripsikan dan dianalisis oleh para ahli antropologi dengan maksud menampilkan kekhasan suatu masyarakat (Putra, 2006: 17). Ritual bertujuan mendapatkan berkah atau rezeki yang banyak dari suatu pekerjaan, ada untuk menolak bahaya yang telah atau diperkirakan akan datang, ada upacara mengobati penyakit, ada upacara karena perubahan atau siklus dalam kehidupan manusia, seperti pernikahan, mulai kehamilan, kelahiran, dan kematian. Ritual berkaitan dengan kekuatan supranatural dan kesakralan sesuatu. Ritual dipahami sebagai upacara keagamaan yang berbeda sama sekali dengan yang natural, profan dan aktivitas ekonomis, rasional sehari-hari (Agus, 2006: 95-98).

Menurut Alexander, ritual terkait dengan agama tradisional, ialah membuka keteraturan kehidupan ke arah realitas tak terbatas. Glickman lebih lanjut menguraikan bahwa ritual merupakan sekumpulan aktivitas manusia yang kompleks dan tidak mesti bersifat teknis atau rekreaksional, tetapi melibatkan model perilaku yang sepatutnya dalam suatu hubungan sosial (Syam, 2005: 18-19). Ritual merupakan wujud nyata hubungan antara manusia dengan Tuhan sebagai pencipta alam semesta yang memilik makna: pertama, ketidakberdayaan manusia di hadapan Tuhan sebagai penguasa alam semesta. Kedua, penyerahan secara jasmani dan rohani diri manusia kepada kebesaran Tuhan untuk mendapat berkah dan karunia-Nya. Ketiga,

berkualitas. Pembangunan berkualitas menurut Badan Perencanaan Pembangunan Nasional ialah pembangunan yang bersifat inklusif, berbasis luas, dan tidak menciptakan kesenjangan antarkelompok, antarwilayah, ataupun antargenerasi. Namun perlu dipahami bahwa pembangunan berkualitas dapat dicapai jika menggunakan data dan informasi kependudukan, termasuk kebudayaannya sebagai basis utama perencanaan pembangunan (Kuncoro & Harmadi, 2016: xvii). Pembangunan lazim dikonsepsikan sebagai perubahan yang disengaja ke arah yang lebih baik berdasarkan norma-norma, nilai-nilai dan pengetahuan tertentu. Usaha melakukan perubahan tersebut dapat diinisiasi oleh pemerintah, swasta, masyarakat atau kerja sama antarmereka (Usman, 2015:4).

Manusia Indonesia secara kultural berada pada tiga ruang budaya, yakni: pertama, kampung lokal, misalnya etnik Jawa berkampung di Pulau Jawa, etnik Bali berkampung di Pulau Bali, etnik Mandar berkampung di Tanah Mandar dan seterusnya. Kedua, etnik-etnik di Indonesia adalah bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sehingga dapat dikatakan bahwa mereka berada pada kampung nasional. Ketiga, NKRI berada pada kampung lebih besar, yakni kampung global, sekaligus berarti pula ikut pada kampung global karena etnik-etnik di Indonesia adalah bagian dari NKRI (Yadnya & Ardika, 2017: 2).

Mandar sebagai sebuah etnik menempati ruang sosiokultural yang lebih populer dikenal dengan Litaq Mandar (Tanah Mandar) dan memiliki tradisi dengan berbagai fungsinya yang hingga saat ini tetap bertahan. Secara geografis dan administratif, etnik Mandar tersebar di wilayah Provinsi Sulawesi Barat, salah satunya di Kabupaten Polewali Mandar (Mulyadi, 2015: 7). Sebagaimana yang dikemukakan oleh (Adimihardja, 1999: v) bahwa masyarakat Indonesia secara umum bekerja dalam sektor pertanian, maka realitas tersebut dapat dilihat pada masyarakat Polewali Mandar. Keberadaan petani dan urgensinya pada wilayah ini

59—72

Page 3: WALASUJI Volume 11, No. 1, uni 2020 - Kemdikbud

61

WALASUJI Volume 11, No. 1, Juni 2020:

ungkapan rasa syukur dan terima kasih manusia kepada Tuhan (Legawa, 1999: 130).

METODE

Lokasi riset ini di Desa Kaleok, Kecamatan Binuang, Kabupaten Polewali Mandar Provinsi Sulawesi Selatan. Pertimbangan memilih lokasi ini adalah salah satu daerah persebaran masyarakat Pattae’ yang masih menjalankan ritual mimmala matamba bulung. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan metode kualitatif. Alasannya karena metode kualitatif adalah tradisi penelitian dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan aktivitas manusia dalam kekhasannya sendiri (Sugeng, 2016: 35). Pengumpulan data dilakukan pada Maret sampai April 2019 dengan cara observasi partisipasi, wawancara mendalam dan dokumentasi. Setelah proses pengumpulan data, peneliti selanjutnya melakukan analisis data. Tahapan analisis data dilakukan beriringan dengan proses pengumpulan data. Ada tiga tahap analisis yang ditempuh yaitu reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan.

PEMBAHASAN

Prosesi Ritual

Hingga saat ini belum ada kesepakatan umum tentang keberadaan masyarakat perdesaan dalam bentuk pengertian yang baku. Akan tetapi, perdesaan memiliki arti tersendiri dalam kajian struktur sosial atau kehidupannya. Dalam keadaan yang sebenaranya, perdesaan dianggap sebagai standar dan pemeliharaan sistem kehidupan masyarakat dan kebudayaan asli seperti gotong royong, tolong-menolong, keguyuban, persaudaraan, kesenian, kepribadian luhur dalam berpakaian, adat istiadat, norma dan nilai-nilai. Perdesaan digambarkan sebagai wilayah yang masyarakatnya bergaul dalam nuansa keharmonisan dan kerukunan (Komara, 2019: 151). Gambaran tersebut jika dipersentuhkan dengan kondisi yang ada di

Desa Kaleok, boleh dikata masih mendekati keadaan tersebut. Masyarakatnya masih konsisten dalam menjaga tradisi dan nilai-nilai budaya yang mereka warisi secara turun temurun. Salah satu tradisi yang masih bertahan ialah ritual mimmala matamba bulung.

Aktivitas ritual yang terkait dengan kepercayaan atau religi dalam kehidupan manusia dengan berbagai motif dan pemaknaan yang diberikan terhadap aktivitas itu, bersifat sangat subjektif dan unik bagi masyarakat pendukungnya, dan karenanya dapat memberikan identitas bagi kelompok atau masyarakatnya. Aktivitas ritual menjadi kebutuhan sosioreligius dan mentradisi dalam kehidupan bersama. Kebutuhan ritual seperti itu tampak terimplikasi pada kehidupan masyarakat petani di Desa Kaleok. Kegiatan-kegiatan ritual yang berkaitan dengan aktivitas pertanian jika diperhatikan lebih mendalam, adalah suatu hal yang merupakan konkretisasi kepercayaan terhadap pemilik alam semesta. Masyarakat petani mempercayai kebesaran Tuhan Yang Maha Esa sebagai penguasa jagat dengan melakukan pengorbanan materi untuk dinikmati secara bersama. Mereka percaya bahwa pengorbanan yang dibarengi dengan doa pada ritual mimmala matamba bulung akan mendapat balasan yang setimpal dari Tuhan Yang Maha Esa berupa tanah yang subur, hujan yang cukup, tanaman terbebas dari serangan hama serta hasil panen yang melimpah.

Membahas ritual mimmala matamba bulung saat ini tidak dapat dilepaskan dari sejarah atau awal mula dilaksanakannya ritual ini oleh masyarakat Pattae’. Pada awalnya ritual ini dilaksanakan sebagai upaya untuk mengatasi bencana kekeringan yang berujung pada kegagalan panen. Ritual ini berkaitan dengan masyarakat petani sebagai sarana spiritual untuk memanggil atau meminta kesuburan hasil tanaman kepada Yang Kuasa. Hal tersebut juga relevan dengan tujuan dan pelaksanaan ritual yang erat kaitannya dengan bidang pertanian ataupun perkebunan. Secara umum ritual ini dilaksanakan oleh masyarakat yang bermukim

Ritual Mimmala Matamba Bulung Masyarakat... Nurhaeva

Page 4: WALASUJI Volume 11, No. 1, uni 2020 - Kemdikbud

62

WALASUJI Volume 11, No. 1, Juni 2020:

di wilayah dataran tinggi. Pelaksanaan ritual saat ini sudah dipengaruhi oleh ajaran Islam, sehingga pelaksanaannya tidak lagi berkaitan dengan animisme dan dinamisme, tetapi sebagai bentuk harapan dan kesyukuran mereka selama menjalankan aktivitas pertanian yang memperoleh hasil memadai.

Tahap Pelaksanaan

Pertama, sebelum masuk pada pelaksanaan ritual, dilakukan beberapa persiapan yang melibatkan masyarakat setempat, tokoh agama serta tokoh adat. Pada tahap persiapan, ada beberapa hal yang harus diperhatikan dan yang perlu dipersiapkan agar ritual bisa berjalan dengan baik. Adapun hal-hal tersebut adalah penentuan hari pelaksanaan, musyawarah atau berunding antara tokoh adat dan sando serta masyarakat, serta persiapan tempat, makanan dan perangkat ritual yang akan dibawa ke lokasi. Dalam perundingan atau musyawarah prapelaksanaan ritual dihadiri oleh Imam atau tokoh agama setempat, Tomatua atau orang yang dituakan kemudian perwakilan masyarakat dalam hal ini petani setempat. Beberapa keputusan musyawarah tersebut adalah tanggal pelaksanaan ritual dan tempat diadakannya ritual. Setelah keputusan musyawarah diberitahukan kepada masyarakat, selanjutnya masyarakat setempat akan bergotong-royong mempersiapkan perlengkapan dan makanan untuk disajikan di lokasi pelaksaaan ritual. Hal yang penting juga setelah adanya hasil musyawarah adalah Tomatua, tokoh agama atau pun masyarakat memanggil sando untuk memimpin doa saat pelaksanaan ritual. Sando di sini adalah orang yang dipercaya oleh Tomatua untuk membaca doa-doa pada pelaksanaan ritual. Musyawarah tersebut tidak hanya membahas mengenai penentuan hari, juga menentukan tempat yang digunakan untuk pelaksanaan ritual. pemilihan lokasi atau tempat pelaksanaan ritual ditentukan melalui kesepakatan warga. Tolok ukur pemilihan lokasi ritual tidak begitu kompleks, hanya berdasarkan pada kebersihan

dan luas lokasi tersebut artinya berdasarkan pada kondusif atau tidaknya lokasi tersebut. Tidak ada penetapan atau pematenan lokasi ritual secara tertulis, hanya berdasarkan pada kesukarelaan warga ditambah dengan kesepakatan. Lokasi atau tempat pelaksanaan ritual adalah berupa lahan luas yang berada di sekitar kebun warga. Beliau juga menambahkan bahwa ada perbedaan pemilihan lokasi atau tempat pelaksanaan ritual berdasarkan kondisi alam desa. Ritual Mimmala Matamba Bulung yang dilakukan masyarakat Pattae’ di Desa Kaleok yang memiliki kondisi geografis berupa dataran tinggi atau pegunungan, maka lokasi ritual berada di lahan luas dekat lahan perkebunan warga. Sedangkan masyarakat petani yang berada di dataran rendah yakni masyarakat Pattae’ Desa Amola melakukan ritual di sawah milik petani setempat.

Tahap kedua adalah persiapan pengadaan perlengkapan dan makanan yang akan disajikan pada rangkaian pelaksanaan ritual. Sajian perlengkapan dan makanan tersebut adalah sebagai berikut; lima jenis ayam yaitu manu cella (ayam berbulu merah), manu rame (orang setempat menyebutnya ayam rame), manu kaliabo (ayam hutan), manu bolong (ayam berbulu hitam yang berkaki hitam), dan manu rame malotong letteqna (ayam rame yang berkaki hitam). Jumlah ayam yang disediakan minimal lima ekor, tetapi jumlah ayam yang lebih dari lima dianggap lebih baik. Tiga jenis beras, yaitu barraq mabusa (beras putih), barraq malea (beras merah) dan barraq malotong (beras hitam). Jika ketersediaan beras kurang lengkap, tidak masalah jika hanya jenis beras putih yang disediakan akan tetapi jika tiga jenis beras mampu disediakan maka dianggap lebih baik lagi untuk kelangsungan ritual. Bahan lain yang harus disediakan ialah lammang dan bombong. Lammang sejenis batang bambu yang akan digunakan untuk wadah beras saat dimasak di lokasi ritual. Sedangkan bombong ialah janur kuning atau pucuk daun kelapa. Bombong adalah hal yang wajib disediakan pada saat akan dilaksanakan ritual. Bombong

59—72

Page 5: WALASUJI Volume 11, No. 1, uni 2020 - Kemdikbud

63

WALASUJI Volume 11, No. 1, Juni 2020:

memiliki fungsi sebagai penanda bahwa di tempat tersebut sedang dilaksanakan ritual.

Tahapan ketiga merupakan tahapan puncak. Setelah semua persiapan telah diperadakan, maka masyarakat menuju ke lokasi ritual pada pagi hari dengan membawa bahan-bahan yang telah disediakan sebelumnya. Pada acara puncak ini, masyarakat setempat dan masyarakat luar (jika ada) berkumpul di lokasi ritual. Kemudian perwakilan masyarakat memanggil tokoh adat dan tokoh agama setempat dalam hal ini Imam masjid dan sando untuk memulai atau membuka rangkaian ritual. Pembukan ritual ditandai dengan pemotongan ayam dalam hal ini manu bolong (ayam hitam) betina dilakukan oleh Imam tersebut. Setelah pemotongan manu bolong oleh Imam, mengikut dipotongnya ayam-ayam jenis lain secara acak. Ada ketentuan dalam pemotongan ayam, yakni mendahulukan ayam betina untuk dipotong. Setelah pemotongan ayam, kemudian Imam tersebut menyerahkannya kepada sando. Sando berperan memimpin doa dan memandu jalannya ritual. Selanjutnya, setelah sando selesai membuka ritual, maka masyarakat yang hadir saat itu diperbolehkan memasak semua bahan yang dibawa. Khusus untuk bahan beras dimasukkan ke dalam bambu atau Lammang kemudian dimasak hingga menjadi nasi atau disebut nande, kemudian ayam-ayam yang sudah dipotong dimasak dengan bumbu sederhana dengan menggunakan daun kadundung (daun kedondong) dan sekaligus pemasangan bombong pada tiang yang telah disediakan sebagai penanda bahwa diadakannya ritual. Setelah semua bahan makanan yang dibawa telah matang, maka masyarakat yang hadir saat itu diperbolehkan untuk menyantap makanan tersebut bersama-sama. Tahapan akhir ritual ditandai ketika matahari mulai meninggi atau mulai memasuki siang hari, masyarakat setempat bergegas untuk menyelesaikan ritual. Makanan yang masih tersisa diperbolehkan untuk dibawa pulang oleh masyarakat. Masyarakat juga diperbolehkan untuk membawa pulang bombong untuk

digantung di rumah ataupun di kebun masing-masing untuk mengambil keberkahan.

Berdasarkan uraian tersebut, jelas bahwa ritual ini terkait dengan upaya menjaga keselarasan dengan alam semesta. Hal ini senada dengan pendapat dari Munafi bahwa manusia dalam melangsungkan kehidupannya di mana pun ia berada akan selalu dipengaruhi oleh lingkungannya, dalam hal ini alam semesta. Ekosistem tempat hidup manusia merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan unsur lainnya. Dengan demikian, kelangsungan hidup manusia banyak bergantung pada kelestarian ekosistemnya. Guna menjaga kelestarian ekosistem itu, manusia dituntut menjaga keserasian hubungan dengan lingkungannya, sebab manakala ekosistem terganggu, akan terganggu pula kesejahteraan hidup manusia (Febrianto, 2016: 79). Hal ini senada pula yang dikemukakan oleh Julian Steward (dalam Abdullah, 2017: 71) bahwa moda subsistensi masyarakat yang dipengaruhi oleh sistem keagamaan dan nilai-nilai sosial memungkinkan manusia dapat beradaptasi dengan lingkungan, sehingga terjadi keberlanjutan ekosistem yang saling menguntungkan antara manusia dengan alam sekitar.

Ritual ini sekaligus menunjukkan bahwa masyarakat Desa Kaleok telah memiliki kesadaran bahwa mereka merupakan bagian yang tak terpisahkan dan berada di dalam alam semesta. Mereka menghuni dan memperoleh kehidupan dari alam semesta yang sama dan bersama sebagaimana semua makhluk hidup lainnya. Sambil bersamaan dengan itu, manusia saling menunjang dan memungkinkan masing-masing organisme hidup dapat berkembang dan bertahan hidup melalui proses timbal balik menyerap energi dan materi sambil bersamaan dengan itu mengeluarkan sisa-sisa proses metabolisme untuk diserap oleh organisme yang lain. Di sini letak keluhuran yang ditampilkan oleh masyarakat petani di Desa Kaleok bahwa keberlanjutan kehidupan ini harus senantiasa dihormati, dijaga dan dipelihara. Hal itu pun sekaligus memperlihatkan bahwa mereka pada

Ritual Mimmala Matamba Bulung Masyarakat... Nurhaeva

Page 6: WALASUJI Volume 11, No. 1, uni 2020 - Kemdikbud

64

WALASUJI Volume 11, No. 1, Juni 2020:

tempat pertama dan terutama sebagai manusia adalah makhluk ekologis, makhluk yang hanya dapat bertahan hidup dalam jaring kehidupan dan interaksi dengan seluruh tatanan ekologis lainnya. Tanpa interaksi ekologis dalam tatanan ekologis itu, manusia akan musnah dan kehilangan jati dirinya sebagai organisme hidup. Hal ini senada dengan penegasan dari (Keraf, 2017: 120) bahwa manusia memiliki kemampuan kognitif untuk merespon dan berinteraksi dengan lingkungannya melalui persepsi, perasaan, dan perilaku.

Fungsi Ritual

Para ilmuwan sosial budaya mengakui bahwa manusia, terutama pada masyarakat perdesaan dalam menemukan gagasan atau mengambil tindakan selalu dikaitkan dengan keyakinan tentang kehidupan kosmis. Lebih-lebih aktivitas berupa perbuatan ekspresif yang mengandung arti simbolik, seperti perilaku upacara, kepercayaan, dan perangkat-perangkat tindakan yang berdasarkan pada keyakinan, sedikit banyak dilandasi oleh kesadaran ke-hidupan kosmik. Perilaku-perilaku tersebut bagi mereka, bukan hanya berarti ekspresif, melainkan juga berfungsi mengatasi keadaan yang menimbulkan krisis bagi kehidupan mereka.

Kebudayaan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan umat manusia. Kebudayaan hadir beriring dengan kehadiran kehidupan manusia. Sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia, sudah selayaknya jika kebudayaan merupakan sebuah sistem yang terkait dengan kehidupan manusia di dunia ini. Dalam pandangan antropologi, khususnya para penganut teori fungsionalisme struktural, kebudayaan merupakan proses keterkaitan pengaruh satu subsistem atas subsistem lainnya, misalnya bagimana ritual keagamaan berpengaruh terhadap kehidupan manusia (Syam, 2007: 29). Dalam perspektif inilah, ritual mimmala matamba bulung dapat dianalisis.

Ritual tidak hanya sebatas pada rangkaian teknis pelaksanaan semata, melainkan memiliki makna dalam pelaksanaannya. Makna atau nilai yang terkandung dalam ritual tersebut adalah gambaran dari pandangan hidup masyarakat setempat yang masih menjaga keberadaannya. Pelakasanaan ritual memiliki perspektif perilaku yang terus bergerak dari realitas kehidupan sehari-hari masyarakat petani di Desa Kaleok hingga realitas yang lebih luas, yang mengoreksi dan melengkapi kenyataan sehari-hari, dengan menerima secara totalitas dan penuh keyakinan. Perilaku tersebut bersumber dan terinspirasi oleh kehidupan dunia simbolik, sehingga tampil menjadi tindakan-tindakan simbolik. Dengan demikian, tampaklah ritual menjadi perilaku yang dikeramatkan dan dipercaya sebagai konsep-konsep religius yang memberi hidup lebih bermakna. Simbol-simbol religius memberikan jaminan kosmis bukan hanya bagi kemampuan mereka (petani) untuk memahami dunia/alam semesta, melainkan juga memberi presisi pada perasaan untuk memahami alam semesta ini dengan penuh perasaan. Hal tersebut sesuai dengan pendapat (Ghazali, 2011: 50-51) bahwa ritual merupakan buah pokok manusia, dan arena kondisi kultural, tidak semua kebutuhan hidup manusia dapat diatasi melalui pikiran. Oleh karena itu, manusia berusaha memecahkan persoalan-persoalan hidupnya melalui cara-cara non-rasional, atau melalui “jalan pintas” sebagai alternatif lain yang ditempuhnya. Dari kondisi ini, muncul keyakinan bahwa penyebab adanya berbagai problema kehidupan adalah akibat adanya “sesuatu” kekuatan. “Kekuatan” inilah yang menjadi objek penyakralan semua dimensi kehidupan yang ada.

Berikut beberapa fungsi ritual mimmala matamba bulung berdasarkan hubungan antara pelaksanaan ritual dengan kondisi religi serta sosial-ekonomi masyarakat setempat. Pertama, Fungsi Religi. Jauh sebelum masyarakat Kaleok mengenal agama Kristen dan Islam, di daerah ini dikenal suatu kepercayaan yang bersifat animisme, yang termasuk dalam Agama Kapere’

59—72

Page 7: WALASUJI Volume 11, No. 1, uni 2020 - Kemdikbud

65

WALASUJI Volume 11, No. 1, Juni 2020:

atau biasa juga disebut Aluk Todolo. Aluk Todolo sama halnya kepercayaan yang dianut oleh masyarakat Tana Toraja sebelum agama Islam dan Kristen masuk di daerah tersebut. Aluk Todolo menurut salah satu masyarakat Desa Kaleok terdiri atas dua suku kata Aluk dan Todolo. Aluk berarti ajaran, sedangkan Todolo adalah leluhur, orang dulu, atau biasa disebut nenek moyang. Jadi secara istilah Aluk Todolo adalah salah satu bentuk kepercayaan animisme yang beranggapan bahwa ada benda-benda tertentu yang mempunyai kekuatan berdasarkan kepercayaan leluhur. Menurut Tangdilintin (dalam Sapri, 2016: 13), Aluk Todolo adalah salah satu kepercayaan atau keyakinan yang diturunkan oleh Puang Matua (Sang Pencipta) dalam bahasa Pattae’ disebut Puang Mikombong pada Datu Laukku (Nabi Adang) yang berisi aturan agama bahwa manusia dan segala isi bumi ini harus menyembah. Penyembahan tersebut ditujukan pada Puang Matua sebagai Sang Pencipta yang diwujudkan dalam bentuk sajian. Puang Matua sebagai Sang Pencipta yang memberi kekuasaan pada Sang Pemelihara alam semesta.

Ritual ini menjadi sebuah wujud terima kasih masyarakat khususnya masyarakat petani Pattae’ setempat kepada penguasa alam atas segala rezeki yang didapatkan dalam hal ini kesuburan dan keselamatan dari bahaya. Hal tersebut tidak terlepas dari nilai kerohanian yang terdapat dalam ritual tersebut yakni masyarakat tidak takabur dan tidak merasa paling kuat karena masih mempercayai adanya zat yang lebih berkuasa dibanding mereka. Dari nilai tersebut tersiratkan bahwa masyarakat setempat meyakini bahwa alam tidak hanya milik manusia dan boleh dimanfaatkan sesuka hati oleh manusia, melainkan terdapat nilai religius di mana masyarakat setempat menghargai alam sebagai makhluk yang setara dengan poisisi mereka di muka bumi yang patut dijaga dan dipelihara. Dari hal tersebut juga menyiratkan makna bahwa alam bukan hanya milik manusia melainkan ada sang penguasa di luar manusia yang juga menjaga alam meski tak

kasat mata. Secara tidak langsung masyarakat tidak serta merta melakukan eksploitasi terhadap alam yang telah memberikan mereka kehidupan. Hal ini senada dengan pernyataan Morleau Ponty bahwa kehidupan manusia tidak saja dipengaruhi oleh kondisi alam. Kehidupan manusia dibentuk oleh bagaimana manusia memahami alam. Pola kehidupan bermasyarakat, berperilaku, berkeyakinan dipengaruhi oleh alam. Maksudnya, alam merupakan lanskap yang menggambarkan kebebasan manusia, tempat baginya untuk menciptakan dunia dan harapannya (Dewi, 2018: 93).

Ritual mimmala matamba bulung juga memiliki fungsi religi yang menjaga hubungan masyarakat dengan Sang Pencipta. Meski telah diberikan hasil alam yang melimpah, masyarakat setempat tidak melupakan untuk berterima kasih dan bersyukur kepada Sang Pencipta yang telah memberikan mereka keselamatan dan rezeki. Penyembelihan ayam betina terlebih dahulu dalam pelaksanaan ritual adalah simbol kehidupan religi masyarakat setempat yang tidak menyampingkan hak-hak perempuan. Hal tersebut selaras dengan ajaran Islam yang saat ini dianut oleh sebagian besar masyarakat setempat, sehingga nilai-nilai religi yang diwariskan oleh leluhur masyarakat setempat dapat berjalan beriringan dengan ajaran Islam yang di dalamnya juga sangat menghormati kedudukan perempuan.

Penghormatan terhadap kaum perempuan dalam ritual mimmala matamba bulung telah menjungkirbalikkan cara pandang moderen yang didominasi oleh perspektif kaum laki-laki. Ritual ini telah menyadarkan masyarakat sekaligus melahirkan perilaku baru yang tidak lagi menerima paradigma patriarki, tetapi memperkuat paradigma feminisme. Ritual ini memiliki unsur-unsur feminisme, yaitu memberikan kedudukan dan peran-peran tertentu kaum perempuan dalam menyukseskan ritual. Fakta menunjukkan bahwa proses persiapan, pengolahan dan penyajian bahan-bahan makanan yang terkait dengan

Ritual Mimmala Matamba Bulung Masyarakat... Nurhaeva

Page 8: WALASUJI Volume 11, No. 1, uni 2020 - Kemdikbud

66

WALASUJI Volume 11, No. 1, Juni 2020:

kepentingan ritual semuanya didominasi oleh kaum perempuan, sementara kaum laki-laki hanya sebatas penikmat saja.

Kedua, ritual merupakan wadah untuk memperpanjang tali silaturahmi antarmasyarakat Pattae’ Desa Kaleok. Seluruh tahapan dan proses pelaksanaan ritual tidak bisa dilakukan seorang diri. Kerja sama atau gotong royong masyarakat untuk pelaksanaan ritual ini merupakan hal non-material yang menjadi modal penting. Dimulai dari proses musyawarah yang tidak hanya melibatkan tokoh adat atau tokoh agama setempat, melainkan masyarakat setempat juga diajak berunding dalam penentuan hari pelaksanaan. Lebih lanjut fungsi sosial ritual terlihat pada partisipasi masyarakat desa baik petani maupun mata pencaharian lain yang ikut mempersiapkan hal teknis demi kelangsungan ritual. Mulai dari gotong royong menyiapkan lokasi ritual, mempersiapkan bahan makanan dan perlengkapan yang akan dibawa ke lokasi ritual, dan silaturahmi yang terjalin pada saat pelaksanaan ritual. Hal tersirat yang merupakan fungsi sosial ritual ini adalah sikap individual yang tidak dimiliki oleh petani setempat. Meskipun rata-rata petani setempat memiliki kebun masing-masing dan jika tiba musim panen petani bisa memanen hasil kebunnya sendiri, akan tetapi mereka tidak serta merta merayakan hasil panennya seorang diri. Ritual ini adalah wujud dari rasa solidaritas petani setempat yang menganggap hasil kebun pribadi mereka tidak hanya perlu disyukuri oleh pemiliknya semata melainkan rasa syukur tersebut dirayakan bersama-sama melalui pelaksanaan ritual ini. Sikap petani di Desa Kaleok yang mencerminkan sikap komunal senada dengan uraian (Tjondronegoro, 1999) bahwa kebersamaan yang terbangun pada masyarakat pedesaan, khususnya di kalangan petani merupakan kunci kemandirian masyarakat desa dalam menata kehidupan menuju kemakmuran yang bukan untuk dinikmati secara perorangan, tetapi lebih ditujukan pada kepentingan bersama.

Berdasarkan fungsi tersebut, maka ritual sebagai perwujudan aspek religi masyarakat Desa Kaleok dapat dikategorikan sebagai modal sosial masyarakat setempat. Fakta menunjukkan bahwa dalam dua dasawarsa terakhir ini berkembang pandangan bahwa keterlibatan orang dalam organisasi dan ritual keagamaan adalah sumber penting modal sosial. Ritual keagamaan menawarkan norma dan nilai yang melembagakan hubungan yang dijiwai oleh rasa saling percaya (trust), bekerja sama yang saling menguntungkan serta manfaat jejaring sosial. Dengan adanya rasa saling percaya dan kuatnya ikatan jaringan masyarakat Desa Kaleok, maka ritual tetap dapat dilaksanakan setiap tahun.

Ketiga, ritual mimmala matamba bulung masyarakat Pattae’ Desa Kaleok memiliki fungsi ekonomi yang secara tidak langsung memengaruhi kegiatan ekonomi masyarakat setempat, karena tidak terjadi persaingan antarpetani setempat. Hal tersebut berpengaruh pada cara petani dalam melakukan aktivitas pertanian sehari-hari. Mereka masing-masing menggarap kebun mereka dengan baik dan saling membantu antarpetani/pekebun jika salah satu dari mereka mengalami kesulitan dalam bekerja. Cenderung tidak ada konflik yang menyebabkan sengketa lahan atau pun konflik lainnya yang dapat menghambat kegiatan pertanian masyarakat setempat. Masyarakat setempat percaya bahwa ritual ini dapat memberikan mereka keselamatan dari bahaya gagal panen atau pun bencana alam, hingga mereka tidak hanya melakukan kegiatan berkebun pada umumnya tetapi menjaga kelestarian alam mereka agar sang penguasa tidak murka. Hal tersebut berefek pada kelangsungan kegiatan pertanian mereka yang terhindar dari kerusakan dan gangguan hama hingga menjaga hasil panen agar sesuai dengan kebutuhan mereka.

Terkait dengan fungsi sebagai upaya menjaga kelestarian lingkungan, ritual mimmala matamba bulung dimaknai oleh masyarakat Pattae’ sebagai kegiatan menjalin keharmonisan dengan alam semesta. Keharmonisan dengan

59—72

Page 9: WALASUJI Volume 11, No. 1, uni 2020 - Kemdikbud

67

WALASUJI Volume 11, No. 1, Juni 2020:

alam semesta hanya mampu dicapai jika mereka mampu menyelaraskan hal-hal yang bertentangan dalam keseimbangan emosi dorongan berperilaku, seperti kondisi baik-buruk, bahagia-sengsara, dan kasar-halus. Dengan demikian, bila keseimbangan emosi dapat dicapai, kehidupan mereka akan aman, damai, dan harmoni dalam fisik, jiwa, pikiran, dan perasaan, termasuk dengan interaksi antarsesama manusia maupun alam semesta beserta makhluk hidup di dalamnya. Hal tersebut diyakini sebagai bekal untuk menjalani kehidupan di dunia sebagai arena untuk mempersiapkan bekal kehidupan di akhirat kelak. Ritual ini terus dipertahankan dan dilaksanakan sebagai landasan moral dalam mengatur tata hubungan masyarakat di Desa Kaleok, sebagai masyarakat agraris yang sangat tergantung pada ketersediaan sumber daya alam.

Melihat perlengkapan ritual yang harus disediakan, misalnya nasi yang terbuat dari beras ketan hitam, merah, dan putih (sokko), ayam, janur kuning (bombong), bambu (lammang), maka hal ini dapat dimaknai adanya fungsi konservasi dalam ritual ini. Demi melaksanakan ritual tersebut, masyarakat Pattae’ harus menyediakan perlengkapan yang berbasis sumber daya lokal. Dengan demikian, sumber daya tersebut harus dijaga kelestariannya agar mereka tidak kesulitan dalam menyediakan perlengkapan ritual setiap tahun. Pada praktiknya, konservasi alam melibatkan faktor ekologi fisik, sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat setempat sebagai satu kesatuan yang utuh. Fakta menunjukkan bahwa kesadaran akan praktik konservasi telah dilakukan secara maksimal oleh masyarakat Pattae’. Kesadaran tersebut berdampak pada adanya rasa tanggung jawab terhadap kawasan lingkungan sekitar yang dijadikan sebagai lahan untuk mencari nafkah.

Praktik konservasi untuk mempertahan-kan sumber daya lokal telah mendatangkan keuntungan ekonomi maupun ekologi, dalam mengintroduksikan jenis tanaman padi dan

pemeliharaan ternak mampu membantu penyuburan tanah, serta hasilnya dapat diperjualbelikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Dengan demikian strategi konservasi mampu mengembangkan produksi usaha tani dan peternakan yang sesuai dengan kondisi ekologi lokal, sosial ekonomi dan budaya. Aktivitas tersebut mereka lakukan untuk mengatasi fluktuasi harga pasar yang semakin sulit diprediksi. Salah satu strategi yang dikembangkan adalah mengkombinasikan usaha tani subsistem dan komersil yang bersifat lentur terhadap berbagai faktor perubahan, antara lain ketersediaan lahan, modal, dan teknologi.

Pola Pewarisan Ritual

Sebagian besar para ahli antropologi sepakat bahwa kebudayaan yang membentuk makhluk manusia, dan bukan alam sekitarnya. Keberhasilan mereka dalam menundukkan alam sekitarnya adalah bukti bahwa mereka berhasil mencapai suatu tingkat kebudayaan yang lebih tinggi. Makhluk manusia selalu berupaya untuk menyesuaikan dirinya dengan berbagai perubahan yang terjadi di sekitarnya sehingga melahirkan suatu pola tingkah laku yang baru. Oleh karena lingkungan alam yang berbeda-beda, maka terdapat berbagai bentuk adaptasi di kalangan makhluk manusia. Kemajuan ilmu pengetahuan yang dimilikinya, mampu mengubah alam sekitarnya, dan akhirnya perubahan-perubahan yang ditimbulkan akan selalu diarahkan kepada makhluk manusia (Poerwanto, 2005: 88).

Manusia dan kebudayaan tidak dapat dipisahkan. Kebudayaan dapat berkembang dan bertahan jika masih ada masyarakat pendukungnya. Masyarakat pendukung kebudayaan tertentu akan tetap berusaha melestarikan kebudayaannya dengan cara melakukan proses pewarisan budaya antar-generasi. C.Kluckhohn (Poerwanto, 2005: 88) menjelaskan bahwa kebudayaan merupakan proses belajar dan bukan merupakan warisan secara biologis. Oleh karenanya, kebudayaan

Ritual Mimmala Matamba Bulung Masyarakat... Nurhaeva

Page 10: WALASUJI Volume 11, No. 1, uni 2020 - Kemdikbud

68

WALASUJI Volume 11, No. 1, Juni 2020:

merupakan pola tingkah laku yang dipelajari dan disampaikan antargenerasi. Paling tidak ada tiga proses pewarisan kebudayaan yang penting, yaitu dalam kaitannya dengan manusia sebagai makhluk hidup, dan sebagai bagian dalam suatu sistem sosial. Proses belajar kebudayaan yang berlangsung sejak dilahirkan sampai mati, yaitu dalam kaitannya dengan pengembangan perasaan, hasrat, emosi dalam rangka pembentukan kepribadiannya dikenal dengan istilah internalisasi. Karena makhluk manusia adalah bagian dari suatu sistem sosial, maka setiap individu harus selalu belajar mengenai pola-pola tindakan, agar ia dapat mengembangkan hubungan-hubungannya dengan individu yang ada di sekitarnya. Proses belajar ini dikenal denga istilah sosialisasi. Selanjutnya, proses belajar kebudayaan lainnya dikenal dengan istilah enkulturasi atau pembudayaan, yaitu seseorang harus mempelajari dan menyesuaikan sikap dan alam berpikirnya dengan sistem norma yang hidup dalam kebudayaannya. Dalam pandangan (Bachtra & Saifuddin, 2015: 9) pewarisan kebudayaan merupakan transmisi pengetahuan lintas generasi. Terkait dengan pola pewarisan kebudayaan yang terkait dengan ritual, maka masyarakat Pattae’ menempuh cara sosialisasi dan enkulturasi.

Kebudayaan sebagai ciptaan atau warisan hidup bermasyarakat adalah hasil dari daya cipta atau kreativitas para pendukungnya dalam rangka berinteraksi dengan ekologinya, yaitu untuk memenuhi keperluan biologi dan kelangsungan hidupnya sehingga ia mampu tetap bertahan. Untuk itu manusia telah mempergunakan segala sumber yang ada di sekitarnya secara teratur dan tersusun, menciptakan peralatan dan teknik-teknik untuk membantu menghasilkan berbagai bahan berguna bagi keperluan hidupnya sekaligus ia juga mempelajari sifat-sifat dan kejadian-kejadian alam, antara lain peredaran siang dan malam, pasang-surut, panas-dingin, hujan-kemarau, tumbuhan-hewan. Irama pergantian alam ini juga dimaknai oleh masyarakat

Pattae’ sebagai pedoman untuk memulai aktivitas yang terkait dengan pencaharian hidup sekaligus sebagai pedoman dalam mengatur dan mengorganisasikan kegiatan-kegiatan kemasyarakatan yang bernuansa sosiokultural agar selalu selaras dengan peredaran musim dan irama lingkungan alam sekitar. Sebagai konsekuensi tindakan dalam kelompok masyarakat yang diilhami dan berbasis lingkungan alam dan sosiokultural memunculkan sesuatu dalam diri manusia berupa gagasan, peralatan, dan institusi yang saling memengaruhi dalam suatu ritual.

Eksistensi ritual merupakan hasil dari partisipasi masyarakat setempat selaku generasi dari nenek moyang yang mengawali munculnya ritual ini. Partisipasi dari masyarakat setempat tentunya adalah hal sudah mutlak menjadi faktor internal daripada eksistensi ritual ini. Tidak hanya faktor internal berupa partisipasi masyarakat, terdapat juga faktor eksternal dalam pola pewarisan ritual mimmala matamba bulung yang dijelaskan sebagai berikut.

Faktor internal tentunya sangat berperan dan menjadi hal vital dalam eksistensi ritual ini ditinjau dari berbagai aspek. Aspek yang pertama adalah pemahaman masyarakat tentang ajaran agama Islam. Dilihat dari tahap persiapan dan pelaksanaan serta fungsi sosial yang tersirat dari ritual ini yakni keterlibatan tokoh agama yang memiliki peran penting dalam pelaksanaan ritual. Harmonisasi antara tokoh adat dan tokoh agama terlihat dari ritual ini yang menjadi gambaran kondisi sosioreligi masyarakat setempat. Keduanya memiliki peran penting dalam pengambilan keputusan, tetapi dibedakan dengan konteks masing-masing. Masyarakat tetap ingin menjaga tradisi leluhur dengan mempertimbangkan pandangan tokoh adat, di sisi lain juga tidak ingin melanggar ajaran agama dengan melibatkan tokoh agama atau yang mereka sebut Imam dalam pengambilan keputusan.

Ritual mimmala matamba bulung adalah ritual yang awalnya diperuntukkan meminta keselamatan kepada dewata. Dewata

59—72

Page 11: WALASUJI Volume 11, No. 1, uni 2020 - Kemdikbud

69

WALASUJI Volume 11, No. 1, Juni 2020:

adalah hal yang disembah nenek moyang masyarakat Pattae’ yang saat ini sudah banyak ditinggalkan. Masyarakat setempat melakukan penyesuaian dengan mengubah tumpuan doa pada pelaksaan ritual yang dulunya ditujukan kepada Dewata (roh yang disembah nenek moyang masyakarat Pattae’) lalu saat ini ditujukan kepada Allah SWT. Selain daripada itu, pemilihan jenis binatang yang disembelih dalam pelaksanaan ritual juga mengalami perubahan, yakni dahulu (sebelum masuknya Islam ke Binuang) menggunakan anjing dan babi tetapi saat ini diganti dengan ayam dikarenakan mengonsumsi anjing dan babi haram dalam hukum Islam. Fungsi religi lainnya yang juga menyangkut rangkaian pelaksanaan ritual ini sebagaimana yang telah dijelaskan pada tahap pelaksanaan ritual pemotongan ayam betina didahulukan ketimbang ayam jantan. Hal tersebut menggambarkan masyarakat Pattae’ Desa Kaleok yang menghormati kedudukan perempuan. Hal tersebut secara tidak langsung menjadi faktor internal lainnya yang mendukung pewarisan ritual ini karena sesuai dengan ajaran Islam yang menghormati kedudukan perempuan. Masyarakat setempat juga meyakini bahwa nilai kerukunan dalam beragama dapat menghindarkan mereka dari kemurkaan Sang Pencipta hal tersebut dapat dilihat dari prosesi ritual yang membuat masyarakat setempat berkumpul untuk makan bersama. Jadi, masyarakat setempat menyesuaikan ritual ini dengan ajaran Islam juga tidak mengganggu kearifan lokal setempat.

Berdasarkan data tersebut maka tampak bahwa prinsip ajaran Islam dapat mengakomodasikan nilai-nilai budaya Mandar. Oleh karena itu, persoalannya bukan lagi berkutat pada upaya untuk me-Mandar-kan Islam, bukan pula untuk meng-Islam-kan Mandar, tetapi telah muncul sinergi antara ajaran Islam dengan budaya Mandar yang melahirkan manusia yang religius dan beradab. Islam adalah ajaran universal yang melintasi batas-batas etnis, ras, dan budaya. Pada sisi lain, budaya Mandar merupakan budaya

yang terbuka, dapat merespon nilai positif setiap nilai baru yang memungkinkan dirinya lebih maju dan dinamis. Bagi orang Mandar, tantangan terbesar ialah bagaimana orang Mandar dapat tampil ke depan dengan segala identitas kemandaran dan jiwa kosmopolitan yang diambil dari ajaran Islam.

Perjumpaan antara ajaran Islam dengan budaya Mandar dalam ritual menunjukkan adanya dinamika paradoksal. Pada satu sisi ada proses self organizing untuk mempertahankan keutuhan dan jati diri budaya Mandar. Tapi pada sisi lain ada keterbukaan menerima dan menyerap pengaruh dari lingkungan luar. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Pattae’ merupakan suatu kumpulan individu yang memiliki kemampuan untuk berdaptasi dengan lingkungan sosial budaya. Kemampuan untuk beradaptasi dengan dengan lingkungan sosial budaya yang terus mengalami perkembangan adalah ciri organisasi kemasyarakatan maupun sistem-sistem sosial. Adaptasi ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari proses perkembangan masyarakat dalam berbagai dimensi sosiokultural.

Dinamika masyarakat Pattae’ menunjuk-kan adanya paradoks antara determinisme pada satu sisi, dan otonomi atau kehendak bebas di pihak lain. Dinamika tersebut menunjukkan kecenderungan ke arah pencapaian tujuan untuk memperkuat posisi dan identitas mereka sebagai bagian pendukung dan pewaris budaya Mandar. Kesediaan menerima pembauran antara ajaran Islam dan budaya Mandar merupakan upaya memperoleh legitimasi dari kalangan pemerintah maupun aparat keagamaan Islam. Dalam proses sosial dimaknai sebagai upaya secara berkelanjutan menyerap berbagai tradisi dan ajaran yang berlandaskan Islam sekaligus sebagai upaya untuk mempertahankan tradisi dan budaya lokal yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam.

Pada titik tertentu, masyarakat Pattae’ mencapai stabilitas yang memunginkan setiap individu sebagai anggota masyarakat memunculkan karakter dan identitas

Ritual Mimmala Matamba Bulung Masyarakat... Nurhaeva

Page 12: WALASUJI Volume 11, No. 1, uni 2020 - Kemdikbud

70

WALASUJI Volume 11, No. 1, Juni 2020:

sosiokulturalnya, dan proses tersebut terus mengalami keberlanjutan menjadi anggota masyarakat yang serasi dan selaras dengan kondisi alam sekitar yang juga terus mengalami perkembangan. Ada anatomi masing-masing unsur sosiokultural dan agama, tetapi pada tempo-tempo tertentu terjadi keterkaitan dan ketergantungan secara dinamis dalam pola yang saling memengaruhi namun tetap mempertahankan eksistensi dan jati diri masing-masing.

Ritual mimmala matamba bulung dimaknai sebagai ritual tahunan sebagai ungkapan rasa syukur terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Bagi masyarakat Pattae’, kegiatan pertanian tidak dapat dipisahkan dengan hutan, tanah, air, dan padi sebagai penopang keberlanjutan usaha tani, sehingga keberlanjutannya terus dipelihara. Dengan demikian, masyarakat Pattae’ dalam melaksanakan kegiatan pertanian memiliki pandangan ekosentrisme, yaitu pandangan yang menganggap bahwa manusia dan benda-benda lainnya dalam lingkungan alam semesta saling terkait satu sama lain, sehingga mereka dalam hidupnya senantiasa menjaga keharmonisan dengan ekosistemnya, antara mikrokosmos dan makrokosmos. Karena itu, menurut pandangan mereka apabila keharmonisan tersebut terganggu akan timbul berbagai gangguan atau bencana. Untuk menghindari bencana atau gangguan tersebut, masyarakat Pattae’ biasanya dalam bertani dengan dilandasi oleh etika moral yang kuat melindungi lingkungan. Sehingga, mereka dapat terhindar dari pengaruh buruk laju modernisasi, globalisasi, komersialisasi, praktek pertanian sekuler, dan berbagi bencana kerusakan lingkungan seperti kebakaran lahan, banjir, dan tanah longsor.

Faktor internal lain adalah mengenai kondisi sosial-ekonomi masyarakat setempat di mana stratifikasi sosial tidak menim bulkan konflik tetapi justru menjadi kearifan lokal masyarakat setempat. Peran Tomatua yang merupakan tokoh adat yang memiliki posisi penting dalam pengambilan keputusan seperti

yang telah dijelaskan pada kondisi religi masyarakat Pattae’ juga pada bagian fungsi sosial-ekonomi. Tomatua yang dulunya merupakan sando mewarisi pengetahuan tentang sejarah leluhur masyarakat setempat, sehingga masyarakat setempat dalam pengambilan keputusan tetap mempertimbangkan tradisi leluhur. Peran tomakaka pada masyarakat Pattae’ di Desa Kaleok salah satunya dapat terlihat pada saat dilaksanakannya ritual keagamaan atau upacara adat. Ritual mimmala matamba bulung adalah ritual masyarakat Pattae’ Desa Kaleok yang membutuhkan peran tomakaka didalam pelaksanaannya. Masyarakat Pattae’ desa Kaleok menyebut tomakaka setempat dengan sebutan Tomatua. Tomatua di Desa Kaleok dari waktu ke waktu terus beregenerasi dengan pola pewarisan pengetahuan leluhur melalui tradisi lisan sehingga pengetahuan masyarakat setempat tentang leluhur serta peninggalannya tetap dapat diwariskan. Hal ini yang menjadi faktor penyebab ritual mimmala matamba bulung masih tetap dilaksanakan hingga saat ini. Dengan demikian, jika dipandang dalam perspektif kesadaran kolektif yang digagas oleh Emile Durkheim, maka peranan Tomatua dalam masyarakat petani di Desa Kaleok dalam membangun solidaritas antar masyarakat melalui ritual mimmala matamba bulung sangatlah besar. Tomatua sebagai pelaksana sekaligus pemimpin ritual mampu menanamkan keyakinan terhadap masyarakat agar senantiasa menjaga keharmonisan dengan alam semesta sekaligus bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan melakukan ritual. Dengan demikian, menurut Emile Durkheim keyakinan yang dimiliki secara kolektif akan membuat masyarakat berada dalam kondisi yang harmonis dan terintegrasi untuk mempertahankan kehidupan (Saifuddin, 2006: 330).

Pelaksanaan ritual mimmala matamba bulung menegaskan bahwa masyarakat Pattae’ adalah bagian yang tidak terpisahkan dan merupakan anggota di dalam alam semesta. Mereka bukan berada di luar dan di atas alam semesta. Mereka menyadari

59—72

Page 13: WALASUJI Volume 11, No. 1, uni 2020 - Kemdikbud

71

WALASUJI Volume 11, No. 1, Juni 2020:

bahwa alam semesta ini merupakan titipan dari Tuhan Yang Maha Kuasa bukan untuk sekedar dihuni dan dimanfaatkan, tetapi perlu dipelihara keberlanjutannya dengan menjalin keharmonisan dengan makhluk lainnya. Sambil bersamaan dengan itu, mereka saling menunjang dan memungkinkan masing-masing makhluk hidup dapat berkembang dan bertahan hidup melalui proses timbal balik menyerap dan memanfaatkan energi dan sumber daya alam. Di sinilah letaknya keluhuran kehidupan yang menjadi alasan untuk tetap dihormati, dijaga dan dipelihara. Ritual ini pula menegaskan bahwa pada tempat pertama dan terutama manusia adalah makhluk ekologis, makhluk yang hanya dapat bertahan hidup dalam jaring kehidupan dan interaksi dengan seluruh tatanan ekologis yang lain.

Selanjutnya, faktor dari aspek ekonomi penggarapan lahan kebun masih menggunakan cara tradisional serta masih kentalnya nilai gotong royong dalam masyarakat. Meskipun diangkatnya tokoh adat dan tokoh agama, juga terdapat masyarakat yang bekerja non-petani/pekebun tidak menyebabkan adanya stratifikasi sosial yang mengarah pada konflik. Tidak ada persaingan dari aspek ekonomi dikarenakan fungsi ekonomi dari ritual ini yang memengaruhi cara masyarakat dalam berkebun yakni dengan tidak merusak lingkungan sehingga hasil panen terbilang cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka. Fungsi ekonomi ini juga yang mengikat masyarakat sehingga tetap kompak dalam pelaksanaan ritual mimmala matamba bulung. Ritual ini tidak bisa dilaksanakan dengan sebagaimana mestinya tanpa didukung kekompakan antarmasyarakat baik dari segi tenaga maupun sumbangan bahan-bahan makanan yang dengan gotong royong disiapkan.

Faktor eksternal, Selain faktor internal yakni partisipasi masyarakat setempat, juga terdapat faktor eksternal yang memengaruhi pewarisan ritual ini. Faktor transportasi yang terbilang cukup sulit menjangkau daerah kota disebabkan jarak, kontur jalanan menuju desa yang bisa dikatakan kurang mulus serta beberapa

wilayah desa yang hanya bisa dijangkau dengan kendaraan tertentu membuat masyarakat Desa Kaleok belum modern. Keterbatasan jaringan komunikasi di desa ini juga menyebabkan penyebaran informasi dari luar desa kurang sampai pada masyarakat. Hal ini juga tidak bisa dipisahkan dari faktor kurangnya perhatian pemerintah terhadap kondisi geografis Desa Kaleok. Peran pemerintah dalam menjaga dan memperkenalkan budaya lokal masyarakat Pattae’ Desa Kaleok masih cenderung minim. Jauh dari modernisme menyebabkan ruang lingkup masyarakat hanya berkutat pada masyarakat setempat beserta aktivitas sehari-hari yang masih dipengaruhi tradisi leluhur. Pengaruh dari luar berpotensi mengubah pola pikir masyarakat setempat, oleh karena sulitnya akses menyebabkan tradisi dan kearifan lokal masyarakat Desa Kaleok masih terjaga dengan baik. Masyarakat Pattae’ yang tinggal di daerah dengan akses transportasi dan komunikasi yang lancar sudah meninggalkan ritual tersebut dan lebih memilih menjalankan ajaran agama Islam. Selain faktor akses transportasi yang menjadi pendukung masih dilaksanakannya ritual ini adalah karena masyarakat luar kerap berpatisipasi dalam rangkaian ritual.

PENUTUP

Ritual mimmala matamba bulung adalah ritual yang dilaksanakan secara turun temurun oleh masyarakat petani di Desa Kaleok. Ritual ini pada umumnya dilaksanakan menjelang kegiatan pengolahan lahan. Tujuan dari ritual ini ialah sebagai bentuk permohonan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan harapan agar para petani diberi keselamatan dalam mengolah lahan pertanian mereka dan harapan agar tanaman mereka dijauhkan dari berbagai gangguan hama sehingga tumbuh subur agar dapat mendatangkan hasil yang melimpah. Fungsi ritual mimmala matamba bulung bagi masyarakat Pattae’ Desa Kaleok adalah sebagai wujud rasa cinta masyarakat kepada Sang Pencipta atas ketersediaan sumber daya alam yang menjadi tumpuan hidup masyarakat. Ritual

Ritual Mimmala Matamba Bulung Masyarakat... Nurhaeva

Page 14: WALASUJI Volume 11, No. 1, uni 2020 - Kemdikbud

72

WALASUJI Volume 11, No. 1, Juni 2020:

ini juga menjadi wujud solidaritas masyarakat petani maupun non-petani setempat yang tidak memandang adanya persaingan dalam menjalankan kegiatan pertanian serta nilai gotong royong yang masih sangat terasa dalam masyarakat. Ritual ini menjadi pedoman hidup masyarakat agar senantiasa menjaga kelestarian alam dengan tidak merusak dan melakukan eksploitasi karena mereka percaya akan adanya kemurkaan alam yang dapat mengancam keselamatan mereka. Ritual ini dalam fungsi religinya sebagai harmoni antara tradisi leluhur dengan pengaruh ajaran Islam yang mencegah konflik dalam masyarakat karena perbedaan pandangan. Fungsi sosial ritual ini adalah peran Tomatua yang merupakan garis keturuan dari Tomakaka terdahulu yang masih dianggap penting dalam masyarakat khususnya saat pengambilan keputusan.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, O. S. (2017). Ekologi Manusia Dan Pembangunan Berkelanjutan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Adimihardja, K. (1999). Petani Merajut Tradisi Di Era Globalisasi. Bandung: Humaniora Press.

Agus, B. (2006). Agama Dalam Kehidupan Manusia. Jakarta: Rajawali Pers.

Bachtra, R., & Saifuddin, A. F. (2015). Environa-sionalisme: Suatu Wujud Pendidikan Konstruktivisme. Jakarta: Prenadamedia Group.

Dewi, S. (2018). Ekofenomenologi: Mengurai Disekuilibrium Relasi Manusia Dengan Alam. Serpong: Marjin Kiri.

Durkheim, E. (2007). The Elementary Forms Of The Religious Life: Sejarah Bentuk-Bentuk Agama Yang Paling Dasar. Yogyakarta: Ircisod.

Febrianto, A. (2016). Antropologi Ekologi: Suatu Pengantar. Jakarta: Kencana.

Ghazali, A. M. (n.d.). Antropologi Agama (Upaya Memahami Keragaman, Keper-cayaan, Keyakinan, dan Agama). Bandung: Pustaka Alfabeta.

Handoyo, E. dkk. (2015). Studi Masyarakat Indonesia. Yogyakarta: Ombak.

Keraf, A. S. (2017). Filsafat Lingkungan Hidup. Yogyakarta: Kanisius.

Komara, E. (2019). Teori Sosiologi Dan Antropologi. Bandung: Refika Aditama.

Kuncoro, A., & Harmadi, S. H. B. (2016). Mozaik Demografi: Untaian Pemikiran Tentang Kependudukan Dan Pembangunan. Jakarta: Salemba Empat.

Legawa, I. M. (1999). Organisasi Sosio Religius di Bali. In Petani Merajut Tradisi di Era Globalisasi. Bandung: Humaniora Press.

Mulyadi, Y. (n.d.). Profil Budaya Masyarakat Pattae. Mamuju: Dinas Pendidikan Dan Kebudayaan Provinsi Sulawesi Barat.

Nur, S. (2005). Islam Pesisir. Yogyakarta: Lkis Pelangi Aksara.

Poerwanto, H. (2005). Kebudayaan Dan Lingkungan Dalam Perspektif Antropo-logi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Putra, H. S. A. (2006). Esai-Esai Antropologi: Teori, Metodologi, dan Etnografi. Yogyakarta: Keppel Press.

Saifuddin, A. F. (2006). Antropologi Kontemporer: Suatu Pengantar Kritis Mengenai Paradigma. Jakarta: Kencana.

Sapri, S. (2016). Tradisi Mattoratu di Desa Kaleok Kecamatan Binuang Kebupaten Polewali Mandar (Tinjauan Aqidah Islam). Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar.

Sugeng, P. (2016). Metode Penelitian Komu-nikasi Kualitatif. Malang: Intrans Publishing.

Syam, N. (2007). Madzhab-Madzhab Antropo-logi. Yogyakarta: Lkis Pelangi Aksara.

Tjondronegoro, S. M. P. (1999). Keping-Keping Sosiologi Dari Pedesaan. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Usman, S. (2015). Esei-Esei Sosiologi Peruba-han Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Yadnya, I. B. P., & Ardika, I. W. (2017). Dinamika Manusia Dan Kebudayaan Indonesia Dari Masa Ke Masa. Denpasar: Pustaka Larasan bekerja sama dengan Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana.

59—72