Upload
others
View
3
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
4
II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ikan Gabus ( Channa striata )
Ikan gabus adalah sejenis ikan predator yang hidup di air tawar dan ikan asli
perairan Indonesia. Dalam bahasa Inggris ikan ini disebut dengan berbagai nama
seperti common snakehead, snakehead murrel, chevron snakehead, striped
snakehead dan juga aruan. Dan beberapa daerah di Indonesia Ikan gabus dikenal
dengan banyak nama, ada yang menyebutnya sebagai ikan bocek (Riau), haruan
(Kalimantan), kocolan (Betawi), kutuk (Jawa), bale salo (Bugis), kanjilo
(Makassar), gastor (Sentani, Papua) dan lain-lain (Asfar, 2012).
Klasifikasi ikan gabus menurut Rahayu, dkk (1992) adalah sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Phylum : Chordata
Class : Actinopterygii
Ordo : Perciformis
Family : Channidae
Genus : Channa
Spesies : Channa striata
Gambar 2.1 Ikan Gabus (Channa striata) (Sista, 2014)
Ikan gabus disebut snakehead atau ikan kepala ular karena memiliki kepala
besar dan agak gepeng, mulut besar dengan gigi-gigi besar dan tajam serta
memiliki sisik besar diatas kepalanya. Tubuhnya berbentuk bulat gilig memanjang,
5
seperti peluru kendali. Sirip punggung memanjang dan sirip ekor membulat di
ujungnya. Sisi atas tubuh dari kepala hingga ekor berwarna gelap, hitam
kecoklatan atau kehijauan. Sisi bawah tubuh berwarna putih, mulai dari dagu
sampai ke belakang. Sisi samping bercoret-coret tebal (striata, bercoret-coret)
yang agak kabur. Warna ini sering kali menyerupai lingkungan disekitarnya
(Ardianto, 2015).
Ikan gabus (Channa striata) merupakan jenis ikan yang bernilai ekonomi
tinggi. Di Indonesia penyebarannya antara lain di Sumatera, Jawa, Kalimantan,
Sulawesi, dan Papua. Ikan gabus umumnya didapati pada perairan dangkal
seperti sungai dan rawa dengan kedalaman 40 cm dan cenderung memilih tempat
yang gelap, berlumpur, berarus tenang, ataupun wilayah bebatuan untuk
bersembunyi. Selain itu, spesies ini juga ditemui di danau serta saluran-saluran air
hingga ke sawah-sawah. Listyanto dan Septyan (2009) menyatakan bahwa ikan
gabus termasuk salah satu jenis ikan air tawar yang mempunyai penyebaran yang
luas, dan secara alami dapat hidup di danau, sungai, rawa air tawar, dan sawah.
Sedangkan menurut Muflikhah (2007) benih ikan gabus banyak ditemukan di
daerah perairan yang banyak rerumputan atau tanaman air dan belukar yang
terendam air.
Ikan gabus mengandung senyawa-senyawa penting yang berguna bagi tubuh,
salah satunya adalah protein. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Carvallo
(1998), kadar protein pada ikan gabus lebih tinggi dibandingkan dengan ikan
bandeng atau ikan mas, yaitu mencapai 25,5 % dalam satu individu ikan. Ikan
gabus mengandung tiga jenis protein, diantaranya protein miofibril, sarkoplasma,
dan stroma. Protein sarkoplasma mengandung protein albumin, mioalbumin,
mioprotein, globulin-X, dan miostromin. Protein albumin banyak dimanfaatkan
dalam bidang kesehatan karena dapat digunakan sebagai antioksidan, senyawa
proteksi hati serta berpengaruh pada proses penyembuhan luka seperti pada
pasien pasca operasi bedah (Santoso, 2009). Menurut Sediaoetomo (2004) ikan
gabus memiliki komposisi nutrisi sebagai berikut:
6
Tabel 2.1 Komposisi nutrisi ikan gabus (Channa striata)
Komponen Kimia Kategori
Ikan Gabus segar Ikan Gabus kering
Protein (g) 25,2 58,0
Lemak (g) 1,7 4,0
Besi (mg) 0,9 0,7
Kalsium (mg) 62 15
Fosfor (mg) 176 100
Vitamin A (SI) 150 100
Vitamin B (mg) 0,04 0,10
Air (%) 69 24
Sumber: Sediaoetomo (2004)
2.2 Mikroba Kontaminan Ikan Gabus
Tingginya kandungan nutrisi pada ikan Gabus menyebabkan tumbuhnya
mikroba pembusuk dan patogen (Jarvie, 2015). Bakteri pembusuk adalah mikroba
yang menguraikan komponen-komponen nutrisi pada bahan menjadi senyawa
hasil samping yang dapat mengurangi fungsi bahan menjadi senyawa hasil
samping yang dapat mengurangi fungsi bahan pangan dan merusak organoleptik,
sedangkan bakteri patogen adalah bakteri yang bersifat toksik bila dikonsumsi oleh
manusia, sehingga dapat menyebabkan penyakit bahkan kematian (Jarvie 2015).
Adapun mikroba cemaran yang banyak pada bahan pangan termasuk ikan adalah
koliform, E.coli dan S.aureus (Tavakoli et al., 2012).
2.2.1 Bakteri Aerob
Bakteri aerob merupakan jenis bakteri yang banyak ditemukan pada
makanan. Bakteri aerob adalah mikroorganisme yang melakukan metabolisme
7
dengan bantuan oksigen (Anneheira, 2010). Berdasarkan identifikasi bakteri
dengan pewarnaan Gram, maka didapatkan bakteri Gram positif dan Gram negatif.
Bakteri yang termasuk dalam Gram positif yaitu genus Staphylococcus,
Streptococcus, dan lain-lain dan bakteri yang termasuk dalam Gram negatif yaitu
famili Pseudomonadaceae (genus Pseudomonas), Enterobacteriaceae (genus
Esherichia, Shigella, Klebsiella, Enterobacter, Proteus, Alcaligenes, dan lain-lain).
(Brooks dkk, 2005).
2.2.2 Bakteri Koliform
Bakteri Koliform merupakan kelompok bakteri Gram negatif yang berbentuk
batang, tidak membentuk spora, dan memiliki metabolisme aerob dan anaerob
fakultatif. Koliform sendiri dapat memfermentasi laktosa untuk memproduksi asam
dan gas dalam waktu 48 jam pada suhu inkubasi 35˚C (32 ˚C- 37 ˚C) (DFS, 2007).
Bakteri koliform merupakan golongan bakteri intestinal, yaitu hidup didalam
saluran pencernaan manusia. Sumber energi untuk pertumbuhan bakteri koliform
berasal dari oksidasi (sumber senyawa organik) oleh karena itu koliform termasuk
bakteri heterotrof (Sirindon 2008).
Bakteri koliform adalah bakteri indikator keberadaan bakteri patogenik lain,
lebih tepatnya, bakteri koliform fekal adalah bakteri indikator adanya pencemaran
bakteri patogen, dikarenakan jumlah kenaikan atau penurunan koloni koliform
fecal pasti berkorelasi positif dengan keberadaan bakteri patogen (Treyens, 2009).
Selain itu, mendeteksi koliform jauh lebih murah, cepat, dan sederhana daripada
mendeteksi bakteri patogenik lain. Contoh bakteri coliform adalah, Escherichia coli
dan Enterobacter aerogenes (Widyastika, 2008).
Gambar 2.2 Koliform (Ismail, 2015)
8
Keberadaan bakteri koliform feses dalam lingkungan air menunjukkan bahwa
air telah terkontaminasi dengan feses manusia atau hewan berdarah panas yang
mengandung bakteri atau virus patogen (Yuniarti, 2014) . Sebagian besar
patogen-patogen saluran pencernaan penyebab berbagai wabah penyakit enterik
tersebut, tergolong famili Enterobacteriaceae (Yuniarti, 2014). Di antara banyak
mikroorganisme asal feses yang menyebabkan wabah penyakit dari tular air
adalah Salmonella typhi (demam tifus), Shigella spp. (shigellosis), Salmonella
paratyphi (salmonellosis), Vibrio cholerae (kolera), Camphylobacter jejuni
(disentri) dan Escherechia coli patogenik (diare) (Yuniarti, 2014) . Selain itu adalah
virus seperti virus hepatitis A (infeksi hepatitis), virus polio (poliomelitus), dan
protozoa seperti Entamoeba histilotyca (disentri amuba) dan Giardia (Yuniarti,
2014).
2.2.3 E. coli
E. coli pertama kali diidentifikasi oleh dokter hewan Jerman, Theodor
Escherich dalam studinya mengenai sistem pencernaan pada bayi hewan (Jawetz
dkk, 2008). Pada 1885, beliau menggambarkan organisme ini sebagai komunitas
bakteri coli. Nama “Bacterium Coli” sering digunakan sampai pada tahun 1991.
Ketika Castellani dan Chalames menemukan genus Escherichia dan menyusun
tipe spesies E. coli (Jawetz dkk, 2008).
E. coli merupakan golongan bakteri mesofilik yaitu bakteri yang suhu 4°C
pertumbuhan optimumnya 10°C-45°C dan dapat hidup pada pH 4 maksimum 9.
E. coli akan tumbuh secara optimal pada suhu 37° C dan pH optimum untuk
pertumbuhan yaitu 7-7,5 (Faridz, 2012) . Nilai aW (kadar air) minimum
pertumbuhan E. coli adalah 0,95 (Desmarchelier dan Fegan, 2003). Gambar 2.3.
menunjukan bakteri E. coli merupakan merupakan bakteri Gram negative
(menghasilkan warna pink pada pewarnaan Gram), bentuk batang, dan memilki
ukuran sekitar 10 mikro, bergerak, tidak berspora, positif pada tes indol, glukosa,
laktosa, sukrosa (Greenwood et al., 2007). Dinding sel bakteri gram negatif
tersusun atas membran luar, peptidoglikan tipis dan membran dalam (Purwoko,
2007). Membran luarnya terdiri dari lipid, liposakarida dan protein (Purwoko,
2007). Peptidoglikan berfungsi mencegah sel lisis, menyebabkan sel kaku dan
memberi bentuk kepada sel (Purwoko, 2007).
9
Gambar 2.3 E.coli (perbesaran 1000x)
Sumber: http://www.bacteriainphotos.com (2017)
E. coli menjadi patogen jika jumlah bakteri ini dalam saluran pencernaan
meningkat di dalam atau berada di luar usus dehidrasi (Nicklasson et al., 2010).
E. coli berasosiasi dengan enteropatogenik menghasilkan enterotoksin pada sel
epitel, E. coli tipe tersebut adalah tipe Enterotoxigenic E. coli, dan dapat
menyebabkan terjadinya ekskresi cairan elektrolit tubuh sehingga timbul diare
dengan dehidrasi (Nicklasson et al., 2010). E. coli juga memiliki tipe lain yang bisa
menyebabkan sindrom penyakit, yaitu sindrom hemitik-uremik yang disebabkan
oleh Shiga-toxin – producing E. coli (Rasko et al., 2011).
Selain diare dan sindrom penyakit, E. coli juga dapat menyebabkan iInfeksi
saluran kemih. Kasus ini sering ditemukan pada wanita dibandingkan pria , hal ini
dikarenakan jarak antara anus dan vagina lebih dekat sehingga E. coli dapat
dengan mudah berpindah dari saluran pencernaan ke uretra wanita dibandingkan
dengan pria (Tanagho et al., 2008). Pada bayi sesaat setelah lahir, E. coli langsung
berkoloni di saluran pencernaan neonatus dan akan tetap tumbuh disana untuk
melakukan hubungan mutualisme dengan manusia. Bakteri ini sebenarnya adalah
bakteri komensal, namun terdapat bukti bahwa jenis patogen bakteri ini
merupakan perubahan atau transformasi dari jenis komensal. Namun bukan hanya
E. coli patogen saja yang dapat menyerang manusia, jenis nonpatogen juga bisa
menjadi patogen dan dapat merusak mukosa saluran pencernaan manusia (Migla
et al., 2013).
10
2.2.4 S. aureus
Gambar 2.4. S. aureus (perbesaran 1000x)
Sumber: http://www.bacteriainphotos.com (2017)
Gambar 2.4 menunjukkan S. aureus pada perbesaran 1000 x merupakan
bakteri Gram positif (menghasilkan warna biru-violet pada pengujian Gram)
berbentuk bulat berdiameter sekitar 0,5 μm, tersusun dalam kelompok-kelompok
yang tidak teratur seperti buah anggur, tidak berflagel, tidak membentuk spora,
dan tidak bergerak (nonmotil). Bakteri ini bersifat fakultatif anaerob dan tumbuh
pada suhu optimum 37 ºC, tetapi membentuk pigmen paling baik pada suhu kamar
(20-25 ºC). Koloni berwarna abu-abu sampai kuning keemasan, berbentuk bundar,
halus, menonjol, dan berkilau. Lebih dari 90% isolat klinik menghasilkan S. aureus
yang mempunyai kapsul polisakarida atau selaput tipis yang berperan dalam
virulensi bakteri. Berbagai derajat hemolisis disebabkan oleh S. aureus dan
kadang-kadang oleh spesies stafilokokus lainnya (Jawetz dkk., 2008).
Penanganan makanan yang kurang tepat dapat menyebabkan makanan
terkontaminasi bakteri S. aureus. Enterotoxin yang dihasilkan oleh bakteri ini
menyebabkan terjadinya gastroenteritis setelah mengkonsumsi ikan serta produk-
produk daging lainnya (Hadiyanto, 2011). Penelitian terdahulu menunjukkan
bahwa pada kasus-kasus keracunan sering kali disebabkan karena adanya
kontaminasi bakteri S. aureus pada produk yang telah mengalami pengolahan,
seperti produk yang telah melalui proses pengeringan dan pengasapan (Novotny
et al., 2004).
Jumlah toksin stapilokokus yang dapat menyebabkan keracunan adalah 1,0
μg/gr makanan (USDA, 2001). Gejala keracunan ditandai oleh rasa mual, muntah-
muntah, dan diare yang hebat tanpa disertai demam . Sindroma syok toksik (SST)
11
pada infeksi S. aureus timbul secara tiba-tiba dengan gejala demam tinggi,
muntah, diare, mialgia, ruam, dan hipotensi, dengan gagal jantung dan ginjal pada
kasus yang berat (Jawetz dkk, 2008). SST sering terjadi dalam lima hari permulaan
haid pada wanita muda yang menggunakan tampon, atau pada anak-anak dan
pria dengan luka yang terinfeksi stafilokokus. S. aureus dapat diisolasi dari vagina,
tampon, luka atau infeksi lokal lainnya, tetapi praktis tidak ditemukan dalam aliran
darah (Jawetz dkk, 2008).
2.3 Iradiasi pada Bidang Pangan
Iradiasi adalah istilah yang digunakan untuk penggunaan energi pada bahan
dengan menggunakan sumber radiasi buatan secara sengaja dan terarah
(Dwiloka, 2002). Menurut Surindro (2013 berdasarkan spectrum
elektromagnetiknya, radiasi dibedakan menjadi dua macam, yaitu radiasi radiasi
pegion dan radiasi non pengion. radiasi pengion merupakan radiasi menggunakan
panjang gelombang pendek atau frekuensi tinggi yang dihasilkan dari peluruhan
inti atom yang tidak stabil menjadi atom yang stabil dengan iradiasi (Surindro,
2013). Contoh dari radiasi ini adalah sinar-α, sinar-β, sinar-γ dan sinar-x dengan
daya tembus yang berbeda-beda, dimana urutan daya tembus dari yang paling
rendah ke tinggi adalah sinar-α, sinar-β, dan sinar-γ yang dijelaskan pada Gambar
2.3 (Surindro, 2013). Sedangkan radiasi non-pengion merupakan radiasi yang
menggunakan gelombang panjang atau frekuensi rendah sehingga tidak
menimbulkan ionisasi pada materi yang dikenai , contoh dari radiasi ini adalah
inframerah, sinar ultraviolet, sinar tampak, dan gelombang mikro (Surindro, 2013).
Salah satu penggunaan tenaga nuklir yang telah lama dikembangkan dalam
bidang teknologi pangan ialah teknologi proses iradiasi yang menggunakan radiasi
pengion yang berenergi tinggi (BPOM, 2006). Sifat-sifat sinar-X, sinar gamma atau
sinar elektron yang digunakan dalam proses ini memiliki daya tembus yang besar,
serta tidak menimbulkan perubahan suhu dan kenampakan bahan yang diiradiasi
(BPOM, 2006).
12
Gambar 2.5. Perbedaan daya tembus sinar-α, sinar-β, dan sinar-γ
Sumber: www.batan.go.id (2010)
Iradiasi pangan adalah proses pemaparan bahan pangan dengan energi
ionisasi yang berasal dari sumber radioaktif seperti misalnya kobalt 60 (Co-60)
atau dengan berkas elektron berenergi tinggi maupun X-ray (Nugroho, 2016).
Menurut (BPOM, 2013) Iradiasi pangan adalah metode penyinaran terhadap
pangan baik dengan menggunakan zat radioaktif maupun akselerator untuk
mencegah terjadinya pembusukan dan kerusakan pangan serta membebaskan
dari jasad renik patogen serta mencegah pertumbuhan tunas. Hasil akhir dari
proses ini adalah adanya eliminasi bakteri, produk tidak radioaktif,
mempertahankan nutrisi, namun tidak mengalami perubahan rasa, tekstur dan
penampakan dari bahan pangan (FDA, 2016). Iradiasi juga dapat memperpanjang
masa simpan dari produk segar karena memiliki kemampuan untu mengeliminasi
bakteri pembusuk dan patogen (Sedeh et al., 2007).
2.3.1 Mekanisme Kerja Iradiasi
Pada prinsipnya proses iradiasi pada bahan pangan dilakukan dengan
menggunakan radiasi energi tinggi yang dikenal dengan radiasi pengion karena
dapat menyebabkan ionisasi pada bahan pangan yang diberi paparan radiasi
(sinar-x, sinar gamma atau berkas elektron) (Maha, 1982). Tindakan radiasi pada
organisme dapat memberikan dua efek yaitu efek langsung dan efek tidak
langsung (Adams and Moss, 2008). Efek langsung terjadi akibat adanya tumbukan
13
langsung energi radiasi atau elektron dalam mikroba yang menyebabkan
terputusnya ikatan rantai pada DNA dan mempengaruhi kemampuan sel untuk
bereproduksi dan bertahan (Adams and Moss, 2008). Efek tidak langsung terjadi
apabila radiasi mengenai molekul air yang merupakan komponen utama dalam sel
sehingga terjadi proses radiolisis pada molekul air dan terbentuk radikal bebas
(Adams and Moss, 2008).
Efek langsung terjadi akibat adanya tumbukan (interaksi) langsung energi
radiasi atau elektron dengan organisme. Beberapa perubahan sifat fisika-kimia
yang terjadi akibat iradiasi yang pertama adalah pemutusan rantai gula pospat dari
masing-masing stran polinukleotid dari DNA, disebut dengan single break. Kedua
adalah pemutusan rantai yang berdekatan pada kedua stran polinukleotid dari
DNA disebut dengan double break. Ketiga adalah terbentuknya intramolecular
crosslink/ intermolecular crosslink yang disebut dengan base damage (Darwis,
2006). Apabila di dalam sel hidup bahan mengalami perubahan kimia, maka
sintesis DNA akan terhambat yang menyebabkan proses pembelahan sel atau
kehidupan normal dalam sel akan terganggu dan terjadi efek biologis (Pradana,
2013).
Secara acak poton energi iradiasi atau elektron akan menyerang materi
genetik pada sel dan menyebabkan kerusakan DNA mikroorganisme (Molins,
2001). Kerusakan tersebut dapat berupa pemutusan rantai single strand DNA ,
maupun merusak double strand dari DNA tersebut (Molins, 2001). Kerusakan
single strand dapat menyebabkan mikroorganisme menjadi tidak mati (non lethal)
tetapi mengalami mutasi, namun kerusakan strand dalam jumlah besar akan
melebihi kapasitas bakteri dalam memperbaikinya, sehingga dapat menyebabkan
kematian pada sel bakteri (Molins, 2001). Kerusakan double strand akan
menyebabkan mikroorganisme mengalami kematian, dan frekuensi kerusakan
double strand lebih sering terjadi, sehingga pengaruh inilah yang dimanfaatkan
sebagai dasar dalam mengawetkan bahan pangan dengan iradiasi (Molins, 2001).
Mekanisme efek iradiasi secara langsung dapat dilihat pada Gambar 2.6.
14
Gambar 2.6. Efek Langsung Iradiasi terhadap Kerusakan DNA
Sumber : http://www.france-hadron.fr (2015)
Iradiasi juga memberikan efek tidak langsung dalam pengawetan makanan.
Ketika bahan pangan yang memiliki kandungan air tinggi dipapar oleh sinar
gamma, maka radiasi tersebut akan memecah ikatan yang terdapat pada molekul
air sehingga terbentuk elektron bebas dan molekul air yang terionisasi (H2O+)
(Ikmalia, 2008). Elektron bebas yang dihasilkan pada interaksi pertama akan
berinteraksi dengan molekul air lainnya dan menghasilkan beberapa macam
produk, diantaranya H+
, OH-
, H dan OH (Ikmalia, 2008). Elektron yang
terbentuk bersifat reaktif sehingga sangat mudah bereaksi dengan molekul
lainnya. Ion-ion reaktif yang dihasilkan oleh bahan pangan yang diiradiasi dapat
membunuh mikroba dengan mengubah struktur membran sel serta
mempengaruhi aktivitas metabolisme enzim (Pillai dan Leena, 2012).
Dinyatakan bahwa radikal OH- memiliki peranan paling penting pada
kerusakan DNA. Radikal ini terbentuk di lapisan hidrasi di sekitar molekul DNA
yang bertanggung jawab atas 90% kerusakan DNA. Akibatnya, di sel hidup,
efek tidak langsung sangat penting. Secara umum, kematian mikroorganisme
adalah efek dari proses ionisasiyang merupakan hasil dari radiasi energi
tinggi. Diperkirakan bahwa iradiasi sel hidup pada satu gray menginduksi
1000 single strand, 40 double strand, 150 cross-link antara DNA dan protein
dan 250 oksidasi thymin (Aquino, 2012). Mekanisme efek iradiasi secara tidak
langsung dapat dilihat pada Gambar 2.6
15
Gambar 2.7. Mekanisme kerusakan DNA oleh efek tidak langsung Iradiasi
Sumber: http://www.seguridadypromociondelasalud.com (2014)
2.3.2 Jenis Iradiasi Pangan
Jenis iradiasi yang digunakan untuk mengawetkan bahan pangan yaitu radiasi
elektromagnetik yang memiliki panjang gelombang dibawah 10 nm (Dwiloka,
2002). Foton yang dihasilkan harus memiliki energi yang tinggi sehingga dapat
menyebabkan ionisasi dan eksitasi pada bahan yang dilaluinya (Dwiloka, 2002).
Proses iradiasi pangan syarat penting yang harus diperhatikan adalah radiasi yang
digunakan tidak boleh menyebabkan terbentuknya senyawa radioaktif pada bahan
pangan. Berdasarkan penelitian FAO dan IAEA (Badan Tenaga Atom
Internasional) menetapkan bahwa sumber energi maksimum yang boleh
diaplikasikan untuk pengawetan bahan pangan adalah sebesar 10 meV (Dwiloka,
2002).
Sinar gamma merupakan sebuah energi dari radiasi elektomagnetik tinggi
yang diproduksi oleh transisi energi karena percepatan elektron atau radioaktifitas
atau proses nuklir atau subatomik yang lainnya seperti penghancuran elektron-
positronref (Ikmail, 2008). Gelombang elektromagnetik sinar gamma bergerak
dengan kecepatan tinggi, hampir menyertai kecepatan cahaya (Ikmail, 2008) .
Arahnya tidak dipengaruhi medan magnet, tidak memiliki muatan, jarak lintasan
relatif panjang dan mempunyai daya ionisasi kecil serta daya tembus yang tinggi
(Ikmail, 2008).
16
Sinar Gamma yang umum digunakan untuk pegawetan bahan pangan adalah
Cobalt-60 (Co-60) dan Cesium-137 (Cs-137). Energi foton yang dimiliki Co-60
sebesar 1,17 dan 1,33 MeV, sedangkan energi foton yang dimiliki Cs-137 sebesar
0,66 MeV. Co-60 memiliki aktivitas yang lebih besar dibandingkan dengan Cs-137,
sedangkan Cs-137 memiliki masa pakai yang lebih lama dibandingkan dengan Co-
60 (Ramaswamy, 2015).
2.3.3 Sumber Iradiasi
Umumnya jenis radiasi pengion yang digunakan untuk iradiasi produk
komersial antara lain iradiasi dari sinar Gamma, berkas elektron, dan sinar X
dimana ketiga sinar ini telah disahkan oleh Codex Alimentarius Commission
Irradiated foods Rev. 1-2003 sebagai standar nasional yang dapat digunakan
dalam aplikasi iradiasi pangan (Dwiloka, 2002). Menurut Riganakos (2010), energi
yang dihasilkan oleh ketiga jenis iradiasi ini cukup tinggi untuk melepaskan
elektron dari atom serta molekul, lalu mengubahnya menjadi partikel bermuatan
atau ion.
Iradiasi dengan sinar Gamma menggunakan Co-60 atau Ce-137 sebagai
sumber energi yang memiliki kemampuan penetrasi yang tinggi yaitu sekitar 25-
50 cm produk solid (Kunstadt, 1990). Menurut GMA (2009), kedua substansi ini
tidak membuat sekelilingnya menjadi radioaktif karena tidak melepaskan elektron.
Co-60 yang paling sering digunakan diproduksi melalui proses iradiasi Co-59 yang
kemudian ditembak dengan neutron sehingga dihasilkan Co-60 yang bersifat
radioaktif dan tidak stabil. Substansi ini akan meluruh secara terus-menerus dan
menghasilkan Ni-60 yang tidak bersifat radioaktif dan stabil (Aquino, 2012).
Iradiasi dengan berkas elektron paling mudah digunakan dan memiliki energi
yang cukup tinggi (Lung et al., 2015). Berkas elektron tampak lebih mengungguli
sinar Gamma karena sumber energi dapat dihentikan kapan saja, energi non-nuklir
yang dapat mempercepat radiasi saat dibutuhkan, resiko kecelakaan kerja yang
lebih kecil, dan aplikatif untuk iradiasi dengan dosis tinggi (Lung et al., 2015).
Namun, dibutuhkan energi yang tinggi dalam pengoperasiannya sehingga sangat
mahal, selain itu daya tembus berkas elektron masih berada dibawah sinar
Gamma, sehingga bahan pangan yang akan diiradiasi tidak boleh terlalu tebal
(Dwiloka, 2002). Sinar X mempunyai energi dengan jumlah dibawah sinar Gamma
(Dwiloka, 2002). Daya tembus sinar ini cukup kuat sehingga dibutuhkan pengaman
17
seperti pelindung sumber yang tebal (Mollins, 2001). Iradiasi dengan sinar X dinilai
aman karena tidak memicu terbentuknya zat-zat radioaktif (Mollins, 2001).
2.3.4 Dosis Iradiasi
Dosis iradiasi akan menentukan tingkat dan jenis perubahan yang terjadi pada
materi bahan akibat iradiasi (Dwiloka, 2002). Dosis iradiasi adalah jumlah energi
yang diserap oleh bahan ketika area pada bahan diberi paparan iradiasi (Dwiloka,
2002). Satuan internasional dalam dosis iradiasi adalah Gray (Gy), dimana 1 Gy
merupakan energi sebesar 1 kJ/kg bahan yang diradiasi dan 1 Gy setara dengan
100 Rad (Ragheb, 2016). Jumlah radiasi yang diberikan bergantung pada
intensitas dari sumber radiasi dan lama pemaparan (Ramaswamy, 2015). Dosis
maksimum yang dapat digunakan untuk mengurangi mikroorganisme patogen
pada ikan, seafood, dan produk olahannya adalah 5,0 kGy (Noomhorm et al.,
2013). Dengan menggunakan dosis radiasi dibawah 5,0 kGy, tekstur ikan dan sifat
organoleptiknya akan terjaga. Iradiasi sebesar 5 kGy telah dapat merusak tekstur
daging ikan (Noomhorm et al., 2013).
Pengukuran dosis dilakukan dengan menggunakan suatu sistem dosimetri
(Andang, 2010). Dosimetri merupakan metode pengukuran dosis serap (absorbsi)
radiasi terhadap produk dengan teknik pengukuran yang didasarkan pada
pengukuran ionisasi yang disebabkan oleh radiasi menggunakan dosimetri
(Andang, 2010). Salah satu caranya yaitu dengan dosimeter kimia, yaitu
pengukuran dosis yang didasarkan pada perubahan kimia yang terjadi akibat dari
penyerapan energi radiasi (Andang, 2010). Untuk tujuan pengawetan pada bahan
pangan digunakan sistem dosimeter Fricke (ferro-ferri) dengan harga G antara
15,5 – 15,6. Harga G adalah banyaknya molekul medium yang berubah ke bentuk
lain tiap eV energi radiasi yang terserap (Razzak et al., 1980 dalam Pradana,
2013). Penentuan jumlah ion ferro yang teroksidasi menjadi ion ferri dapat
dilakukan dengan spektrofotometer. Sedangkan perbandingan antara dosis
iradiasi maksimal (Dmaks) dengan dosis iradiasi minimal (Dmin) dinyatakan sebagai
keseragaman dosis. Keseragaman dosis umumnya dipertahankan sekitar 1,2 –
1,5. Dosis iradiasi yang diserap oleh bahan dapat dihitung menggunakan rumus
sebagai berikut (Razzak et al., 1980 dalam Pradana, 2013):
D = A x 60.763725 𝑥 106
𝐸25 (1+0.006 (𝑡−25) x 10-2 Gy (Gray)
Dimana,
18
D = Dosis total iradiasi yang terserap (Gray)
A = Absorban atau rapat optik larutan dosimeter pada
panjang gelombang 305 nm
T = Suhu pada saat pengukuran dengan spektrofotometer (oC)
E25= Koefisien ekstinski polar larutan dosimeter pada
suhu 25oC, yaitu 2120 1.mol-1.cm-1
60.763725 x 106 = Tetapan berdasarkan perhitungan harga GFe3+ sebesar 15.5
Menurut Roberts (2014) dalam penerapannya radiasi ionisasi dikategorikan
menjadi 3 dosis yang dapat dilihat pada Tabel 2.2. Penggunaan dosis iradiasi
dengan tujuan pengawetan bahan pangan serta bahan pangan yang telah
disetujui untuk iradiasi oleh Peraturan Menteri Kesehatan No. 701 (2009) di
Indonesia dapat dilihat pada Tabel 2.3.
Tabel 2.2 Kategori Dosis dan Penerapannya pada Bahan Pangan
Skala Dosis (kGy)
Dampak Penerapan pada Bahan Pangan
0,1 – 1 Menghambat pertunasan Menunda kematangan Disinfektasi serangga
Kentang, bawang merah, bawang putih Pisang Produk segar, dried food
1 – 10
Inaktivasi parasit Mengurangi organisme pembusuk (memperpanjang daya simpan) Mengurangi patogen non-spora
Daging babi Strawberi, jamur, ikan yang dikeringkan Daging, kerang, rempah
>10
Mengurangi patogen (sterilisasi)
Rempah, makanan untuk pasien rumah sakit dan bencana alam
Sumber: Roberts (2014)
19
Tabel 2.3 Bahan Pangan yang disetujui untuk diiradiasi di Indonesia
No Jenis Pangan Tujuan Iradiasi Dosis serap maksimum
(kGy)
1 Umbi lapis dan umbi bakar Menghambat pertunasan selama penyimpanan
0,15
2 Sayur dan buah segar (selain yang termasuk kelompok satu) dam
a. Menunda pematangan b. Membasmi serangga c. Memperpanjang masa simpan d. Perlakuan karantina
1,0 1,0 2,5 1,0
3 Produk olahan sayur dan
buah Memperpanjang masa simpan 7,0
4 Mangga Memperpanjang masa simpan 0,75
5 Manggis a. Membasmi serangga b. perlakuan karantina
1,0 1,0
6 Serelia dan produk hasil
penggilingannnya, kacang-kacang, biji bijian penghasil minyak, polong-polong, buah kering
a. membasmi serangga b. mengurangi jumlah mikroba
1,0 5,0
7 Ikan, pangan laut (seafood segar maupun seafood)
a. Mengurangi jumlah mikroorganisme patogen tertentu
b. Memperpanjang masa simpan c. Mengontrol infeksi oleh parasit
tertentu
5,0
3,0
2,0
8 Produk olahan ikan, pangan laut
a.Mengurangi jumlah mikroorganisme patogen
b.memperpanjang masa simpan
8,0
10
9 Daging dan unggas serta hasil olahannya (segar maupun beku)
a. mengurangi jumlah mikroorganisme patogen tertentu
b. memperpanjang masa simpan c. mengontrol infeksi oleh parasit
tertentu d. menghilangkan bakteri
salmonella
7,0
3,0
2,0
7,0
10 Sayuran kering, bumbu, rempah, rempah kering (dry herbs) dan herbal tea
a. mengurangi jumlah mikroorganisme patogen tertentu
b. membasmi serangga
1,0
5,0 11 Pangan yang berasal dari
hewan yang dikeringkan a. membasmi serangga b. membasmi mikroba, kapang
dan khamir
1,0 5,0
12 Pangan olahan siap saji berbasis hewani
Sterilisasi dan membasmi mikroba patogen termasuk mikroba berspora serta memperpanjang umur simpan
65
Sumber: MENKES (2009)
20
2.4 Keamanan Pangan Iradiasi
Aspek keamanan pangan merupakan hal yang penting untuk diperhatikan
sebelum melakukan iradiasi terhadap suatu bahan pangan. FAO/ WHO/ IAEA
telah menetapkan bahwa pengawetan bahan pangan dengan menggunakan
teknologi iradiasi batas maksimum energi radiasi yang dapat dipakai yaitu 5 MeV
untuk sinar radiasi gamma dan sinar x. Sedangkan untuk berkas sinar elektron
sebesar 10 MeV (Hvizdzak et al., 2010).
Menurut BPOM (2013) yang memiliki kiblat dari Codex Alimentarius
Commission menyatakan bahwa iradiasi pangan dengan dosis rata-rata sampai
dengan 10 kGy tidak menimbulkan bahaya toksisitas dan tidak memerlukan
pengujian lebih lanjut. Berdasarkan BPOM (2006) studi keamanan pangan iradiasi
juga dilakukan di berbagai negara baik terhadap hewan percobaan maupun studi
klinis pada manusia. Dari hasil studi yang dilakukan menunjukkan bahwa :
Iradiasi tidak menyebabkan pangan menjadi radioaktif. Proses iradiasi
terjadi dengan melewatkan pangan dengan suatu sumber radiasi dengan
kecepatan dan dosis yang terkontrol dan pangan tersebut tidak pernah
kontak langsung dengan sumber radiasi. Ketika perlakuan iradiasi
dihentikan, tidak ada energi yang tersisa dalam pangan.
Iradiasi tidak menyebabkan pangan menjadi toksik. Semenjak tahun 1940-
an pangan iradiasi selalu diteliti dengan seksama terkait dengan
toksisitasnya sebelum proses iradiasi diterapkan terhadap suatu pangan.
Konsumsi pangan iradiasi tidak menyebabkan terjadinya perkembangan
kromosom tidak normal.
Perubahan kimia yang terjadi pada pangan iradiasi seperti pembentukan
produk radiolitik, adalah produk yang juga terbentuk karena proses
pemanasan seperti glukosa asam format, asetaldehida dan
karbondioksida. Keamanan produk radiolitik ini telah diuji secara seksama
dan tidak ditemukan bahaya yang ditimbulkannya.
Iradiasi tidak menimbulkan terjadinya pembentukan radikal bebas. Radikal
bebas juga terbentuk selama proses pengolahan pangan lain seperti
pemanggangan roti, penggorengan, pengeringan beku dan lain-lain.
21
2.4.1 Aspek Kimia
Radiasi pengion selalu menimbulkan perubahan pada bahan secara kimiawi.
Namun, perubahan kimia yang disebabkan oleh iradiasi lebih sedikit daripada
perubahan akibat pengolahan dengan menggunakan energi panas, hal ini
disebabkan karena energi yang diserap oleh bahan pangan melalui iradiasi lebih
sedikit dibandingkan pemanasan (Tomlins, 2008). Semakin tinggi dosis iradiasi
yang diberikan terhadap bahan maka akan meningkatkan jumlah senyawa kimia
yang terbentuk (Tomlins, 2008) . Perubahan kimia ini dapat dikontrol dengan
mengatur kadar air bahan dan suhu, serta menghilangkan oksigen di udara
sekeliling bahan yang diiradiasi (Maha, 1982 dalam Pradana, 2013).
Berdasarkan hasil analisa kimia yang dilakukan menunjukkan bahwa senyawa
kimia yang terbentuk sebagai akibat dari radiolisis dalam bahan pangan sangat
sedikit. Pada dosis sterilisasi jumlah senyawa kimia yang terbentuk hanya
beberapa ppm (mg/kg). Pada konsentrasi yang sangat rendah, senyawa yang
berbahaya belum akan menimbulkan pengaruh apapun, karena senyawa
berbahaya tidak hanya ditentukan oleh jenis namun juga jumlah (Maha, 1988).
Hasil penelitian terdahulu belum menemukan senyawa spesifik yang terbentuk
akibat radiolisis pada bahan pangan iradiasi yang dapat menimbulkan gangguan
kesehatan.
2.4.2 Aspek Gizi
Radiasi dapat menimbulkan perubahan kimia pada bahan pangan, maka
timbul kekhawatiran bahwa iradiasi dapat mempengaruhi nilai gizi dari bahan
tersebut. Hasil penelitian bahwa hilangnya zat gizi pada makanan yang didiradiasi
sampai dosis 1-5 kGy tidak nyata (Brewer,2009). Iradiasi bahan pangan pada
dosis sedang (1-10 kGy) dapat menurunkan beberapa unsur mikro nutrisinya
apabila udara dan suhu serta kondisi selama proses tidak diatur dengan baik
(Brewer, 2009). Perlakuan kombinasi antar pengaturan kondisi iraidasi (dosis,
suhu, oksigen) dan teknik pengemasan dapat mempertahankan mutu, nutrisi pada
bahan pangan olahan siap saji (Dwiloka, 2002).
22
2.4.3 Aspek Toksikologi
Sekalipun bahaya pangan iradiasi dari aspek kimia tidak ditemukan adanya
senyawa yang dapat membahayakan kesehatan, tetapi tetap diperlukan adanya
uji toksikologi. Uji toksikologi pada bahan pangan iradiasi dapat dilakukan terhadap
hewan percobaan bahkan uji klinis pada manusia sukarelawan untuk membuktikan
keamanannya (Maha, 1988 dalam Pradana, 2013). Hingga tahun 1979 tercatat
bahwa lebih dari 1200 penelitian dilakukan untuk menguji aspek keamanan
pangan iradiasi (Diehl, 1983 dalam Pradana, 2013). Pemberian pangan iradiasi
pada hewan yang mencakup tentang usia hidup untuk menjelaskan jika terdapat
perubahan pada pertumbuhan, komponen darah, maupun sistem reproduksi
(Liberty et al., 2013). Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh
yang merugikan pada hewan uji yang diberi pakan berupa bahan pangan iradiasi
(Aravindikshan et al,. dan Griese dikutip Sofyan,1984). JECFI (Joint Expert
Committee on Food Irradiation) pada November 1980 menyatakan bahwa semua
bahan pangan yang diiradiasi sampai dosis 10 kGy masih aman untuk dikonsumsi.
Beberapa makanan hewan yang telah disterilisasi menggunakan dosis 25-50 kGy
juga tidak menunjukkan adanya mutagenik, teratogenik, serta oncogenik pada
hewan uji (Liberty et al., 2013).
2.5 Nilai D10
Nilai D10 adalah angka yang menunjukkan tingkat sensitivitas bakteri terhadap
paparan iradiasi. Nilai D10 menunjukkan dosis iradiasi yang dibutuhkan untuk
menurunkan 1 log jumlah mikroba dan membunuh 90% dari jumlah total tersebut.
Semakin tinggi nilai D10 maka ketahanan bakteri terhadap iradiasi akan semakin
tinggi (Andini dan Harsojo, 2010).
Darwis (2006) menyatakan untuk mengukur D10 apabila kurva dosis - survival
adalah linier, maka nilai D10 dapat dengan mudah dibaca dari kurva dan
dinyatakan dalam unit dosis radiasi seperti gambar 2.8b. Kurva ini juga
menggambarkan resistensi dari mikroorganisme terhadap sterilisasi radiasi. Jika
kurvanya diawali dengan bentuk bahu (shoulder) nilai D10 dapat diperoleh dari
bagian kurva yang bergaris lurus (bagian eksponensial) seperti gambar 2.8a. D10
dapat diperoleh dari gradien garis lurus kurva inaktivasi atau dapat dihitung
dengan persamaan berikut:
23
Nilai D10 = D [log No-log N]
Dengan:
D = Dosis radiasi
No = Jumlah mikroorganisme awal
N = Jumlah mikroorganisme yang survive pada dosis radiasi D
Untuk kurva respon berbentuk konkav, yang terbaik adalah dengan mengambil
dosis inaktivasi. sebagai contoh dosis untuk menginaktivasikan 90% atau 99% dari
populasi sel awal yang hidup atau menggunakan Most Probable Effective Dose
(MPED) (Darwis, 2006). Bentuk dari kurva nilai D10 dapat pada Gambar 2.8.a.
Gambar 2.8a. Kurva D10 (Darwis, 2006) Gambar 2.8b. Kurva D10 (Aquino, 2010)
Menurut Lazarine (2008) Jenis bakteri dapat mempengaruhi sensitivitas
bakteri terhadap paparan radiasi, dimana bakteri Gram positif lebih tahan
dibandingkan dengan bakteri Gram negatif. Pada jamur, jumlah sel dalam spora
serta jumlah nukleus tiap sel mempengaruhi tingkat sensitivitasnya. Sementara
menurut Aquino (2012) ada banyak faktor yang mempengaruhi resistensi
mikroorganisme terhadap radiasi pengion, sehingga akan mempengaruhi bentuk
kurva. Faktor yang paling penting adalah:
a. Ukuran dan susunan struktur DNA di dalam sel mikroba;
b. Senyawa yang terkait dengan DNA di dalam sel, seperti peptida dasar,
nukleoprotein, RNA, lipid, lipoprotein dan ion logam. Pada berbagai jenis
mikroorganisme, zat ini dapat mempengaruhi efek tidak langsung dari
radiasi secara berbeda;
24
c. Oksigen: Adanya oksigen selama proses iradiasi meningkatkan efek
mematikan pada mikroorganisme. Dalam kondisi anaerobik yang
sempurna, nilai D10 dari beberapa bakteri vegetatif meningkat dengan
faktor 2,5-4,7, jika dibandingkan dengan kondisi aerob;
d. Kandungan air: Mikroorganisme paling tahan bila diiradiasi dalam kondisi
kering. Hal ini disebabkan oleh rendahnya atah bahkan tidak adanya
radikal bebas yang terbentuk dari molekul air oleh radiasi, dan dengan
demikian tingkat efek tidak langsung pada DNA rendah atau tidak ada;
e. Suhu: Perlakuan pada suhu tinggi, umumnya di kisaran sub-lateral di atas
45°C, secara sinergis meningkatkan efek bakterisasi dari radiasi pengion
pada sel vegetatif. Mikroorganisme vegetatif jauh lebih tahan terhadap
radiasi pada suhu sub-beku daripada pada suhu kamar. Hal ini disebabkan
oleh penurunan aktivitas air pada suhu sub-beku. Dalam keadaan beku
difusi radikal bahkan sangat terbatas;
f. Media : Komposisi media pada mikroorganisme berperan penting dalam
efek mikrobiologis. Nilai D10 untuk mikroorganisme tertentu dapat berbeda
jauh pada media yang berbeda;
g. Kondisi pasca iradiasi: Mikroorganisme yang bertahan dalam perlakuan
iradiasi mungkin akan lebih sensitif terhadap kondisi lingkungan (suhu, pH,
nutrisi, inhibitor, dll) daripada sel yang tidak diiradiasi.
2.6 Penyimpanan Suhu Dingin
Penyimpanan dingin adalah salah satu teknologi pengawetan bahan pangan
yang sering dilakukan. Aplikasi penyimpanan suhu dingin pada bahan pangan
akan menyebabkan bahan pangan kehilangan panas. Penurunan suhu akan lebih
cepat terjadi pada permukaan makanan dibandingkan dengan bagian dalamnya
(Sheen, 1990). Tujuan penyimpanan suhu dingin adalah untuk menghambat
pertumbuhan mikroba dan memperpanjang umur simpan suatu bahan pangan.
Selain itu, penyimpanan suhu dingin juga mampu menghambat aktivitas enzimatis,
respirasi bahan segar dan reaksi-reaksi kimia di dalam bahan pangan (Estiasih
dan Ahmadi, 2014). Faktor yang dapat mempengaruhi proses pendinginan
diantaranya adalah konduktivitas termal, kalor jenis, ketebalan, massa jenis, dan
luas permukaan produk pangan serta selisih suhu antara produk dengan medium
25
pendinginan (Hagan, 2011). Selama penyimpanan dingin akan terjadi penurunan
aktivitas air pada bahan yang mengakibatkan mikroba tidak dapat tumbuh secara
optimal. Bakteri patogen tidak dapat tumbuh pada suhu dibawah 5˚C, begitu pula
dengan sel vegetatif, kapang, khamir, dan bakteri Gram Negatif akan hancur pada
suhu rendah. Namun spora kapang dan bakteri Gram Positif tidak terpengaruh
oleh suhu rendah (Lazarine, 2008).